"15 tahun," jawabku singkat. Ia kembali terkekeh. Lantas berbisik ke telinga kanan suami barunya itu, yang tak lain adalah omku. Mereka berdua terkekeh. Sial, ada apa ini?
"Sebentar lagi sweet seventeen dong, hehehe."
Masih dua tahun lagi. Ya, sebentar, atau lama, ini relatif. Lalu, ada apa dengan diriku di umur ketujuh belas?
"Memangnya bakal terjadi apa kalau saya sudah 17 tahun, Nan?"
Mereka bersitatap, kemudian kembali melihat kepadaku misterius.
"Usia 17 tahun itu adalah masa-masa yang rawan, Bang. 17 tahun itu, juga menjadi penentu bagaimana masa depan Abang, percaya nggak?" tukas Nantulang menggantung. Aku menggeleng.
"Di usia 17 tahun itu, manusia akan diuji dengan dunia yang lebih kompleks, dengan sisi dunia yang sebenarnya memiliki banyak hal-hal baru yang tampak menarik. Di usia 17 tahun itu, manusia mengalami perkembangan hormon besar-besaran, dan itu berdampak pada pola pikir manusia terhadap suatu hal, masa-masa di mana rasa ingin tahu mereka akan segala hal akan melonjak cukup tinggi," jelas Nantulang teliti.
"Jadi?" aku masih tak bisa menangkap maksudnya.
"Jadi, tanpa adanya iman yang kuat, pengawasan yang ketat, mereka akan hancur. Mengapa? Rasa ingin tahu mereka menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan dan perbuatan yang bertolak belakang dengan norma."
Ah, benarkah? Lantas mereka kembali bertatapan, dan aku kembali dengan wajah cemberutku. Mereka selalu saja begitu.
***