Mohon tunggu...
Alexandra Felicia
Alexandra Felicia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa arsitektur yang memiliki hobi di bidang seni khususnya seni rupa dan musik. Selain itu, saya memiliki ketertarikan dalam gaya hidup, buku, dan juga teknologi. Saya merupakan pribadi yang antusias untuk mengetahui dan belajar hal baru dan memiliki motivasi tinggi untuk mengembangkan diri dan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Generasi X Terhadap Pernikahan Antara Etnis Tionghoa dan Jawa dalam Kaitannya dengan Komunikasi Antarbudaya di Indonesia

28 Oktober 2022   13:44 Diperbarui: 28 Oktober 2022   13:46 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alexandra Felicia

6112201056

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan banyak keragaman, salah satunya etnis. Keragaman ini memunculkan kemungkinan percampuran kultur dan budaya antara satu dengan yang lain baik melalui lingkungan sosial maupun suatu relasi yang mengikat yaitu pada perkawinan atau pernikahan. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pernikahan beda etnis atau disebut juga amalgamasi adalah pernikahan antara seorang pria dan wanita yang memiliki perbedaan latar belakang etnik atau ras.

Pernikahan merupakan relasi yang pasti memerlukan komunikasi satu sama lain. Menurut Collin Cherry (Rahmat, 2001:5) komunikasi adalah penggunaan bahasa atau tanda sebagai usaha dalam membentuk satuan sosial. Relasi dan interaksi sosial yang terjadi pada pernikahan beda etnis akan mempertemukan bahasa, budaya, sampai pada rasial antar etnis sehingga pernikahan beda etnis tidak lepas dari adanya komunikasi antarbudaya. Menurut Young Yung Kim dalam Suranto (2010) komunikasi antarbudaya adalah komunikasi di mana komunikan dan komunikator memiliki perbedaan latar budaya di mana individu yang ada melakukan kontak satu sama lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan tujuan memahami latar belakang yang berbeda dan pengaruhnya pada komunikasi, meningkatkan keterampilan komunikasi, menganalisis hambatan komunikasi antarbudaya, dan melatih komunikasi secara efektif.

Menurut Barna dalam Somovar ada enam hambatan dalam komunikasi antarbudaya antara lain asumsi tentang persamaan (assumption of similarities), perbedaan bahasa (language differences), kesalahpahaman nonverbal (nonverbal misinteroretation), prasangka dan stereotip, kecenderungan untuk menilai (tendency to evaluate), dan kegelisahan yang tinggi (high anxiety). Hal ini didukung oleh pernyataan Skinner dan Judac (2017) yang menemukan bias afektif yang dapat terjadi pada pasangan berbeda etnis, mereka dapat memprediksi kecenderungan untuk berprasangka dan melakukan tinfakan diskriminatif sehingga pasangan berbeda etnis sangat mungkin bahwa nilai-nilai yang ada saling bertabrakan dan memunculkan prasangka terkait etnis yang merupakan bentuk rasisme.

Pernikahan beda etnis menjadi suatu fenomena yang sering menjadi kontroversi dan perdebatan di masyarakat khususnya pada generasi X atau Xers. Menurut pengelompokan generasi oleh Martin & Tulgan (2002) generasi X adalah individu dengan kesamaan tahun lahir antara tahun 1965 sampai 1980. Pada tahun 2022, umumnya generasi X adalah orang tua dari generasi Z yang menurut Stillman (2017) adalah individu yang lahir antara tahun 1995 sampai 2012. Generasi Z hidup pada era globalisasi yang menyebabkan banyak terjadi pertukaran dan perubahan nilai atau budaya, salah satunya relasi antara lawan jenis yang berbeda etnis. Namun, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010, 89,3% pasangan di Indonesia menikah secara endogami atau dengan suku yang sama, hanya satu dari sembilan pernikahan yang merupakan pernikahan antaretnis. Dilansir dari berbagai situs berita seperti liputan6.com, kaskus, dan ributrukun, ada banyak relasi dan pernikahan beda etnis yang tidak direstui oleh orang tua yang adalah generasi X.

Generasi X merupakan pilar dalam keluarga generasi Z saat ini. Menurut Skinner, dalam Afif, 2012, h. 272-273, anak laki-laki pada keluarga etnis Tionghoa merupakan penerus keluarga sehingga dianggap sangat berharga. Selain itu juga disebutkan bahwa keluarga memiliki peranan yang penting untuk menjaga budaya dan tradisi yang ada. Maka dari itu, dalam keluarga etnis Tionghoa pernikahan menjadi suatu hal yang serius dan kekal, bahkan menurut Hefer (2007) ketika seorang anggota keluarga etnis Tionghoa menikah dengan individu berbeda etnis maupun agama, dia dapat dianggap "hilang" dari keluarga itu.

