Sejak tahun 2015 WVI sudah menginisiasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian di Sumba Timur. Mereka bekerjasama dengan Forum Peduli Adat (FPA) "Pangadangu Mahamu" dan tokoh masyarakat di setiap desa.
Tujuannya satu: Prioritaskan pendidikan anak-anak. Bukan pesta adat!
Beberapa hari sebelum saya berjumpa Gidion, saya berada di bagian paling selatan kabupaten ini, di Desa Tawui, Kecamatan Tabundung. Ini daerah yang berbatasan dengan lautan Hindia, karena di sebelahnya sudah Australia. Piter Nahu Mara, sang kepala desa, adalah salah satu tokoh yang  sudah melaksanakan deklarasi penyederhanaan adat perkawinan dan kematian  di desanya.
"Maksimal di sini jenazah hanya boleh disimpan di rumah selama 8 hari sesuai kesepakatan bersama. Tuan rumah hanya menyiapkan makanan untuk tamu sebanyak tiga kali saja. Saat kumpul keluarga, pas rembuk soal pemakaman dan saat hari pemakaman," ujarnya.
 Sebab di Sumba Timur ada kebiasaan menyimpan jenzah di rumah selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, hingga datang "hari baik" ketika seluruh keluarga dikumpulkan dan yang meninggal dimakamkan. Selama jenazah berada di rumah, orang yang datang melayat wajib diberi suguhan.
"Dan itu biayanya bisa sampai 300-500 juta," kata Paulus K. Tarap, salah satu anggota FPA.
Saya jumpa Paulus lagi pertengahan Juli 2022 di Jakarta. Ia sedang mengikuti lokakarya penerima Fasilitasi Bidang Kebudayaan dari Kemendikbudristek. Yang ia usulkan adalah tentang revitalisasi adat perkawinan dan kematian di atas.
"Kita di Sumba sama sekali belum mengutamakan anak-anak untuk sekolah. Orang tua rela berutang untuk acara adat, sementara sekolah anak-anak tidak dipedulikan," kata Paulus.
Banyak orang tua yang terbelenggu oleh hutang adat, kata dia.
Tokoh lain yang saya jumpai adalah Marius Kuramoki. Ia mantan camat. Sudah pensiun. Seorang keturuan bangsawan. Ia yang pertama menyampaikan ide pembentukan FPA. Sebab ia pernah merasakan sendiri betapa kuliahnya terkatung-katung karena orang tuanya lebih mengutamakan adat, ketimbang ia yang sedang kuliah.
"Karena saya yang usul, saya mulai dari diri sendiri. Dari keluarga sendiri. Mula-mula sangat berat tantangannya. Bahkan dimaki-maki," kata dia.