Suatu kali saya jumpa Kopi Aroma di salah satu Cafe di dekat Kantor Pos Cikini. Dijual ulang. Pemiliknya pas ke Bandung, beli dua bungkus kopi ini.
Memang pembelian dibatasi. Hanya boleh dua bungkus kopi arabica dan dua bungkus kopi robusta. Kalau kopi yang disangrai hari itu habis, silakan datang esok hari. Antri lagi.
"Kopi ternama, apakah tidak ingin dikembangkan lebih besar," tanya saya pada Om Widya.
"Buat apa?" sergahnya.
Sebab ia sudah merasa cukup dengan apa yang dipunyai. Enough is enough! Bahkan ia membiayai sebuah panti asuhan yang menampung anak-anak cacat ganda di selatan Bandung. Ia mengajak saya ke sana hari itu.
Penampilan Om Widya tak berbeda dengan karyawan-karyawannya. Mereka memakai kemeja dan celana berwarna coklat dengan model yang  sama. Tetapi seragam Om Widya tampak lebih lecek. Bajunya penuh corengan jelaga dan kopi. Tangan, dahi dan pipinya hitam. Apalagi kuku-kukunya. Ia lebih "kotor" dari yang lain.
"Kami di sini satu keluarga. Sudah kenal lama sekali. Kami harus saling mendukung satu sama lain," terang dia.
Jujur dan tidak memikirkan diri sendiri, dua nilai yang menjadi prinsip dalam kehidupan Om Widya. Nilai-nilai ini ia pelajari dari orang tuanya. Â
"Ayah saya dan juga ayah angkat saya Prof. Soemitro mengatakan dalam harta yang kita miliki ada harta kaum miskin di dalamnya. Â Jadi kita tak bisa sembarangan memakainya. Dalam Kekristenan kita juga diajari untuk berpihak kepada yang lemah dan miskin, kan?" begitu anggota Gereja Katolik Katedral Bandung itu.
Rochmat Soemitro adalah profesor hukum pajak di Universitas Padjadjaran, Bandung. Om Widya mengakui Prof. Soemitro telah ikut menentukan jalan hidupnya.
 "Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa bersahabat. Prof Soemitro seorang Muslim dan ayah  saya Kong Hucu. Saya dapat ilmu kopi dari ayah dan ilmu ekonomi dari Prof Soemitro," ucapnya. Mengajar di almamaternya adalah  cara dia berterima kasih kepada Prof Rochmat Soemitro.