Relasi antara etnis Tionghoa dan Jawa merupakan etnis yang sering menjadi sorotan di Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia 2010 oleh Badan Pusat Statistik, masyarakat etnis Jawa berjumlah 3.453.453 jiwa sedangkan etnis Tionghoa berjumlah 632.272 jiwa. Menurut Jurnal Psikologi Indonesia, terdapat perbedaan persepsi antara etnis Jawa dan Tionghoa di mana etnis Jawa cenderung lebih negatif dalam memandang jati diri etnis. Namun, kedua etnis memandang etnis masing-masing lebih positif dibandingkan yang lainnya.

Pernikahan beda etnis mendorong kebudayaan dari etnis yang berinteraksi satu sama lain baik sadar maupun tidak saling mempengaruhi mulai dari pola pikir, sikap, sampai perilaku. (Haryo, dalam Indri, dkk. 2006, 194). Menurut Hariyono, nilai sosial dari etnis Tionghoa dan Jawa memiliki persamaan dalam beberapa prinsip seperti kerukunan, kebijaksanaan, dan jalan tengah. Namun, terdapat perbedaan nilai pada prinsip hormat di mana etnis Tionghoa didasarkan kepada umur dan relasi kekerabatan sedangkan etnis Jawa didasarkan pada tingkatan atau kedudukan di masyarakat. Selain itu, juga ada perbedaan dalam tradisi pernikahan di mana etnis Tionghoa melibatkan keluarga besar dalam pemilihan pasangan. Hal ini merujuk pada pernyataan Hefer bahwa keluarga memiliki peran untuk menjaga budaya atau tradisi keluarga. Pada etnis Jawa, pemilihan pasangan cenderung mengarah pada pertimbangan individu.

PEMBAHASAN

Teori Komunikasi Lintas Budaya pada Pernikahan Beda Etnis

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pernikahan atau perkawinan merupakan suatu ikatan yang menyatukan pria dan wanita, hal ini tidak dibatasi oleh identitas primer selain jenis kelamin. Maka dari itu, pernikahan beda etnis merupakan suatu hal yang dapat terjadi di masyarakat sebagai salah satu timbal balik dari interaksi sosial di tengah keragaman etnis di Indonesia. Komunikasi antarbudaya merupakan hal yang tidak lepas dari pernikahan beda etnis karena ikatan interaksi sosial yang terjadi dalam pernikahan sangat kuat sehingga mendorong adanya interaksi budaya dan kultural satu sama lain. Hal ini bisa berdampak positif dan juga negatif, komunikasi ini dapat membawa pada situasi di mana terjadi konflik terkait perbedaan kultur atau tradisi sehingga perlu adanya penyesuaian terhadap perbedaan yang ada. Komunikasi antarbudaya pada pernikahan beda etnis sesuai dengan teori tujuan yang menyebutkan bahwa tujuan komunikasi ini adalah mengenal dan memahami latar belakang budaya yang berbeda dan menganalisis hambatan komunikasi antarbudaya. Pemahaman diperlukan untuk menjaga relasi satu sama lain dan konflik adalah bentuk hambatan dari komunikasi tersebut.

Berdasarkan teori komunikasi lintas budaya terdapat enam hambatan yang mungkin terjadi, hal ini secara konkret juga terjadi dalam relasi pernikahan beda etnis. Pertama adalah asumsi tentang persamaan di mana dalam pernikahan beda etnis hal ini dapat terjadi terkait dengan asumsi kesamaan dalam tradisi atau kultur. Contohnya dalam tradisi Imlek dan Idul Fitri, memiliki kesamaan seperti berkumpul bersama keluarga dan menerima angpao atau THR (Tunjangan Hari Raya), namun terdapat perbedaan dalam prinsip hormat maupun tata cara. Hal ini dapat memunculkan asumsi persamaan. Hambatan kedua adalah perbedaan bahasa, etnis Tionghoa dan Jawa di Indonesia disatukan dalam bahasa Indonesia, namun dalam keluarga besar terdapat kemungkinan penggunaan bahasa asal seperti bahasa Mandarin maupun bahasa Jawa. Hambatan berikutnya adalah kesalahpahaman nonverbal, individu dengan kebudayaan berbeda memiliki pola pikir dan abstraksi indra yang berbeda. Hal ini dapat membawa pada kesalahpahaman terkait gestur, postur, serta gerak tubuh lainnya seperti gestur bersalaman sambil mencium tangan yang tidak familiar dengan etnis Tionghoa, atau gestur tata cara saat menerima angpao yang tidak familiar dengan etnis Jawa.

