*Tulisan ini mengacu pada sebuah acara di channel tv berbayar "Crime & Investigation":  The Cult of the Black Jesus: The  Rise and Fall of Steven Tari
***
Steven Mangimon Tari. Ada pula yang menyebutnya Steven Garasai Tari. Dua nama untuk satu orang.
Bekennya, Steven Tari!
Steven bukan warga Indonesia. Ia warga Papua Nugini (PNG). Itu negara yang berbagi Papua dengan Indonesia.
Saya tertarik menulis ulang kisahnya, sebab dalam banyak kondisi yang memprihatinkan, terutama dalam situasi miskin dan melarat-barangkali juga dalam pandemi Covid 19 ini-harapan mesianistik kerap muncul dalam pikiran kita. Berharap datangnya 'juru selamat'. Sang Ratu Adil. Pembabat segala ketidakadilan dan kemiskinan. Dalam banyak budaya di Indonesia, konsep ini masih kita temukan.
Steven terkenal. Ia populer. Di PNG. Juga di manca negara. Gara-garanya, ia  mengaku sebagai "Black Jesus".  Yesus  hitam.
Yesus yang dia maksud tak lain tak bukan, Yesus junjungan orang Kristen. (Saya tegaskan di sini, kalau saya menulis "Kristen" berarti yang saya maksud adalah Katolik dan Protestan, serta kongregasi lain yang percaya pada Kristus sebagai Tuhan. Kecuali, tentu saja, teman-teman Saksi Jehova---meskipun selalu menyebut diri mereka sebagai orang Kristen juga)
Tetapi ini Yesus yang legam. Sesuai warna kulit Steven.
Setidaknya itu yang ia ajarkan kepada ribuan pengikutnya di desa-desa pedalaman PNG. Terutama di Madang. Distrik yang menjadi pusat "pelayanan"nya.
Para pengikutnya adalah orang-orang desa. Yang sederhana. Para petani buta huruf. Pemuda-pemuda putus sekolah. Pengangguran. Hidup mereka susah. Dan semuanya beragama Kristen. Sebanyak 90 persen warga PNG menganut agama Protestan dari berbagai aliran.
Karena itu kehadiran Steven adalah oase. Penawar dahaga terhadap hidup yang berat itu. Ia memberi mereka penghiburan. Janji keselamatan. Kelak. Di surga.
Sebab Steven mendaku dirinya anak Allah. Yang dikirim membebaskan kaum miskin dan tertindas. Dari penderitaan.
"Surga milik orang miskin. Milik orang susah. Bukan milik orang kaya!"
Demikian Steven mengutip Alkitab.
Ia minta tanah untuk mendirikan pusat pelayanannya. Juga uang. Juga makanan. Juga pelayanan sex. Pendek kata ia minta pelayanan apa saja kepada umatnya. Sebenarnya sampai di sini umatnya mesti sadar bahwa apa yang dibawa Steven bukan ajaran Kristen seperti pada umumnya. Ia berpamrih. Sesuatu yang 'menyerang balik'nya kelak.
Alih-alih bertanya. Ribuan umatnya  justru sangat fanatik. Mungkin ada sedikit yang kritis, tapi susah melawan. Dari sumber yang lain saya temukan, Steven bahkan dijaga oleh para pengawal bersenjata.
=000=
Dus, di pedalaman PNG dan Mikronesia, masih melekat keyakinan "kultus kargo" (Cargo cult) [1], yakni praktik religius yang meyakini bahwa, kekayaan material dapat diperoleh lewat sihir dan ritual serta praktik beragama. Kekayaan tersebut dikirim oleh dewa dan nenek moyang mereka.
Keyakinan ini berkembang pesat selama Perang Dunia II. Juga setelah itu. Mereka  melihat tentara Jepang dan Amerika Serikat membongkar kargo. Yakni perlengkapan perang dan makanan. Dalam peti-peti yang besar.
Ketika perang berakhir, markas militer ditutup. Kiriman barang berhenti. Konon untuk menarik lebih banyak pengiriman barang, pengikut kultus membuat ritual. Membuat tiruan landasan, pesawat, dan perlengkapan radio dari bambu atau bahan lainnya, dan meniru perilaku orang-orang di bandar udara. Semua seolah-olah!
Cilakanya, praktik ini dalam banyak kasus disertai tindakan kanibalisme. Korban dibunuh. Otaknya diambil. Disantap. Anggota tubuh yang lain dijadikan sup. Diyakini, habis menyantap tubuh manusia, mereka terhindar dari roh jahat.Â
Waktu berkeliling ke Pantai Kasuari di pedalaman Asmat, cerita tentang ini masih saya dengar. Meskipun praktiknya tidak ada lagi. Jasa penginjil Don Ricardson patut disebut di sini. Sisa 'rumah kapal' Don masih saya temukan di Kamur, Â ibukota Distrik Pantai Kasuari.
Rupanya Steven melihat celah yang bisa dimanfaatkan. Ia meracik hal baru. Pemahamannya yang dangkal tentang Alkitab ia gabungkan dengan kultus kargo. Plus ritual black magic. Atau bisa saja, secara psikologis ia merasa benar-benar hebat. Agama dia jadikan tunggangan untuk menipu. Sebab memang sangat afdol.Â
Jadilah ia sang mesias hitam. Black Jesus. Punya power. Punya kekuatan gaib. Konon kata murid-muridnya.
=000=
Mari kita lihat siapa Steven Tari.
Ia dikabarkan lahir tahun 1971. Berarti, ketika mulai "berpraktik" pada 2003 ia baru berusia 32 tahun. Berbadan langsing. Sekitar 173 cm tingginya.
Sebelum memulai petualangannya, Steven adalah murid di Sekolah Pendidikan Alkitab Amron, Madang. Sebut saja Sekolah Tinggi Teologi  (STT) Amron. Sekolah ini beraliran teologi Lutheran. Diharapkan usai lulus dari sini, alumnusnya menjadi penginjil.
Kata guru-gurunya dalam kesaksin mereka di kanal televisi itu, Steven alih-alih memperdalam ilmu Alkitabnya. Ia justru bertanya sepanjang pelajaran. Berupaya mematahkan isi Alkitab. Terutama tentang siapa Yesus.
Pelan-pelan Steven mulai menghasut. Yang dihasut teman se-asramanya. Agar 'murtad' dan ikut langkahnya. Ia hanya bertahan setahun di sekolah itu. Sebelum pulang tanpa pamit. Lalu ke rumah keluarganya. Mencuri uang mereka. Dan menghilang.Â
Tiba-tiba saja ia muncul  di Madang. Di tengah hutan itu. Tempat ia mendirikan pusat pelayanan. Berbondong-bondong  orang ke sana. Untuk mendengar khotbahnya. Sebab ia menyebut diri sebagai "Yesus". Dengan segala privelese yang ia minta dari pengikutnya.
Salah satu yang ia minta adalah berhubungan sex dengan anak-anak di bawah umur, yang menurut Steven sebagai cara untuk membuka pintu surga. Ada yang ikhlas menyorongkan anak gadisnya demi janji surga. Ada pula yang melakukannya karena takut. Sebab Steven Tari mulai penuh intimidasi. Putri-putri ini menjadi "gadis bunga" yang tinggal di kompleks pelayanan. Serumah dengan sang "Yesus".
Tentu saja ajaran  ini membuat resah penduduk sekitarnya. Juga lembaga agama tempat Steven pernah belajar. Singkat cerita, karena dinilai sudah membuat keonaran, ia ditangkap oleh polisi. Di bawa ke Madang. Dengan tuduhan pemerkosaan. Untuk diadili.
Pasal yang dikenakan kepadanya bukan pasal penodaan agama. Ini eloknya. Tapi pasal berbuat kriminal. Enam tuduhan pemerkosaan dan dua tuduhan pembunuhan. Terhadap para "gadis bunga"nya.
Kenapa elok? Rupanya pemerintah PNG sungguh menghargai afiliasi keagamaan warganya. Sejauh tak mengganggu ketentraman umum, silakan jalan. Tapi Steven sudah bikin onar. Sudah mengganggu ketentraman umum. Karena itu ia mesti diamankan.
Ketika Steven dibawa dari rumah tahanan ke pengadilan, ia meloloskan diri dari bus yang mengantarnya. Bus berhenti di tengah hutan. Ada jalan yang runtuh dan berlubang menganga. Â Para sipir ada yang tertidur. Kesempatan yang sempit ini dipakai Steven. Membuka jendela bus dan lari ke hutan. Cerita meloloskan diri itu dibumbui olehnya: Saya lolos dari lubang yang sangat kecil, kata dia.
Para pengikutnya kian percaya kepada dia. Bahwa Steven punya kekuatan gaib.
Pada pelarian pertama itu ia berhasil ditangkap. Oleh orang-orang di Madang. Mantan pengikutnya sendiri. Ia digebuki ramai-ramai. Diikat di salib. Sembari digotong ke Madang.
Pengadilan akhirnya memutuskan ia bersalah. Dihukum 15 tahun penjara. Karena kasus pemerkosaan. Bukan karena ajarannya. Keluarga dari 2 anak yang dibunuh untuk ritual, takut bersaksi. Â Padahal kalau mereka bersaksi, Steven bisa membusuk di penjara. Minimal kena 30 tahun.
Steven digabung dengan penjahat yang lain. Ia masih terus menyebarkan pengaruhnya di penjara. Suatu kali ada perbaikan dinding penjara. Dari kawat anyam. Tukang lupa membawa keluar tang. Penjepit tajam buat memotong kawat itulah yang dipakai Steven menggunting kawat penjara. Ia melarikan diri bersama puluhan napi yang lain. Ini salah satu kisah pembobolan penjara terbesar di PNG.
Pada pelarian kedua ini Steven kembali diburu. Oleh polisi dan tentara. Benar saja, ia ke Madang. Ketemu lagi dengan pengikut-pengikutnya yang fanatik. Ia bersembunyi. Atau disembunyikan. Polisi dan tentara kembali dengan tangan hampa.
Tapi di sisi lain, telah ada bara api yang mulai bernyala. Dendam yang siap meledak. Â
Tahu ia di Madang, keluarga yang putri-putrinya diperkosa dan dihabisi Steven mencarinya. Kalau ia bisa mengelak dari kejaran tentara dan polisi yang tidak menguasai medan, kali ini ia berhadapan dengan orang yang sama-sama mengenal Madang.
Ia dikejar. Ditangkap. Dirajam. Dibunuh secara sadis. Dengan puluhan luka bekas tusukan senjata tajam. Di sekujur tubuhnya.
Steven "fall". Jatuh. Dengan cara yang tidak manusiawi.
Ketika masih wartawan muda di Yogyakarta,  saya pernah menginvestigasi praktik macam begini. Jualannya adalah  penampakan Bunda Maria dalam tradisi Gereja Katolik. Atau Maria menangis darah. Bikin heboh.
Tau-taunya semua dibungkus dengan penipuan. Ratusan juta dikantongin dari anggota jemaatnya. Banyak yang jadi korban. Tapi malu untuk bilang.
Akhir yang tragis bagi si penipu. Ia dipecundangi oleh mantan pengikutnya sendiri.
Lalu ia bunuh diri. Kasus ditutup!
 Sumber:
[2] https://id.wikipedia.org/wiki/Kultus_kargo
[3] https://www.bbc.com/news/world-asia, Â https://www.ibtimes.co.uk/black-jesus-cannibal-cult-leader-steven-tari, [4]https://internasional.kompas.com/read/2013/08/30/2020205/Pelaku.Kanibalisme.Tewas.Dikeroyok.Warga.Desa.Papua.Niugini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H