Aku sudah berlabuh cukup lama di bawah naungan langit Rembang yang senantiasa cerah. Dua tahun lamanya, namun dalam latar waktu yang sama. Rembulan masih bersinar di atas kepalaku, dirgantara mendukung sepasang mataku untuk menilik rupa indah cerahnya itu. Di balik rembusai dedaunan bambu yang lebat, semilir angin malam berembus, acap kali terperangkap di daun telingaku yang sudah mulai memerah karena kedinginan. Namun tak begitu berpengaruh, karena sebelumnya, aku sudah meminta segelas kopi  robusta hangat milik adik kelasku, Rakta.
Malam itu, bersitan masa lalu menghampiri relung pikirku. Dua tahun lalu, di mana aku masih duduk di atas sofa, dengan hati yang gulana, iri dan dengki terhadap romantisnya laku omku terhadap istri barunya itu. Namun bukan itu, bukan itu yang paling mengenang dari bersitan memori kecilku.
"Sebentar lagi sweet seventeen dong?"
Hampir tersedak ampas kopi itu, tetiba habis sampai titik terakhir. Hanya tersisa endapan ampas yang sedikit menjorok ke leher gelas, hampir saja kutenggak.
Kutaruh gelasku di samping meja kerja, di depan laptop yang menyala, di sebuah ruangan yang sepi, tiada suara napas, bahkan jejangkrik langganan rutinan yang lelah berkoar-koar. Malam ini benar-benar sunyi, pikiranku terbuka sepenuhnya, pun dengan kenangan yang terjadi persis di hari ini, di tahun yang berbeda.
Kakiku melangkah sendiri ke arah pintu keluar ruangan itu, menuju alam terbuka, di atas jalan lurus berpaving, di hadapan barisan rumah kepang berlampu kuning hangat, bersahabat. Aku kembali menatap rembulan purnama itu, di tengah kesunyian, memejamkan mata.
Â
Hei, sadarlah
Kau menua sekarang
Hidup tak soal senang-senang
Lantas, bagaimana hidup yang tengah kau papah?