Hambatan yang kerap membawa konflik dalam komunikasi antarbudaya adalah prasangka dan stereotip. Jika dikaitkan dengan teori Hariyono, masyarakat etnis Jawa dan Tionghoa memiliki perbedaan nilai sosial. Nilai sosial ini dibawa dalam tradisi turun temurun dan dapat menjadi suatu stereotip. Contohnya adalah bagaimana dalam keluarga Tionghoa jika seorang anggota keluarga menikah dengan individu dari etnis lain, dia dapat dianggap "hilang" dari keluarga tersebut. Hambatan lain yang konkret terjadi adalah kecenderungan untuk menilai. Merujuk kepada Jurnal Psikologi Indonesia tahun 2009, adanya perbedaan persepsi antaretnis dapat menjadi dasar kecenderungan untuk menilai satu sama lain. Kecenderungan untuk menilai etnis lain secara negatif dapat membawa pernikahan beda etnis ke dalam konflik. Hambatan yang terakhir adalah kegelisahan yang tinggi, adanya berbagai perbedaan kultur dan tradisi, serta kemungkinan munculnya berbagai konflik, kegelisahan juga menjadi hambatan psikologis dalam komunikasi antar budaya pada pernikahan beda etnis.

Pandangan Generasi X Terhadap Pernikahan Etnis Tionghoa dan Jawa

Generasi X dan Z memiliki keterkaitan yang cukup besar, di mana pada umumnya generasi X merupakan orang tua dari generasi Z yang saat ini memasuki usia untuk memulai relasi lawan jenis sampai pada pernikahan. Generasi Z hidup pada era globalisasi di mana relasi yang terjadi melibatkan banyak pertukaran kultur dan budaya. Namun, pada berita di berbagai media banyak relasi dan pernikahan beda etnis yang tidak direstui generasi X sebagai orang tua. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak faktor. Jika dikaitkan dengan komunikasi antarbudaya dan perbedaan kultur yang ada, terdapat nilai-nilai sosial dan juga hambatan yang menjadi pertimbangan bagi generasi X tentang pernikahan beda etnis.

Etnis Tionghoa menganggap bahwa anak laki-laki merupakan penerus keluarga dan keluarga memiliki peranan yang penting untuk menjaga tradisi. Selain itu dalam pemilihan pasangan etnis Tionghoa melibatkan keluarga besar di mana menyatukan berbagai pandangan dan pikiran terkait perbedaan kultural dalam pernikahan beda etnis. Hal ini memungkinkan munculnya berbagai pendapat yang lebih sulit untuk disatukan dari sekadar pertimbangan individu dan keluarga inti seperti pada etnis Jawa. Pernikahan beda etnis tidak hanya menyesuaikan antara individu seorang wanita dan pria namun juga keluarga besar dari kedua individu. Penyesuaian nilai sosial dan kultur atau tradisi dalam keluarga besar ini yang menjadi pertimbangan generasi X dalam merestui pernikahan berbeda etnis.

Berdasarkan hambatan dari komunikasi antarbudaya, pernikahan beda etnis bukan merupakan hal yang mudah. Tradisi atau kultur antara etnis Tionghoa dan Jawa memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan tradisi juga membawa kepada perbedaan pola pikir dan gaya hidup, hal ini dapat menjadi problematika kultural seperti munculnya konflik berkaitan dengan integrasi maupun dominasi. Hal ini dapat membawa relasi pernikahan pada ketidakharmonisan bahkan perceraian. Salah satu hambatan yang banyak terjadi adalah munculnya prasangka, stereotip, dan kecenderungan untuk menilai. Hambatan ini merupakan hambatan yang tidak hanya muncul secara internal namun juga dapat muncul secara eksternal. Hal ini dapat datang dari individu, keluarga, keluarga besar, sampai pada masyarakat. Selain itu, adanya perbedaan tradisi juga menjadi problematika kultural yang banyak ditemui dalam relasi pernikahan beda etnis dan dapat memunculkan konflik yang berujung pada pertengkaran. Contohnya adalah perbedaan tradisi dalam pernikahan, pemakaman, bagaimana rumah harus dibangun, adat istiadat maupun tata cara, dan masih banyak lagi.

Perbedaan persepsi antara etnis Jawa dan Tionghoa juga diperhatikan oleh generasi X. Menurut data dari Jurnal Psikologi Indonesia tahun 2009, kedua etnis memandang masing-masing etnis lebih positif dibandingkan dengan yang lainnya sehingga rentan terjadi konflik, pemaksaan integrasi, bahkan dominasi budaya satu sama lain. Namun, jika perbedaan dan problematika yang ada dapat diatasi dengan baik, hal ini dapat menjadi pengaruh positif percampuran budaya dan pertukaran nilai kultural. Pernikahan beda etnis secara positif dapat menciptakan suatu percampuran budaya secara alkulturatif dan juga asimilatif.

KESIMPULAN

Pandangan generasi X terhadap pernikahan etnis Tionghoa dan Jawa mendapatkan pengaruh dari adanya komunikasi antarbudaya khususnya pada hambatan yang muncul dalam komunikasi tersebut. Hambatan dari perbedaan tradisi dan nilai sosial yang ada menjadi pertimbangan dan alasan bagi generasi X dalam memandang pernikahan beda etnis. Generasi X yang masih memiliki pengaruh kuat dari generasi di atasnya juga masih mendalami tradisi yang ada dalam kultur budaya masing-masing yang akan mendorong mereka untuk menjaga tradisi tersebut melalui relasi yang ada.

Berdasarkan pembahasan dan data yang ada, generasi X memandang pernikahan antara etnis Tionghoa dan Jawa memiliki beberapa nilai yang berbeda dengan nilai sosial masing-masing etnis. Nilai yang berbeda ini secara positif dapat menjadi alkulturasi dan asimilasi budaya namun juga dapat menjadi penyebab konflik yang menuju pada ketidakharmonisan pernikahan bahkan perceraian. Hal ini memungkinkan generasi X untuk memandang pernikahan beda etnis dari dua sisi yaitu menerima percampuran nilai budaya atau menghindari terjadinya konflik yang berakar dari problematika kultural pada komunikasi antarbudaya.

DAFTAR PUSTAKA

Chandra, Greta. 2020. Pernikahan Etnis Tionghoa dan Jawa di Kota Jombang. Diakses dari https://www.jurnalkommas.com/docs/Jurnal%20D121719.pdf

David Stillman & Jonah Stillman, Generasi Z: Memahami Karakter Generasi Baru yang Akan Mengubah Dunia Kerja Pengarang (Jakarta :Gramedia Pustaka Utama, 2018).

Harahap, R. E. (2016). Problematika perkawinan beda kultur: Studi kasus pada pasangan suami istri beda suku di Kelurahan Kober. Undergraduate thesis. Institut Agama Islam Negeri, Purwokerto. Retrieved from https://core.ac.uk/download/pdf/295320791.pdf http://repository.iainpurwokerto.ac.id/194/1/Cover_Bab%20I_Bab%20V_Daftar%20Pustaka.pdf

Hardi,M. Amalgamasi: Pengertian, Contoh, Dampak Positif dan Negatif-Nya!. Diakses pada 17 Oktober 2022, dari https://www.gramedia.com/literasi/amalgamasi/#Pengertian_Amalgamasi

Hariyono, P. 2006. Stereotip dan Persoalan Etnis Cina di Jawa. Semarang Mutiara Wacana.

Indri, P., Sarlito, W., dan Novianti A. 2006. Prasangka Pada Etnis Jawa Mengenai Perkawinan Antaretnis (Terhadap Etnis Batak dan Etnis Minang). JPS. Vol. 12(3). Jakarta: Universitas Indonesia.

Kompas.com. 22 Juni 2020. HUT Ke-493 Jakarta: Mendalami Pola Perkawinan Antarsuku di Ibu Kota. Diakses pada 18 Oktober 2022, dari https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/22/170300423/hut-ke-493-jakarta-mendalami-pola-perkawinan-antarsuku-di-ibu-kota?page=all.

Munawar, Akhmad. 2015. Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Positif yang Berlaku di Indonesia. Al'Adl, Vol. 7(2), 21.

Prihartanti, Nanik. 2009. Relasi Etnisitas Jawa-Cina dalam Masyarakat Majemuk. Anima, Indonesian Psychological Journal. Vol. 24(3), 245-254

Putra, Yanuar Surya. 2017. Theoritical Review Teori Perbedaan Generasi. Jurnal Ilmiah Among Makarti, Vol. 9(18), 125. http://dx.doi.org/10.52353/ama.v9i2.142.

Wahyuni, S., Lubis, F. O., & Nurkinan, N. (2019). Komunikasi Lintas Budaya Pernikahan Pasangan Beda Etnis. Jurnal Politikom Indonesiana, 4(1), 15--39. https://doi.org/10.35706/jpi.v4i1.1986.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun