Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendekar Kesehatan dari Bukit Iriliga (Selesai)

3 Agustus 2022   21:30 Diperbarui: 3 Agustus 2022   21:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak Wamber Gombo bersama istri/dok pribadi

Wamber Gombo berusia sekitar 70 tahun. Ia menjadi pendeta di Gereja GIDI Iriliga sejak tahun 1973. Ia berbicara dalam bahasa Walak, bahasa salah satu subsuku di Pegunungan Tengah. Sara menjadi penerjemah.

 “Bersama Bapak Wamber ini, kami bahu-membahu menyampaikan pesan kesehatan di Iriliga. Ada juga kader Lanni Karoba dan Mama Demina Uaga,” kata Sara.

Wamber beberapa kali ikut pelatihan yang diadakan WVI di Wamena. Ia diundang dalam kapasitasnya sebagai tokoh agama dalam program Tokoh Agama untuk Kesehatan Ibu dan Anak (ToGa-KIA). Ia dilatih untuk dapat menyampaikan isu Kesehatan Ibu dan Anak dalam khotbah-khotbah maupun acara di gereja.

“Setelah khotbah saya sampaikan nasihat kepada jemaat. Setiap bulan adapenimbangan anak harus ikut. Ketemu ke ladang kasih tahu soal cuci tangan, ASI eksklusif, kalau hamil tidak usah kerja berat. Saya juga bilang ke bapak-bapak supaya bantu istri kerja kebun. Anak bayi selalu periksa ke kader kalau sakit, biar dikasih obat. Kalau agak parah biar kader bikin surat rujukan ke Puskesmas,” kata Wamber.

Wamber tidak hanya berbicara dari atas mimbar. Bertemu di mana saja ia selalu menyampaikan pesan-pesan kesehatan kepada jemaatnya. Termasuk juga soal pembuatan akte kelahiran.

“Saya selalu tanya, apakah sudah buat akte kelahiran atau belum? Karena akte sangat penting untuk keperluan pengambilan data,” ujarnya.

Kalau Wamber  menjadi kader Toga-KIA, istrinya adalah kader PMBA. Istrinya selalu mengajarkan cara mengolah makanan kepada para ibu di gereja. “Makanan bergizi ada di sekitar kami. Sayur harus dicuci sebelum dimasak. Sebelum suap anak, ibu harus tangan bersih,” kata dia.    

Atas anjuran Wamber dan kader kesehatan, ibu hamil dan balita yang sakit di Iriliga cepat tertangani.  

“Kami sudah menyiapkan pertolongan pertama seperti diajarkan oleh WVI dan petugas kesehatan. Di Kumudluk selalu tersedia obat-obatan, baik untuk diare, untuk batuk maupun kalau anak-anak demam. Di Onggabaga juga ada obat. Kalau sudah agak parah kami langsung bawa ke Puskesmas Wollo. Di sana ada dokter Filand dan petugas kesehatan yang lainnya,” ujar Sara yang tamat dari SMA Kristen Wamena pada tahun 2005. Dokter Filand Pay adalah Kepala Puskesmas Wollo yang telah memperpanjang masa PTT-nya selama dua kali di sana.

Dari Iriligi kami harus kembali ke  Onggabaga. Mama Demina Uaga telah menanti di sana. Mama Demina bisa berbahasa Indonesia meskipun terbata-bata. Penjelasan yang agak panjang diterjemahkan Sara.

“Selain menjadi kader MTBSM, saya juga kader PMBA dan HBLSS. Habis Puskesmas jauh jadi…. Kalau ada ibu yang tiba-tiba mau melahirkan kami tolong saja di sini. Tahun lalu (2015) dengan tahun ini (2016) ada enam ibu yang saya bantu melahirkan. Semua selamat,” kata Mama Demina yang pernah bertemu Menteri Kesehatan Nafsiah Mboy ketika mengikuti Jambore Kesehatan di Jakarta bersama WVI.

“Ibu Menteri jabat tangan. Saya senang sekali,” ujar Demina dengan wajah sumringah. Demina menyelesaikan pendidikannya melalui kejar Paket B dan C di Yalengga.

Sebenarnya ada peraturan dari pemerintah kabupaten Jayawijaya agar semua ibu hamil melahirkan di Puskesmas atau minimal dibantu tenaga kesehatan. Sehingga tugas kader HBLSS hanya menginformasikan kepada masyarakat mengenai tanda-tanda kesakitan dini pada pada ibu hamil dan anak baru lahir.

Tetapi antara Onggabaga dan kampung-kampung sekitarnya dengan Puskesmas Wollo berjarak lebih dari lima belas kilometer. Sekitar tiga jam berjalan kaki.

Hanya bisa jalan kaki sebab meskipun ada jalan perkerasan, kendaraan yang lewat hampir tidak ada. Persoalannya lagi, kata Demina, ibu-ibu hamil di tempatnya tidak tahu kapan mulai hamil sehingga sukar menetapkan Hari Perkiraan Lahir (HPL)nya.  

“Tiba-tiba saja ketuban sudah pecah. Mau tidak mau kita harus tolong di sini,” kata dia.

“Bagaimana dengan memotong tali pusar?”

Demina mengatakan, memakai silet baru yang sudah disterilkan. Silet direndam ke dalam air mendidih beberapa saat. “Harus silet baru. Tidak boleh yang sudah pernah dipakai. Nanti infeksi,” jelasnya.

Bagi orang dari luar Papua seperti saya, mendaki di bukit-bukit di Iriliga, Onggabaga dan Koragi bukan perkara gampang. Tetapi bagi Sara Uaga, bukan persoalan. Padahal ia tengah hamil tua Februari 2017 itu. “Kita sudah biasa to, Bapak,” ujarnya sembari tertawa.

Jarak antara Onggaba dan Iriliga memang hanya sekitar 3 kilometer. Tetapi jalanan yang mendaki dan menurun, apalagi berjalan di bawah terik matahari sungguh menguras tenaga. “Minimal satu minggu sekali saya ke Iriliga ketemu Bapak Wamber dan warga di sana. Tetapi tergantung kebutuhan saja,” kata Sara.

Lanni Koroba pun demikian. Sebagai kader MTBSM ia menangani tiga kampung yakni  Kumudluk, Koragi dan Telegai. Ia tidak menunggu pasien datang padanya. Ia yang proaktif mendatangi mereka.

“Kalau saya dengar ada anak bayi sakit, saya pasti ke sana membawa obat buat dia. Kalau mencret saya kasih oralit enam bungkus. Setiap buang air kasih satu bungkus. Kalau belum sembuh juga, saya temani ke Puskesmas Wollo. Kalau batuk dan sesak nafas kita kasih cotry dan zinc,” ujar Lanni.

Setiap kader dilengkapi dengan peralatan manual untuk menghitung kecepatan detak jantung. “Kalau lebih dari 100 denyut permenit dan nafasnya naik-turun (tersengal) kita harus bawa ke Puskesmas. Apalagi kalau panas tinggi,” kata Lanni.

Lanni pria sederhana yang murah senyum. Ia tidak memakai sandal sepanjang perjalanan dari Koragi-Iriliga. Ia mengajari saya cara menghitung detak jantung dengan peralatan aritimer.

(ki-ka) Sara Uaga, Lanni Koroba dan Demina Uaga, para kader kesehatan dari Bukit Iriliga/dok pribadi
(ki-ka) Sara Uaga, Lanni Koroba dan Demina Uaga, para kader kesehatan dari Bukit Iriliga/dok pribadi

“Saya berterima kasih sama WVI yang sudah ajar kami seperti ini,” kata Lanni dengan terbata-bata.

Sore menjelang. Matahari tersisa remang-remang sebelum masuk ke balik gunung. Suhu menjadi 15 derajat celsius. Sangat sejuk. Saya sengaja menjauh. Berdiri di belakang gereja, menikmati alam seasli-aslinya. Lembahnya seperti penuh misteri. Kicau burungnya. Bayangan bukitnya. Temaram cahaya matahari sorenya. Semua menyatu dalam keheningan yang dalam.

Saya bersyukur bisa bertemu dengan para kader, orang-orang sederhana yang berjibaku menyelamatkan kehidupan di bukit-bukit di Iriliga, Koragi, Onggabaga dan Kumudluk. Mereka benar-benar memeras keringat dan tidak mengeluh. Dalam segala keterbatasannya, mereka mau berbuat untuk sesamanya.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun