Mohon tunggu...
Wangga Reksabumi
Wangga Reksabumi Mohon Tunggu... -

berarti penjaga bumi yang pemberani SUBSCRIBE US NOW ON YOUTUBE FOR ENDLESS JOURNEY!! https://m.youtube.com/channel/UCzLdf_K9LXeHBya5XeVcBiA

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Baduy, Desa Wisata Adat

3 April 2016   23:47 Diperbarui: 4 April 2016   00:22 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari Sabtu pagi tepatnya pukul 06.30 tanggal 20 Februari 2016, saya dan teman-teman yang berjumlah 14 orang berkumpul di Stasiun Pasar Minggu untuk mengawali perjalanan kami menuju tempat kediaman Suku Baduy Luar yang terletak di Banten. Mengapa hanya Baduy Luar dan bukannya sekaligus ke Baduy Dalam? Pilihan tersebut kami lakukan bukannya tanpa alasan. Awalnya, kami berencana untuk mengunjungi Baduy Dalam yang cara hidupnya masih sangat tradisional dan terjaga kearifan lokalnya dibanding dengan Baduy Luar. Tetapi, bertepatan dengan dilaksanakannya perjalanan kami saat itu, Baduy Dalam sedang melaksanakan salah satu upacara adat mereka yaitu Upacara Kawalu. Apa itu Upacara Kawalu? Nanti akan kami jelaskan lebih lanjut.

Kami sudah menyiapkan semuanya dari mulai logistik, rundown acara, dan contact person yang akan menemani kami selama kami di Baduy. Hari begitu cerah mengiringi perjalanan kami. Setelah kami berkumpul, kami langsung melakukan perjalanan dari Stasiun Pasarminggu dengan commuter line jurusan Tanah Abang untuk bertemu satu orang lagi teman kami dan selanjutnya menaiki kereta Rangkas Jaya di sana. Kami berangkat dari Stasiun Pasar Minggu tepat pukul 07.00 WIB.

Pukul 07.52 kami sampai di Stasiun Tanah Abang dan bertemu dengan satu teman kami dan perjalananpun resmi dibuka dengan membaca doa. Sebelumnya, kami sudah membeli 15 tiket perjalanan menuju Rangkasbitung dengan harga per tiket Rp 5.000,00. Setelahnya, kami menunggu kedatangan Kereta Rangkas Jaya yang akan membawa kami ke Stasiun Rangkasbitung.

Pukul 08.13, kereta datang. Kereta masih melakukan persiapan selama beberapa menit sehingga kereta baru berangkat menuju Stasiun Rangkasbitung pada pukul 08.32. Pukul 09.40, kereta berhenti di Stasiun Tigaraksa. Kursi-kursi yang masih kosong segera terisi dengan cepat dengan naiknya penumpang baru dari Stasiun Tigaraksa.

Pukul 09.53 kereta kembali melanjutkan perjalanan dari Stasiun Tigaraksa. Setelah menunggu selama kurang lebih 40 menit, akhirnya kereta sampai juga di Stasiun Rangkasbitung, tempat di mana perjalanan kami ke Suku Baduy Luar akan segera dimulai. Tepatnya pukul 10.28, kereta berhenti di Stasiun Rangkasbitung. Kami segera mengemasi barang-barang kami dan memastikan tidak ada sesuatupun yang tertinggal, lalu turun dari kereta.

Di peron, kami menghubungi contact person yang akan mengantarkan dan sekaligus menjadi guide kami dalam perjalanan ke Suku Baduy Luar. Setelah bertemu, kami segera berjalan keluar dari stasiun ke tempat elf parkir.

Pukul 12.08, setelah perjalanan yang sangat mengesankan dengan elf, akhirnya sampailah kami di Desa Ciboleger. Desa ini merupakan pintu masuk menuju Suku Baduy Luar. Di desa ini kami melakukan ishoma lalu pada pukul 13.15, kami mulai memasuki perkampungan Baduy. Sebelum pintu masuk ke perkampungan tersebut, kami melewati pasar di mana masyarakat Suku Baduy melakukan transaksi jual-beli di situ. Di mana-mana kami melihat manusia, tua dan muda, laki-laki juga perempuan, mengenakan baju berwarna hitam dan putih, berseliweran membawa barang dagangan ataupun barang yang mereka beli di pasar tersebut.

Sebelum memulai Trekking, kami mendaftarkan diri kami terlebih dahulu selaku syarat untuk memasuki Kampung Baduy kepada “Puun” atau biasa orang awam sebut Ketua RT. Contact person kami memperkenalkan kami kepada Kang Santa, seorang Baduy Dalam, yang akan menjadi guide kami dalam perjalanan ini. Setelah urusan registrasi sudah selesai, kami pun memulai Trekking menuju Kampung Baduy. Setelah melewati beberapa desa yang terpisah-pisah, satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.00 sampailah kami di desa tempat kami menginap yakni Desa Gajebo.

Di desa inilah kami akan bermalam dan melepas lelah. Di sela-sela waktu istirahat kami, kami mulai bercakap-cakap dengan Kang Santa. Kami bertanya-tanya mengenai acara Upacara Kawalu yang dilaksanakan oleh Baduy Dalam yang menyebabkan Baduy Dalam ditutup untuk beberapa waktu. Dengan kemampuan berbahasa Sunda kami yang pas-pasan, dan kemampuan Kang Santa berbahasa Indonesia dengan lumayan, kami berhasil mendapat beberapa informasi mengenai upacara sakral ini.

Upacara Kawalu adalah salah satu dari sekian banyak upacara adat Suku Baduy. Tujuan diadakannya upacara ini adalah untuk berterima kasih dan bersyukur atas musim panen di Suku Baduy. Seluruh masyarakat Baduy ikut melaksanakan upacara ini, namun pelaksanaan terfokus di Baduy Dalam sehingga hanya Baduy Dalam-lah wilayah yang ditutup selama beberapa saat ketika upacara ini dilaksanakan.  Upacara Kawalu dilaksanakan secara rutin setiap tahunnya setiap tanggal 18 atau 19 Februari dan akan berlangsung sampai bulan Mei. Rangkaiannya masih bisa berlangsung pada hari dan bulan tertentu yang dipilih Ketua Adat, berupa makan-makan besar di Baduy Dalam.

Upacara Kawalu hanya dilaksanakan selama satu hari, namun rangkain upacaranya berlangsung sampai berminggu-minggu lamanya. Rangkaian upacaranya adalah menanam padi, nagrak, dan kawinan. Ada juga  acara membawa hasil panen dari Baduy Luar ke Baduy Dalam untuk dimasak dan dimakan bersama di sana.

Tata cara pelaksanaan Upacara Kawalu adalah masyarakat Baduy berpuasa selama satu hari. Puasa ini dilaksanakan oleh masyarakat Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelahnya, Ketua Adat akan memilih hari dimana pada hari tersebut akan diadakan makan besar bersama antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Hal seperti ini diatur oleh orang Baduy Dalam selaku suku yang masih sangat menjunjung tinggi adat leluhur nenek moyang mereka, sedangkan orang di Baduy Luar hanya bertugas untuk melaksanakannya.

Baduy Dalam ditutup karena keseluruhan upacara terjadi di dalamnya. Upacara Kawalu dilaksanakan di tiga desa yaitu Cibeo, Cikartawarna, dan Cigesik. Makna dari Upacara Kawalu ini adalah dengan diadakannya upacara ini, Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar menjalin kembali tali silaturahmi. Prosesi yang harus dilewati antara lain Baduy Dalam tidak boleh disinggahi siapapun yang tidak berkepentingan sehingga kami tidak dapat mengambil gambar atau mendokumentasikan Upacara Kawalu.

Pukul 15.30 kami memutuskan untuk berjalan-jalan menuju desa yang lebih jauh dari tempat kami menginap dengan ditemani oleh Kang Santa. Kami melakukan perjalanan sambil mengobrol kecil dengan Kang Santa, bertanya lebih jauh tentang kehidupannya di Baduy Dalam dan aturan hidup di sana yang konon masih kental dengan tradisi dan adat.

Kami berhenti di suatu desa setelah berjalan beberapa saat. Desa tersebut adalah Desa Ciparel dan di sana kami bercakap-cakap dengan beberapa penduduk. Mayoritas Suku Baduy belum bisa atau mungkin memang tidak mempelajari bahasa Indonesia sehingga kami harus meminta bantuan Kang Santa untuk menjadi translator kami. Kami berhasil menanyakan beberapa pendapat tentang Upacara Kawalu dari masyarakat Baduy Luar.

Karena terlihat mendung sudah mulai menyelimuti langit, dan rintik air hujan pun sudah mulai turun membasahi, kami memutuskan perjalanan kami berhentilah sampai di Desa Ciparel sehigga pukul 16.10 kami kembali berjalan menuju Desa Gajebo tempat kami menginap. Lalu beberapa dari kami pergi ke sungai untuk mandi atau sekedar membersihkan badan. Setelahnya kami melaksanakan salat maghrib dan membantu pemilik rumah menyiapkan makan malam untuk kami.

Pukul 19.00, makan malam kami yang sangat sederhana sudah tersaji di hadapan kami. Makan malam kali ini terdiri dari nasi, tempe goreng, ikan asin, dengan air putih sebagai pemuas dahaganya. Makan malam sederhana itu sangat berkesan namun  terasa sangat nikmat karena kental akan rasa kebersamaan.

Setelah mengobrol dan menikmati kesunyian Kampung Baduy ini, pukul 21.00, para laki-laki memisahkan diri untuk tidur di rumah penduduk yang terpisah.

Keesokan harinya, Minggu, 21 Februari 2016, pukul 05.00 kami sudah terjaga dan melaksanakan ibadah salat subuh. Kami harus mengambil wudhu di kamar kecil yang terletak di luar karena di setiap rumah tidak tersedia kamar kecil. Pukul 06.00 pagi, kami meminta izin kepada pemilik rumah untuk membantu menyiapkan sarapan dengan menghangatkan sarden juga sosis yang kami bawa.

Pukul 06.30, kami sarapan dengan nasi dan lauk-pauk berupa sarden, dan sosis juga air putih. Kami mengajak teman Kang Santa yang juga merupakan orang Baduy Dalam yaitu Kang Jali untuk sarapan bersama-sama dengan kami. Selesai sarapan, kami mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Kang Jali. Sambil bercanda-canda dan tertawa riang kami menanyakan hal-hal yang ingin kami ketahui lebih dalam tentang Baduy. Kang Jali pun menawarkan barang dagangannya berupa tas rajut dari akar kepada kami.

Pukul 07.40, kami bersiap untuk pulang. Kami segera berpamitan dengan pemilik rumah yang kami inapi semalam, sambil menyampaikan cinderamata tanda terimakasih kami berupa ikan asin. Kami beramah-tamah dengan para pemilik rumah seraya berterima kasih atas kesediaan mereka untuk memberi kami naungan selama berada di Desa Gajebo ini. Sebelum trekking kembali ke Desa Ciboleger, kami melakukan sesi foto-foto di depan rumah adat Baduy bersama Kang  Santa dan Kang Jali. Pukul 08.30, kami memulai perjalanan kembali ke Desa Ciboleger.

Kami tiba di Desa Ciboleger pada pukul 09.21. Di sini kami menunggu elf yang akan membawa kami ke Stasiun Rangkasbitung. Setelah beristirahat sejenak melepas rasa lelah sehabis trekking pukul 10.56 berangkatlah kami kembali ke Stasiun Rangkasbitung dengan elf. Sampailah kami di Stasiun Rangkasbitung pada pukul 12.19.

Pukul 12.23 kami melaksanakan ishoma. Selesai makan, kami bergegas menuju stasiun dan membeli tiket jurusan Tanah Abang. Pukul 14.48 kereta Rangkas Jaya jurusan Tanah Abang mulai bergerak. Di sepanjang perjalanan, hujan turun mengguyur mengiringi kepulangan kami ke Jakarta.

Pukul 16.35 kami sampai dengan selamat di Stasiun Tanah Abang. Dengan ucapan rasa syukur yang tiada henti, kami menutup acara kami dengan doa, lalu kami berpisah untuk melanjutkan perjalanan ke rumah masing-masing.

Perjalanan ke Baduy merupakan sebuah pengalaman yang sangat berkesan. Walau melelahkan, tapi sarat dengan makna dan keindahan juga kebersamaan. Baduy merupakan suatu cerminan kekuatan adat yang tak lekang oleh zaman. Walaupun banyak dari masyarakatnya sudah menjejakkan kaki di kota-kota metropolitan seperti Jakarta, namun adat istiadat setempat selalu dijunjung tinggi oleh mereka. Kesederhanaan dan keteraturan Suku Baduy akan selalu membuat kami rindu untuk menjejakkan kaki kembali di tanahmu, Baduy. Sampai bertemu di lain waktu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun