Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Hospice Surya Kasih: Biarlah Mereka Meninggal sebagai Manusia

2 Agustus 2022   10:54 Diperbarui: 2 Agustus 2022   11:00 961
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bruder Agustinus Adil, OFM, Pengelola Hospice Surya Kasih Papua (Dokpri)

Bagi pasien yang meninggal, Hospice menanggung biaya pemakaman. "Kami yang siapkan peti dan semua tatacara pemakaman. Beruntung pula sekarang ada donatur yang menyumbang peti mati. Kami sangat terbantu," jelas Bruder Agus.

Diskriminasi

Hospice didirikan karena keprihatinan Bruder Agus terhadap diskriminasi ODHA. Waktu itu, jika ada anggota keluarga ketahuan mengidap penyakit ini, ia diusir dari rumah oleh keluarganya. Bahkan diusir dari kampung tempat ia tinggal. Kasur, pakaian, rumah peralatan makan dibakar. Karena mereka dianggap bisa menularkan penyakit dan membawa kesialan. Sebab HIV-AIDS dicap sebagai penyakit kutukan.

 "Saya aktif dalam penyuluhan HIV-AIDS sejak tahun 2004. Sedih sekali kalau jalan dari kampung ke kampung dan kami temukan pasien yang dikucilkan keluarganya. Menderita sekali mereka. Tak bedanya dengan binatang," kenang Bruder Agus.

Pengalaman itu menjadi bahan refleksi Bruder Agus atas panggilan hidup membiaranya. Menurutnya semua  manusia pasti mati. Namun jangan sampai mati dalam kondisi kehilangan martabatnya sebagai manusia. Ia mencontoh apa yang dilakukan Santa Theresa dari Kolkata, India, terhadap orang-orang miskin di sana. Mereka meninggal dalam pelukan Santa Teresa. Setelah dimandikan dan diurus sebagai sesama manusia.

 "Biarlah kalau ajal datang menjemput,  mereka siap dan mati secara terhormat," ujarnya.  

Sementara itu banyak pasien dari daerah yang jauh. Terutama dari kabupaten-kabupaten di Pegunungan Tengah Papua. Mereka datang memeriksakan diri ke RS Dian Harapan. Kondisi mereka, kata  Bruder Agus,  rata-rata  sangat buruk. Selain mengidap HIV-AIDS, mereka juga menderita TBC atau terkena malaria dan infeksi saluran pernafasan (ISPA).

"Biasanya penyakit penyerta itu yang membuat mereka susah sembuh dari HIV-AIDS. Karena itu di sini kami sembuhkan dulu TBC atau Malaria atau sakit ISPAnya sebelum diberi obat ARV. Penyakit-penyakit penyerta itu ibarat bensin yang membuat HIV-AIDS menjadi subur berkembang," kata Agus.

RS Dian Harapan pasti memberikan perawatan. Sampai pasien layak berobat jalan. Namun demikian, proses penyembuhan berbulan-bulan itu tidak mungkin pasien terus berada di rumah sakit.

Segera timbul persoalan lain. Para pasien dari daerah yang jauh tidak punya keluarga di Jayapura yang bisa menampung mereka.

  "Mau tinggal di mana? Tidak mungkin mereka langsung pulang. Jarak sangat jauh. Jadi harus ada penampungan seperti rumah singgah. Sambil mereka minum obat dan diedukasi minum obat," ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun