Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Dari Tugu Musik Keroncong Bermula (1)

5 Agustus 2022   08:48 Diperbarui: 5 Agustus 2022   08:55 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komunitas Kampung Tugu di Semper Jakarta Utara tetap  bertahan di tengah perubahan zaman. Keberadaan mereka erat terkait dengan berdirinya Gereja Tugu (1748) dan musik keroncong yang kini menjadi salah satu identitas Indonesia. 

TIDAK sukar menemukan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Tugu di Semper, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Anda susuri jalan Cakung-Cilincing setelah berbelok di flyover Semper, terus ke Jalan Raya Tugu. Gereja ini berada di tengah kepungan pabrik dan ratusan kontainer. Tetapi jika Anda salah mengambil jalan, berhenti sejenak dan layangkan pandangan ke atas. Carilah pucuk-pucuk pohon cemara. Itu penanda. Sebab di halamannya tumbuh empat pokok cemara berusia puluhan tahun.

Yang tampak dari kejauhan.

Saya jumpa Vicktor H. Andries (60). Salah satu sesepuh Kampung Tugu. Ia bercerita, dahulu-dahulu sekali-Kampung  Tugu bisa ditempuh melalui air.

Orang naik perahu dari Pasar Ikan menyusuri Pantai Cilincing untuk masuk ke Marunda. Dari situ berbelok ke sungai Cakung  hingga ke Kampung Tugu.

Vicktor Andries membawa saya melihat sungai di balik tembok yang ia ceritakan. Saya bingung membayangkan bagaimana sampan bisa berlayar di sungai dangkal dan penuh sampah seperti itu? Lebarnya hanya semeter.

"Kami sering berenang di sini waktu kecil," kata Victor coba menyakinkan saya.

Kampung Tugu 

Kami bercakap di pemakaman samping gereja di bawah bayang-bayang pepohonan. Kamboja Ungu sedang mekar. Banyak bunganya yang rontok. Berserakan di tanah. 

Vicktor menunjuk makam kedua orangtuanya Johanes Cornelis Andries (1910-1974) dan  Sophie Djalimun Andries (1913-2000).  Ia juga menunjuk peristirahatan Arend Julinse Michiels (1933-1993), ayahanda Andre Juan Michiels, pemimpin kelompok musik keroncong Krontjong Toegoe. Ada puluhan makam lain di situ.

"Yang boleh memakai makam ini hanya anggota  Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT). Meskipun juga ada beberapa yang punya jasa besar bagi perkembangan kami,  dimakamkan di sini," jelasnya.

Dulu hanya ada 23 nama keluarga (Fam)  di Kampung Tugu. Tetapi perkawinan campur membuatnya tinggal beberapa saja. Apalagi jika keluarga tidak punya anak laki-laki sebagai penerus. Harap makhlum, di Tugu (juga Indonesia pada umumnya)  masih menganut sistem patrilinear. Yang dihitung hanya dari garis keturunan ayah.  Sekarang tersisa enam fam yakni: Michiels, Andries, Abrahams, Browne, Quiko, dan Cornelis. Mereka inilah yang tergabung dalam IKBT. 

Tak ada cerita yang pasti tentang muasal nama Kampung Tugu. Ada yang mengatakan pada tahun 1878 di suatu tempat di Tugu pernah ditemukan sebuah batu berukir yang kemudian dikenal sebagai Prasasti Tugu.

Menurut Pastor Adolf Heuken, SJ (1929-2019), Prasasti Tugu merupakan peninggalan arkeologis paling tua, yang membuktikan pengaruh Hindu di Jawa Barat. Batu-batu besar serupa, yang bertuliskan nama Raja Purnawarman, ditemukan di tempat-tempat lain di Jawa Barat. Raja ini memerintah kerajaan Tarumanegara.

"Apakah berarti nama Kampung Tugu diambil dari prasasti tersebut?" tanya saya kepada beliau.

 Heuken mengangguk kepada saya.

Versi Vicktor, seperti dituturkan turun-temurun oleh nenek-moyang mereka,  nama kampung Tugu berasal dari kata por "tugu" esa (Portugis). Setelah jatuhnya Malaka dari Portugis ke tangan Belanda pada abad ke-16 (tahun 1590),  orang-orang Portugis yang umumnya tentara keturunan berkulit hitam dari Bengali, Malabar dan Goa, ditawan dan dibawa ke Batavia. Baru sekitar tahun 1661 mereka dibebaskan setelah dianggap tidak berbahaya dan tetap dibiarkan memiliki senjata. Mereka inilah yang dijuluki Kaum Mardjikers, kaum yang dibebaskan.  Namun dengan syarat berpindah agama dari Katolik ke Protestan. Mereka juga memperoleh tanah di sekitar daerah Koja dari VOC.

"Jadi tak ada hubungannya dengan batu bertulis itu. Apalagi kalau dikait-kaitkan dengan Kerajaan Purnawarman. Kami ini keturunan Portugis," kata Vicktor yang merupakan keturunan kesembilan orang Portugis di Tugu.

Saat ini warga keturunan Portugis yang tinggal di sekitar gereja tak lebih dari 100 orang lagi. Itu pun sudah melakukan kawin campur dengan orang Ambon, Manado, Timor dan Batak. Vicktor misalnya menikah dengan seorang perempuan Manado dan mempunyai dua anak. 

Gereja Tugu

Tak ada data pasti kapan gereja ini mulai dibangun. Tetapi para ahli sejarah menyimpulkan antara tahun 1676-1678, bersamaan dengan dibukanya sebuah sekolah rakyat pertama di Indonesia oleh Melchior Leydekker.

Melchior Leydekker dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1645. Dengan latar belakang pendidikan kedokteran dan teologi, ia datang ke Indonesia pada tahun 1675 sebagai pendeta militer Belanda di Jawa Timur. Sebagai menantu Gubernur Jenderal van Riebeck ia memperoleh sebidang tanah di Tugu.  Sejak tahun 1678 ia menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia (Jakarta).  

Pada tahun 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia ia mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu ragam bahasa yang lazim dipakai untuk menulis buku kesusastraan pada masa itu. Ia meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya, dan dengan tekun mencari kata dan istilah bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab. Leydekker meninggal dunia pada  tahun 1701.

Jadi kalau beberapa saat lalu ada protes Alkitab dalam bahasa Minang, silakan protes sama Leydekker.

Tahun 1737 renovasi pertama dilakukan dibawah pimpinan pendeta Van De Tydt dibantu Ferreira d'Almeida, pendeta keturunan Portugis kelahiran Lisabon  dan orang-orang Mardjikers.

Pemberontakan oleh orang-orang Tionghoa pada tahun 1740 membuat gereja Tugu ikut hancur. Ini merupakan gerakan balas dendam setelah terjadi pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia pada masa Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang berkuasa antara tahun 1737--1741.

"Orang Tionghoa  menganggap, mardjiker adalah kaki tangan VOC," kata Andre Juan Michiels, mantan ketua IKBT.

Atas bantuan Yustinus Vinck pada 1744 gereja ini dibangun kembali dan baru selesai pada 29 Juli 1747. Kemudian diresmikan pada tanggal 27 Juli 1748 oleh pendeta J.M. Mohr. Gereja ketiga dibangun beberapa ratus meter dari gereja yang dirusak.

Meskipun bangunannya yang asli telah beberapa kali direnovasi, bentuknya masih sama dengan bangunan yang pertama. Dinding dicat putih, sementara jendela dan pintu berwarna coklat.

 Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No.9 tahun 1999 Gereja Tugu sudah menjadi cagar budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun