Tembakau Kodi, salah satu yang identik dengan suku Kodi yang mendiami Kawasan di bagian barat pulau Sumba. Panjangnya mencapai 2-4 meter, digulung dalam tali berdiamer 0,5 milimeter.Â
Para penjual memikulnya ke pasar, bernyanyi menarik pembeli. Bahasa yang dipakai campuran Indonesia-Kodi-Waijewa-Loura, sembari sebilah pisau mengiris tipis daging tembakau, ditempelkan pada ibu jari tangan, disorongkan kepada calon pembeli.Â
Kalau cocok, pembeli tinggal minta berapa lingkar "tali". Semakin enak tembakau, kian mahal harganya. Misalnya Rp 5.000 per satu lingkar tali.
Namun sedikit petani di Kodi yang menanam tembakau. Selain harus telaten menyiram, memupuk dan menyiangi, konon hanya orang bertangan "dingin" yang bisa menghasilkan tembakau top.
Biasanya tanaman tembakau diberi pupuk kandang berupa kotoran sapi atau kerbau. Setelah mencapai umur tertentu, tembakau dipanen dengan cara dipotong pangkalnya dan diperam selama beberapa hari, sebelum dililit dengan tali dari kulit pohon rami.Â
Panjang tembakau berkisar 2-4 meter dengan garis tengah 3-7 cm. Bayangkan saja orang menggulung rokok tingwe, namun ini dengan ukuran 50 kali lebih besar. Itulah tembakau Kodi.Â
Usai dililit tali, tiga bulan sekali lilitan akan dibuka untuk dikencangkan kembali. Agar getah tembakau bisa menyebar secara merata ke seluruh bagian. Salah satu faktor tembakau menjadi "enak" konon kalau si pemilik rajin melilit ulang tembakaunya.
Faktor lain tentu saja tergantung dari jenis tembakau.
Semakin enak tembakau, pasar akan sukacita menerimanya. Sebab itu ada beberapa penjual tembakau yang menjadi jaminan mutu. Atau menyebut nama kampung tertentu sebagai produk tembakau jempolan.
Dari mana tembakau di Kodi atau Sumba pada umumnya, bermula? Saya mengira dari Jawa yang dibawa oleh para pedagang Portugis, sebelum dijadikan tanaman komoditas oleh VOC dan Pemerintah Hindia Belanda.Â