Komunitas Kampung Tugu di Semper Jakarta Utara tetap  bertahan di tengah perubahan zaman. Keberadaan mereka erat terkait dengan berdirinya Gereja Tugu (1748) dan musik keroncong yang kini menjadi salah satu identitas Indonesia.Â
TIDAK sukar menemukan Gereja Protestan di Indonesia Barat (GPIB) Tugu di Semper, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Anda susuri jalan Cakung-Cilincing setelah berbelok di flyover Semper, terus ke Jalan Raya Tugu. Gereja ini berada di tengah kepungan pabrik dan ratusan kontainer. Tetapi jika Anda salah mengambil jalan, berhenti sejenak dan layangkan pandangan ke atas. Carilah pucuk-pucuk pohon cemara. Itu penanda. Sebab di halamannya tumbuh empat pokok cemara berusia puluhan tahun.
Yang tampak dari kejauhan.
Saya jumpa Vicktor H. Andries (60). Salah satu sesepuh Kampung Tugu. Ia bercerita, dahulu-dahulu sekali-Kampung  Tugu bisa ditempuh melalui air.
Orang naik perahu dari Pasar Ikan menyusuri Pantai Cilincing untuk masuk ke Marunda. Dari situ berbelok ke sungai Cakung  hingga ke Kampung Tugu.
Vicktor Andries membawa saya melihat sungai di balik tembok yang ia ceritakan. Saya bingung membayangkan bagaimana sampan bisa berlayar di sungai dangkal dan penuh sampah seperti itu? Lebarnya hanya semeter.
"Kami sering berenang di sini waktu kecil," kata Victor coba menyakinkan saya.
Kampung TuguÂ
Kami bercakap di pemakaman samping gereja di bawah bayang-bayang pepohonan. Kamboja Ungu sedang mekar. Banyak bunganya yang rontok. Berserakan di tanah.Â
Vicktor menunjuk makam kedua orangtuanya Johanes Cornelis Andries (1910-1974) dan  Sophie Djalimun Andries (1913-2000).  Ia juga menunjuk peristirahatan Arend Julinse Michiels (1933-1993), ayahanda Andre Juan Michiels, pemimpin kelompok musik keroncong Krontjong Toegoe. Ada puluhan makam lain di situ.
"Yang boleh memakai makam ini hanya anggota  Ikatan Keluarga Besar Tugu (IKBT). Meskipun juga ada beberapa yang punya jasa besar bagi perkembangan kami,  dimakamkan di sini," jelasnya.