Siapa yang tidak ikut menyanyikannya, ketika mendengar suara “Lir-ilir lir-ilir tandure woh sumilir.” Begitulah semarak dendang yang di sahut oleh masyarakat. Tembang ini seperti memiliki unsur magis yang luar biasa, ketika suatu orang mendengar pasti akan ikut menyanyikannya. Tembang ini awalnya digunakan oleh Sunan Kalijaga untuk melaksanakan syiar atau dakwah kepada masyarakat terutama masyarakat yang ada di Pulau Jawa.
Mengapa Sunan Kalijaga menggunakan Tembang Lir-ilir dalam metode dakwahnya?
Perlu diketahui bahwa, masyarakat pulau Jawa pada zaman dahulu masih menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Animisme merupakan bentuk kepercayaan masyarakat terhadap roh-roh leluhur. Sedangkan dinamisme merupakan wujud kepercayaan masyarakat kepada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan sakti dan mistis. Lantas apa kaitannya Sunan Kalijaga dengan kepercayaan masyarakat Pulau Jawa pada zaman dahulu?
Tujuan utama Sunan Kalijaga adalah untuk menyebarkan agama islam dengan syiar dan dakwahnya kepada masyarakat Jawa. Sunan Kalijaga memilih metode dakwah dengan tembang karena, ia merasa bahwa masyarakat pada zaman itu akan menerima ajaran islam dengan mudah apabila disampaikan dengan akulturasi budaya.
Mengapa pada zaman itu akulturasi sangat berpengaruh dalam penyebaran islam?
Masyarakat pulau jawa masih sangat erat kehidupannya dengan kepercayaan tradisional kepercayaan leluhur. Secara mudahnya dapat diibaratkan bahwa, tembang lir ilir merupakan mantra yang sering diucapkan oleh masyarakat Jawa ketika akan melakukan prosesi ritual menyembah roh leluhur.
Jadi, masyarakat pada zaman itu dapat menerima dengan mudah menerima ajaran islam karena, kecerdasan strategi Sunan Kalijaga dalam menyampaikan syiarnya tanpa meninggalkan akar budaya yang sudah ada dalam masyarakat.
Di samping itu tembang Lir-ilir pada dasarnya diciptakan oleh Sunan Kalijaga bukan semata-mata tembang biasa. Namun, tembang ini memiliki arti dan makna yang sangat mendalam terutama pada aspek religiusnya.
Lirik Tembang Lir-ilir :
Lir-ilir, lir-ilir
(Bangunlah, bangunlah)
Tandure wus sumilir
(Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo
(Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar
(Bagaikan pengantin baru)
Cah angon, cah angon
(Anak gembala, anak gembala)
Penekno blimbing kuwi
(Panjatlah (pohon) belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno
(Biar licin tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro
(Untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro, dodoiro
(Pakaianmu, pakaianmu)
Kumitir bedah ing pinggir
(Terkoyak-koyak di bagian samping)
Dondomono, jlumatono
(Jahitlah, Benahilah)
Kanggo sebo mengko sore
(Untuk menghadap nanti sore)
Mumpung padhang rembulane
(Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane
(Mumpung banyak waktu luang)
Yo sorako, sorak iyo
(Ayo bersorak lah dengan sorakan Iya)
Makna Pada Tembang Lir-Ilir
Tembang Lir-ilir bukan hanya sekadar lagu, melainkan sebuah karya sastra dengan kandungan nilai spiritual, filosofi kehidupan, dan dakwah Islam yang mendalam. Setiap baitnya memiliki nilai-nilai tertentu yang mengandung pesan moral dan religius bagi masyarakat.
1. Ajakan untuk Bangkit
"Lir-ilir, lir-ilir, tandure wus sumilir"
Bait ini mengandung makna ajakan untuk bangkit dari keterpurukan, baik secara jasmani maupun rohani. “Tanaman sudah bersemi” menggambarkan potensi hidup yang sudah tersedia, sehingga manusia perlu memanfaatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.
2. Simbol Pengantin Baru
"Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar"
Keindahan tanaman hijau diibaratkan seperti pengantin baru yang penuh harapan dan kebahagiaan. Hal ini menggambarkan keadaan jiwa yang suci dan siap untuk menerima ajaran Islam.
3. Perintah Melaksanakan Rukun Islam
"Cah angon, cah angon, penekno blimbing kuwi"
Pohon belimbing adalah simbol rukun Islam yang berjumlah lima, sesuai dengan bentuk buah belimbing yang memiliki lima sisi. Ajakan untuk memanjat pohon belimbing, meski licin, melambangkan perjuangan dalam menjalankan rukun Islam.
4. Mensucikan Diri
"Kanggo mbasuh dodotiro"
Dodot, atau pakaian, adalah simbol hati. Bait ini mengingatkan manusia untuk membersihkan hati dari dosa dan kesalahan sebelum menghadap kepada Allah.
5. Membersihkan Jiwa
"Dondomono, jlumatono, kanggo sebo mengko sore"
Pakaian yang terkoyak atau rusak diibaratkan seperti jiwa yang terkena noda. Ajakan untuk menjahit dan memperbaiki pakaian melambangkan introspeksi diri, pertobatan, dan mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Sang Pencipta.
6. Bulan Bersinar
"Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane"
Bait ini adalah pengingat agar memanfaatkan waktu sebaik-baiknya selama kesempatan masih terbuka. Dalam ajaran Islam, ini mencerminkan pentingnya menunaikan kewajiban selagi masih diberi umur dan kesehatan.
7. Sorakan Kegembiraan
Yo sorak’o, sorak’iyo
Sorakan kegembiraan di akhir tembang adalah simbol kebahagiaan ketika manusia berhasil melalui perjuangan hidup dengan iman dan amal.
Di Yogyakarta, tembang Lir-ilir sering dilantunkan dalam berbagai acara tradisional, seperti upacara adat, pernikahan, dan syukuran. Kehadirannya menjadi simbol harmoni antara agama Islam dan budaya Jawa. Masyarakat Yogyakarta, yang kental dengan nilai budaya dan religius, memandang tembang ini sebagai warisan penting yang mengandung pesan kebijaksanaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, Lir-ilir mengajarkan masyarakat untuk selalu menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan budaya, serta menjalankan ajaran agama dengan penuh kesadaran. Hal ini sejalan dengan semangat toleransi dan kebersamaan yang menjadi ciri khas masyarakat Yogyakarta.
"Salam Rahayu, Matur Nuwun"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H