Setiap kader dilengkapi dengan peralatan manual untuk menghitung kecepatan detak jantung. “Kalau lebih dari 100 denyut permenit dan nafasnya naik-turun (tersengal) kita harus bawa ke Puskesmas. Apalagi kalau panas tinggi,” kata Lanni.
Lanni pria sederhana yang murah senyum. Ia tidak memakai sandal sepanjang perjalanan dari Koragi-Iriliga. Ia mengajari saya cara menghitung detak jantung dengan peralatan aritimer.
“Saya berterima kasih sama WVI yang sudah ajar kami seperti ini,” kata Lanni dengan terbata-bata.
Sore menjelang. Matahari tersisa remang-remang sebelum masuk ke balik gunung. Suhu menjadi 15 derajat celsius. Sangat sejuk. Saya sengaja menjauh. Berdiri di belakang gereja, menikmati alam seasli-aslinya. Lembahnya seperti penuh misteri. Kicau burungnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya matahari sorenya. Semua menyatu dalam keheningan yang dalam.
Saya bersyukur bisa bertemu dengan para kader, orang-orang sederhana yang berjibaku menyelamatkan kehidupan di bukit-bukit di Iriliga, Koragi, Onggabaga dan Kumudluk. Mereka benar-benar memeras keringat dan tidak mengeluh. Dalam segala keterbatasannya, mereka mau berbuat untuk sesamanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H