Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hospice Surya Kasih: Biarlah Mereka Meninggal sebagai Manusia

2 Agustus 2022   10:54 Diperbarui: 2 Agustus 2022   11:00 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bruder Agustinus Adil, OFM, Pengelola Hospice Surya Kasih Papua (Dokpri)

Hospice Surya Kasih berjarak 300 meter dari Rumah Sakit Dian Harapan, di Waena, Jayapura. Terletak di belakang, di sisi bukit, sebuah jalan beraspal menghubungkan keduanya.

Tetapi tak ada hubungan  resmi di antara mereka. RS Dian Harapan adalah milik Yayasan Dian Harapan. Sementara Hospice didirikan oleh Ordo Fratrum Minorum (OFM) atau yang dikenal sebagai Saudara-Saudara Dina.

Mereka baru terkait satu sama lain ketika ada pasien dari RS Dian Harapan yang tidak diurus keluarganya atau sudah dalam kondisi "terminal" dan sangat butuh pertolongan. Hospice mengulurkan tangan.

"Hospice bukan bagian resmi RS Dian Harapan. Hubungan kami kemitraan. Penyelenggaraan Hospice ditanggung OFM," Bruder Agustinus Adil, OFM, pengelola Hospice Surya Kasih, menjelaskan. Bruder Agus boleh disebut sebagai direktur di Hospice.

Hospice, sesuai namanya, menjadi tempat tambatan terakhir bagi pasien-pasien dengan penyakit stadium terminal. Artinya secara medis mereka sudah tidak bisa disembuhkan. Dalam kondisi demikian, hanya perawatan paliatif,  yakni pendekatan biopsikososial kepada mereka yang bisa dilakukan.

"Bahasa sehari-harinya ya, menyiapkan mereka untuk bisa menerima kematian dengan tenang," kata Bruder Agus. Hospice kata dia menerima pasien dari keluarga sangat miskin. Atau mereka  yang sudah dibuang keluarganya.

Meskipun maksud pendirian awal Hospice Surya Kasih adalah bagi orang pengidap HIV-AIDS (ODHA), namun mereka terbuka menerima pasien terminal yang disebabkan penyakit lain. Kanker misalnya. Dua orang perawat, bersama Bruder Agus merawat para pasien setiap hari, sampai ajal menjemput mereka.

"Tidak perlu pendidikan tinggi. Hanya perlu hati untuk memperhatikan mereka," ujarnya.

Semua biaya perawatan, termasuk untuk  makan-minum sehari-hari ditanggung oleh tarekat OFM.

Tak kurang Rp 60 juta setiap bulan diperlukan untuk operasional Hospice. Jumlah ini  bisa kurang jika ada yang menyumbangkan sembako dan keperluan sehari-hari seperti sabun, odol dan pakaian. 

"Akhir-akhir ini kami dibantu umat yang mengirimkan sembako," kata Bruder Agus.

Bagi pasien yang meninggal, Hospice menanggung biaya pemakaman. "Kami yang siapkan peti dan semua tatacara pemakaman. Beruntung pula sekarang ada donatur yang menyumbang peti mati. Kami sangat terbantu," jelas Bruder Agus.

Diskriminasi

Hospice didirikan karena keprihatinan Bruder Agus terhadap diskriminasi ODHA. Waktu itu, jika ada anggota keluarga ketahuan mengidap penyakit ini, ia diusir dari rumah oleh keluarganya. Bahkan diusir dari kampung tempat ia tinggal. Kasur, pakaian, rumah peralatan makan dibakar. Karena mereka dianggap bisa menularkan penyakit dan membawa kesialan. Sebab HIV-AIDS dicap sebagai penyakit kutukan.

 "Saya aktif dalam penyuluhan HIV-AIDS sejak tahun 2004. Sedih sekali kalau jalan dari kampung ke kampung dan kami temukan pasien yang dikucilkan keluarganya. Menderita sekali mereka. Tak bedanya dengan binatang," kenang Bruder Agus.

Pengalaman itu menjadi bahan refleksi Bruder Agus atas panggilan hidup membiaranya. Menurutnya semua  manusia pasti mati. Namun jangan sampai mati dalam kondisi kehilangan martabatnya sebagai manusia. Ia mencontoh apa yang dilakukan Santa Theresa dari Kolkata, India, terhadap orang-orang miskin di sana. Mereka meninggal dalam pelukan Santa Teresa. Setelah dimandikan dan diurus sebagai sesama manusia.

