Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

"Little Netherland" dan Sejarah Penginjilan di Semarang

7 Agustus 2022   17:26 Diperbarui: 19 Agustus 2022   20:59 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gereja Blenduk yang terletak di kawasan Kota Lama, Semarang, Jawa Tengah. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Kawasan Kota Lama Semarang pernah dijuluki "little Netherlands", sebab dibangun seperti kota-kota di Belanda.

Lokasi "Little Netherland" ini berjarak tak jauh dari Simpang Lima yang menjadi pusat kota dengan deretan gedung-gedung kuno yang berjajar  sejak Stasiun Poncol hingga Jalan Suprapto, di mana Gereja

Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel berdiri.

Inilah Gereja Blenduk! Nama dari kebiasaan masyarakat Jawa yang menyebut kubah sebagai Mblenduk atau Blenduk.

 Tertua di Jawa Tengah

Gereja Blenduk  adalah Gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang dibangun oleh masyarakat Belanda yang tinggal di kota ini pada 1753. Bentuknya heksagonal (persegi delapan). Empat tiang di depannya bulat dan kokoh. Kalau pernah berkunjung ke Gereja Immanuel di depan Stasiun Gambir Jakarta, mirip-mirip begitulah bentuknya.

Kubah di atas gedung dilapisi perunggu. Kerap dicat ulang. Suatu kali dicat merah dengan bendera merah-putih dan salib di atasnya. Dalam gereja terdapat sebuah orgel Barok yang sayang, sudah tidak bisa difungsikan lagi.

Arsitektur gereja ini secara garis besar menyerupai Salib Yunani.  Salib Yunani atau Greek Cross ini  seperti salib yang kita kenal sehari-hari berbentuk tanda "+". Salib ini konon dipakai oleh pengikut Kristus pada era Gereja Perdana untuk menyamarkan identitas mereka demi  menghindari penangkapan dan penganiayaan.

Gereja Blenduk Semarang (Sumber: Museumnusantara.com) 
Gereja Blenduk Semarang (Sumber: Museumnusantara.com) 

Renovasi dilakukan pada tahun 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan dua menara di depannya. Pada kedua menara tersebut terdapat jam dinding yang angka-angkanya tampak dari depan. Masih dipakai angka IIII menggantikan angka IV.

"Nama Blenduk baru muncul pada pertengahan atau akhir abad ke-19," kata Pdt. Yusak Soleiman, Ph.D, teolog dan ahli sejarah gereja. Yusak adalah alumnus Vrije Universteit Belanda. Ia meneliti tentang sejarah jemaat abad ke-17 dan ke-18 gereja ini. Sehari-hari ia adalah dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi (STFT) Jakarta. 

Barisan Gedung Kuno

Di sekitar gereja terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda seperti Gedung Marba, Gedung Jiwasraya, kantor Kerta Niaga, Stasiun Kereta Api Tawang dan sejumlah bangunan kuno lain yang masih terawat dengan baik.

Gedung Marba yang berseberangan dengan Gereja Immanuel dibangun pada pertengahan abad ke-19 oleh Marta Badjunet, seorang Yaman, saudagar kapal kaya-raya. Bangunan ini terdiri atas 2 lantai dengan tebal tembok 20 cm.  Gedung ini awalnya digunakan sebagai kantor usaha pelayaran, Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL). 

Selain itu pernah pula ada toko yang modern dan satu-satunya pada waktu itu , de Zeikel. Setelah pensiun, perusahaan pelayaran dipegang oleh anaknya Mr. Marzuki Bawazir. Untuk mengenang jasa-jasa Badjunet bangunan ini dinamai dari singkatan namanya;  Marba.

Gedung Marba (Sumber: Pemkotsemarang.com)
Gedung Marba (Sumber: Pemkotsemarang.com)
Sementara gedung yang sekarang menjadi kantor  PT. Jiwasraya Semarang adalah bekas gedung Nederlandsch Indische Levensverzekering En Lijfrente Maatschappij (NILLMI) yang dibangun oleh arsitek Thomas Karsten pada tahun 1916-an. NILLMI adalah perusahan asuransi Hindia Belanda yang kemudian dinasionalisasi. Gedung ini juga pernah digunakan sebagai kantor Balaikota Semarang pada masa pemerintahan Hindia Belanda.

Gedung Jiwasraya memiliki kubah kecil di tengah atap bangunan. Bangunan berupa simetris dengan pintu masuk berada di tengahnya. Jika dilihat seksama, gedung Jiwasraya bukan menghadap ke arah jalan raya, melainkan serong menghadap Gereja Blenduk dan Taman Srigunting . Hal ini dilakukan untuk mendapat kesan bahwa bangunan ini mengawasi kedua bangunan tersebut.

Gedung Jiwasraya (Sumber: Tripsia.com)
Gedung Jiwasraya (Sumber: Tripsia.com)

Persis di samping Gereja Immanuel terdapat Taman Srigunting. Banyak wisatawan yang sekedar duduk-duduk menikmati suasana Kota Lama sambil menikmati jajanan pasar.

Sejarah Penginjilan di Semarang 

Dalam penelitiannya Yusak Soleiman menemukan bahwa Majelis Gereja Semarang ketika itu telah   melakukan hal yang sangat typical gereja Gereformeerde Belanda pada abad ke-18. Yakni, Majelis Gereja menjadi cerminan dan sekaligus pemimpin gereja dan masyarakat di mana berada.

 "Mereka melakukan Pekabaran Injil (PI) baik di gereja, sekolah dan rumah. Dan kegiatan ini sangat didukung oleh pemerintah," jelas Yusak.

Sebagai gereja modern saat itu, kata dia, pemerintah dan gereja bekerja berdampingan untuk menegakkan cita-cita masyarakat Kristen. Memang,kata Yusak, pada tahun-tahun pertama, hampir semua anggota dan petugas adalah orang Eropa. Tetapi kegiatan PI di rumah, asrama dan gereja yang melibatkan orang pribumi memberi jalan munculnya orang Kristen lokal di Jawa.

Hal yang sama juga dilakukan semua gereja Gereformeerd sezaman, baik di negeri Belanda maupun di koloni-koloni Belanda yang ada di berbagai tempat di wilayah VOC dan WIC -- kongsi dagang Hindia Timur, dan kongsi dagang Hindia Barat -- di Karibia dan Amerika Utara: Nusantara, Vietnam, Thailand, Jepang, Taiwan, Srilangka, Malaka, Afrika Selatan, bahkan di Karibia.

Tetapi bagi peminat sejarah kekristenan di Indonesia, penelitian yang dilakukan Yusak ini tidak lazim sebab berfokus pada Pekabaran Injil pada periode abad ke-17 dan ke-18. Sementara sejarah kekristenan yang banyak dipelajari-dan menjadi patokan penginjilan secara internasional ke luar Eropa-berasal  dari abad ke-19, dengan terbentuknya LMS di Inggris dan diutusnya para misionaris Eropa dan kemudian juga Amerika. Sejarah PI ini pula yang sampai sekarang masih sering diajarkan di  sekolah-sekolah teologi. Bahwa abad pekabaran injil adalah abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, bukan abad ke-17 dan ke-18.

Beda pendapat ini tak menjadi soal bagi Yusak Soleiman.

"Saya justru hendak mengajak peminat sejarah memahami lebih baik sejarah dari periode yang seringkali tidak dipahami, bahkan disalahpahami, karena berbagai keterbatasan dan juga karena hambatan ideologis-historis orang Indonesia," kata Yusak yang disertasinya  The Dutch Reformed Church in Late Eighteenth Century Java---An Eastern Adventure telah dibukukan dengan judul Pangumbaran Ing Bang Wetan (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2012).

Dalam perkembangannya, kata Yusak, pemahaman Pekabaran Injil versi abad ke-19 ini sudah semakin ditinggalkan, baik dari segi konsep/teori maupun penerapan. Semakin luas orang yang menyadari bahwa pekabaran injil bukan semata-mata seperti yang terjadi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yakni, pertobatan bangsa-bangsa, penambahan jumlah orang Kristen, bertambahnya gedung gereja, kampung kristen dan lain sebagainya.

Sebagai sejarawan Yusak menawarkan persepektif yang tidak terlalu terbelenggu pada paradigma lama mengenai misi atau pekabaran injil.

"Buku saya menjelaskan bahwa orang-orang Kristen pada periode abad ke-17 dan ke-18 sebelum badan-badan PI internasional berdiri pada abad ke-19 sudah mempunyai pandangan dan praktik misinya sendiri."

Gereja-gereja di Indonesia yang dibesarkan oleh para misionaris abad ke-19, kata dia, seringkali tidak bisa melihat lebih jauh daripada era abad ke-19 yang telah membesarkan mereka.

"Saya sendiri, setelah mempelajari sejarah Kekristenan Barat dan sejarah perjumpaan Eropa dan Asia-Afrika, secara khusus sejarah kolonial, baru bisa melihat nuansa perbedaan kolonisasi abad ke-16 hingga ke-18 dan kolonialisme-imperialisme pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, berikut gerakan dan dinamisme yang namanya missi atau Pekabaran Injil," kata Yusak Soleiman.   


Menurut Yusak biarlah pembaca menyimpulkan sendiri berdasarkan pengalaman membaca dan pengetahuannya masing-masing. Sebab, semua karya sejarah yang tidak dimaksudkan sebagai propaganda ideologi tertentu bertujuan membagikan informasi dan pemahaman (knowledge and understanding) yang kesimpulannya diserahkan sepenuhnya kepada mereka.

Karena karya sejarah selalu terbuka pada perubahan, oleh karena keterbatasan penulis, keterbatasan ketersediaan dan aksesibilitas sumber, dan keterbatasan persepektif yang dipakai untuk melihatnya.

Gereja Blenduk tidak lagi sekadar menjadi ikon Kota Lama Semarang. Ia telah menjadi tonggak penginjilan yang tumbuh dan terus berbuah. Hingga  kini! (Alex Japalatu)  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun