Perjalanan paling baru saya ke Sumba terjadi pada Maret-April 2022 lalu. Untuk menuliskan praktik baik Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI) di Sumba Timur, NTT. Praktik baik tentang perlindungan anak dan pemberdayaan masyarakat.Â
Salah satu topiknya adalah soal revitalisasi adat perkawinan dan kematian yang terkait dengan pendidikan anak.
Saya jumpa Gidion Mbilijora Bupati Sumba Timur periode 2016-2021. Sebelumnya ia menjabat Wakil Bupati pada periode 2011-2016, sebelum di tengah perjalanan ia menggantikan Bupati Umbu Mehang Kunda yang meninggal dunia. Ia bercerita tentang ini:
Suatu kali Ketua WVI Sumba Timur, dr. Amsal Ginting (1971-2015) datang menghadapnya untuk melaporkan program kerja Yayasan itu. Antara lain soal pengadaan dokumen kependudukan bagi anak-anak berupa Akta Lahir.
 Amsal Ginting, kata dia, ingin melaksanakan kampanye antara lain dengan cara memasang baliho sebagai seruan kepada orang tua agar memprioritaskan anak-anak mereka.  Amsal Ginting bertanya kepadanya, "Bapa Bupati ada ide soal baliho? Apa yang harus kita tulis?"
Gidion dengan sigap menjawab. Ia berkata: "Hewan saja ada suratnya, masa anak-anak kita tidak?"
Yang datang bersama Amsal Ginting adalah seorang Jawa. Karikaturis. Ia yang akan menerjemahkan omongan Pak Bupati ke dalam gambar dan tulisan.
"Eh, itu karikaturis dia kaget sekali. Dia bilang, 'masa anak disamakan dengan hewan'? Terus saya bilang, 'Sumba ini wataknya keras,Pak. Jadi kita juga mesti keras omongnya', hehehe," kata Gidion tertawa.
Namun apa yang disampaikan Gidion adalah gambaran bahwa anak-anak, terutama masa depan mereka dalam pendidikan, belum terlalu dipedulikan oleh mayoritas orang tua di Sumba Timur dan Pulau Sumba pada umumnya. Pesta-pesta adat lebih penting dari pada masa depan anak-anak.
"Kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri. Sampai sekarang masih terjadi," kata Gidion kepada saya.