 "Biarlah kalau ajal datang menjemput,  mereka siap dan mati secara terhormat," ujarnya.  

Sementara itu banyak pasien dari daerah yang jauh. Terutama dari kabupaten-kabupaten di Pegunungan Tengah Papua. Mereka datang memeriksakan diri ke RS Dian Harapan. Kondisi mereka, kata  Bruder Agus,  rata-rata  sangat buruk. Selain mengidap HIV-AIDS, mereka juga menderita TBC atau terkena malaria dan infeksi saluran pernafasan (ISPA).

"Biasanya penyakit penyerta itu yang membuat mereka susah sembuh dari HIV-AIDS. Karena itu di sini kami sembuhkan dulu TBC atau Malaria atau sakit ISPAnya sebelum diberi obat ARV. Penyakit-penyakit penyerta itu ibarat bensin yang membuat HIV-AIDS menjadi subur berkembang," kata Agus.

RS Dian Harapan pasti memberikan perawatan. Sampai pasien layak berobat jalan. Namun demikian, proses penyembuhan berbulan-bulan itu tidak mungkin pasien terus berada di rumah sakit.

Segera timbul persoalan lain. Para pasien dari daerah yang jauh tidak punya keluarga di Jayapura yang bisa menampung mereka.

  "Mau tinggal di mana? Tidak mungkin mereka langsung pulang. Jarak sangat jauh. Jadi harus ada penampungan seperti rumah singgah. Sambil mereka minum obat dan diedukasi minum obat," ujarnya.

Terlebih lagi pasien yang sudah pada tahap terminal. Mereka harus didampingi agar bisa menerima kematiannya dengan tenang.

"Saya bilang, Santo Fransiskus  Xaverius dahulu mengobati dan hidup bersama para penderita kusta. Kusta zaman modern adalah HIV-AIDS ini. Saya bersyukur bahwa tarekat bisa memahaminya. Tahun 2007 Hospice dibangun," kata Br. Agus.

Rumah pertama hanya bisa menampung tiga pasien. Seiring waktu pasien kian banyak. Dibangunlah gedung baru. Rumah yang di sisi bukit itu.

=000=

ODHA harus minum obat seumur hidup. Pengetahuan tentang disiplin minum obat dan sanitasi pribadi ditanamkan selama mereka berada di Hospice. Beberapa pasien yang "normal" memilih pulang kampung. Mereka secara mandiri bisa  mengambil obat ke Puskesmas terdekat.

Ratusan ODHA sudah merasakan hospitalitas di Hospice Surya Kasih. Mereka datang ke Jayapura dari seluruh penjuru Papua, untuk mencari "kesembuhan". Mereka tahu RS Dian Harapan salah satu rumah sakit yang mendapatkan mandat pemerintah untuk menangani ODHA. Obat diberikan secara gratis. Di Hospice, mereka kembali merasa sebagai manusia. Martabatnya dihargai. Setelah perlakuan tidak manusiawi keluarga dan masyarakat.

"Waktu saya kena, kakak kandung mengusir saya dari rumah. Saya hidup terlunta-lunta, dalam kondisi sakit. Saya pulang ke Serui, sama saja. Akhirnya saya kembali ke Jayapura. Waktu berobat di RS Dok II, Bidan Siti anjurkan saya untuk ketemu Bruder. Tahun 2018 saya tinggal di Hospice. Belajar teratur minum obat. Setahun kemudian saya keluar dan dicarikan kost,  sambil terus minum obat," kata Jeffry, pasien yang sudah berani membuka statusnya.

Jeffry kini bekerja di Klinik Reproduksi RS Dian Harapan yang dikepalai Br. Agus. Ia menjadi pendamping sebaya. "Banyak teman sebaya yang kena juga. Saya mendampingi mereka mulai dari minum obat sampai memberi mereka semangat. Kalau kita rajin minum obat, menjaga kesehatan dengan makan makanan bergizi, kita bisa beraktifitas seperti orang pada umumnya," kata Jeffry.

Pernah sebuah rombongan besar datang dari Malang, Jawa Timur. Mereka adalah anggota DPRD Kota dan Kabupaten Malang yang melakukan studi banding. Mereka hendak mendorong pemerintah di sana untuk membangun rumah singgah seperti Hospice. Entah bagaimana hasilnya?

"Beberapa mahasiswa S1 juga pernah menjadikan Hospice sebagai bahan skripsi mereka," kata Bruder Agus. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun