Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendekar Kesehatan dari Bukit Iriliga (Selesai)

3 Agustus 2022   21:30 Diperbarui: 3 Agustus 2022   21:31 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu Menteri jabat tangan. Saya senang sekali,” ujar Demina dengan wajah sumringah. Demina menyelesaikan pendidikannya melalui kejar Paket B dan C di Yalengga.

Sebenarnya ada peraturan dari pemerintah kabupaten Jayawijaya agar semua ibu hamil melahirkan di Puskesmas atau minimal dibantu tenaga kesehatan. Sehingga tugas kader HBLSS hanya menginformasikan kepada masyarakat mengenai tanda-tanda kesakitan dini pada pada ibu hamil dan anak baru lahir.

Tetapi antara Onggabaga dan kampung-kampung sekitarnya dengan Puskesmas Wollo berjarak lebih dari lima belas kilometer. Sekitar tiga jam berjalan kaki.

Hanya bisa jalan kaki sebab meskipun ada jalan perkerasan, kendaraan yang lewat hampir tidak ada. Persoalannya lagi, kata Demina, ibu-ibu hamil di tempatnya tidak tahu kapan mulai hamil sehingga sukar menetapkan Hari Perkiraan Lahir (HPL)nya.  

“Tiba-tiba saja ketuban sudah pecah. Mau tidak mau kita harus tolong di sini,” kata dia.

“Bagaimana dengan memotong tali pusar?”

Demina mengatakan, memakai silet baru yang sudah disterilkan. Silet direndam ke dalam air mendidih beberapa saat. “Harus silet baru. Tidak boleh yang sudah pernah dipakai. Nanti infeksi,” jelasnya.

Bagi orang dari luar Papua seperti saya, mendaki di bukit-bukit di Iriliga, Onggabaga dan Koragi bukan perkara gampang. Tetapi bagi Sara Uaga, bukan persoalan. Padahal ia tengah hamil tua Februari 2017 itu. “Kita sudah biasa to, Bapak,” ujarnya sembari tertawa.

Jarak antara Onggaba dan Iriliga memang hanya sekitar 3 kilometer. Tetapi jalanan yang mendaki dan menurun, apalagi berjalan di bawah terik matahari sungguh menguras tenaga. “Minimal satu minggu sekali saya ke Iriliga ketemu Bapak Wamber dan warga di sana. Tetapi tergantung kebutuhan saja,” kata Sara.

Lanni Koroba pun demikian. Sebagai kader MTBSM ia menangani tiga kampung yakni  Kumudluk, Koragi dan Telegai. Ia tidak menunggu pasien datang padanya. Ia yang proaktif mendatangi mereka.

“Kalau saya dengar ada anak bayi sakit, saya pasti ke sana membawa obat buat dia. Kalau mencret saya kasih oralit enam bungkus. Setiap buang air kasih satu bungkus. Kalau belum sembuh juga, saya temani ke Puskesmas Wollo. Kalau batuk dan sesak nafas kita kasih cotry dan zinc,” ujar Lanni.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun