Rasa takut semakin menyelimuti Vivie, satu hal yang diketahuinya saat ini, film yang baru saja dilihatnya adalah empat adegan pembunuhan sadis yang salah satunya terjadi di rumah yang kini dia tempati.
Tiba-tiba saja Vivie mendengar seseorang menyanyikan lagu yang sama dengan yang dinyanyikan Yola tadi siang. Vivie menatap ke arah Yola yang tertidur pulas, perlahan Vivie beranjak menuju asal suara nyanyian itu.
Vivie terus mencari asal suara nyanyian tersebut hingga ke halaman belakang rumah. Tak sengaja mata Vivie tertuju pada pohon di dekat gudang, di sana dia melihat Yola yang tiba-tiba saja ada di dekat pohon itu.
“Yola, kamu ngapain di sini? Bukannya tadi kamu lagi tidur?” tanya Vivie namun Yola tak kunjung bangun.
“Papa, Mama, Kak Sandi!!!” teriak Vivie panik.
“Apaan sih teriak-teriak?” tanya Sandi menghampiri.
“Yola tiba-tiba ada di sini Kak,” jawab Vivie.
“Pasti penyakit tidur sambil jalannya kumat lagi nih,” ucap Sandi yang langsung membopong Yola ke dalam rumah.
“Yola kenapa?” tanya Mamanya.
“Yola tidur sambil jalan lagi Ma,” jawab Sandi.
“Apa Yola yang nyanyiin lagu tadi? Suaranya berasal dari deket gudang, dan tiba-tiba aja Yola ada di sana. Atau mungkin di rumah ini ada sesuatu?” batin Vivie.
****
Keesokan harinya saat jam istirahat sekolah, Vivie segera menyusul Ales yang sudah terlebih dahulu pergi ke kantin.
“Kamu kemarin bilang kalau Ayahmu yang mengusut kasus pembunuhan yang terjadi di rumahku kan?” tanya Vivie.
“Iya, kenapa?” jawab Ales.
“Apa sebelumnya Ayahmu pernah mengusut kasus pembunuhan serupa?” tanya Vivie.
“Aku juga kurang tahu sih. Yang jelas kejadian itu terjadi saat aku baru pindah ke sini, sepuluh tahun yang lalu,” jawab Ales.
“Jadi kamu bukan asli orang sini?” tanya Vivie.
“Aku asli Cilacap, tapi mungkin aku bisa bantu kamu soalnya Ayahku selalu menyimpan berkas setiap kasus yang dia tangani. Mungkin kita bisa dapat info,” jawab Ales.
“Kamu serius?” tanya Vivie senang.
“Iya. Gimana kalau nanti pulang sekolah kamu langsung ke rumahku?” ajak Ales.
“Boleh, tapi apa ga ngerepotin?” tanya Vivie.
“Enggalah, aku malah seneng bisa bantu kamu. Tapi kenapa kamu nanyain soal ini?” tanya Ales balik.
“Aku rasa ada kasus lain yang berhubungan dengan pembunuhan di rumahku. Pas aku baru pindah ke rumah itu aku nemuin beberapa CD, dan CD itu semuanya berisi adegan pembunuhan sadis yang salah satunya terjadi di rumahku. Anehnya lagi, anak bungsu dari keluarga-keluarga itu yang semuanya perempuan selalu menghilang entah kemana,” jawab Vivie.
“Kamu serius?” tanya Ales terkejut.
“Iya, dan salah satu adegan di film itu sama seperti lukisan di kamarku,” jawab Vivie.
Ales seakan tak percaya dengan semua yang di ucapkan Vivie, suara bel akhirnya menyadarkan mereka bahwa waktu istirahat telah habis dan mereka harus segera kembali ke kelas.
****
Tepat pukul 3 sore Ales dan Vivie tiba di rumah Ales, mereka segera beranjak ke kamar dan Ales menunjukan berkas-berkas pembunuhan milik Ayahnya.
“Ini semua berkas pembunuhan yang pernah ditangani Ayahku,” ucap Ales. Vivie mengambil semua berkas itu dan membacanya satu persatu dibantu oleh Ales.
“Coba kamu baca berkas ini, salah satu keluarga di Jakarta yang terdiri dari Pak Edo, Bu Mira dan kedua anaknya menjadi korban pembunuhan sadis. Keluarga ini ditemukan tenggelam di kolam renang dalam keadaan terikat. Menurut beberapa saksi, malam itu keadaan rumah Pak Edo tampak sepi, tidak ada kejadian yang mencurigakan di rumah itu. Kini Polisi masih mencari siapa pembunuhnya. Dikabarkan bahwa anak bungsunya yang bernama Ayu Safira Oktaviani ikut raib bersama pembunuh itu. Masih belum diketahui bagaimana keadaan Okta saat ini, tidak ada barang bukti apapun di TKP kecuali tali yang mengikat tubuh korban serta sebuah topeng yang diduga digunakan oleh pelaku,” kata Ales.
Vivie tak lagi mendengar apa yang dikatakan Ales, pikirannya tertuju pada topeng yang dikatakan oleh Ales. Ales menunjukan gambar topeng yang terlampir di berkas itu.
“Ini kan topeng yang pernah dipakai Yola,” ucap Vivie kaget.
“Kamu yakin?” tanya Ales.
“Iya, Yola bilang dia nemuin topeng itu di gudang,” jawab Vivie.
“Mungkin pelakunya yang menyimpan topeng itu di sana,” gumam Ales.
“Bisa jadi. Ingat, kasus ini berhubungan dengan pembunuhan di rumahku,” ucap Vivie.
“Dua pembunuhan lain yang kamu lihat di CD, di mana dan gimana kejadiannya?” tanya Ales. Vivie pun menceritakan kronologis kejadiannya seperti apa yang ditontonnya di CD.
“Jadi si pelaku setelah ngelakuin pembunuhan selalu menculik anak bungsu dari keluarga yang dibunuhnya, dan semuanya perempuan,” kata Ales.
“Oh iya aku ingat, setiap judul dari CD itu selalu ada angkanya. Seperti Kutukan Misterius 82, Kutukan Misterius 92 dan seterusnya. Menurutmu itu semacam kode atau apa?” tanya Vivie.
“Aku rasa angka itu menunjukan tahun kejadian pembunuhannya. Biasanya kita selalu menyingkat dua angka terakhir dari tahun yang kita tulis kan?” jawab Ales.
“Benar juga. Berarti keempat pembunuhan itu terjadi tahun 1982, 1992, 2002, dan 2012. Selalu berselisih sepuluh tahun,” seru Vivie senang karena mulai menemukan titik terang.
“Tapi Vie, kalau emang pembunuhnya hanya satu orang, apa itu mungkin? Pembunuhan pertama terjadi tahun 1982, berarti kalau si pembunuh saat itu berusia 30 tahun, maka saat ini dia berusia 70 tahun, itu juga kalau dia masih hidup,” ucap Ales.
“Kamu benar Les, kasus ini makin rumit aja sih,” gerutu Vivie.
“Kita perkirakan aja pembunuhnya berusia 20 tahun saat itu,” ucap Ales.
“Kenapa kamu menyimpulkan begitu?” tanya Vivie.
“Ga mungkin kan pembunuhnya bocah berusia 10 tahun? Kamu lihat tubuh Pak Edo yang kekar, apa mungkin seorang bocah berusia 10 tahun bisa dengan mudah ngalahin Pak Edo?” tanya Ales balik.
“Benar juga, lagi pula yang dibunuhnya empat orang sekaligus,” gumam Vivie.
“Kalau emang benar pembunuhnya berusia 20 tahun, berarti saat ini usia dia sudah 60 tahun,” ucap Ales.
Vivie dan Ales semakin bingung dengan kasus pembunuhan itu yang sangat tidak masuk akal dan mungkin sulit untuk dipecahkan. Tiba-tiba saja handphone Vivie berbunyi, dengan cepat dia segera mengangkat telepon itu yang ternyata dari Papanya.
“Aku harus pulang Les, Papa tiba-tiba mutusin buat balik ke Bogor sekarang juga,” ucap Vivie.
“Ke Bogor? Ke rumahmu yang dulu?” tanya Ales.
“Mungkin ini keberuntungan buatku, seengganya kalau pembunuh itu masih ada maka aku bisa selamat dari terornya,” ucap Vivie.
“Kalau kamu mau nerusin penyelidikan ini aku mungkin ga bisa ikut bantu kamu, tapi aku akan selalu support kamu. Anggap aja ini tugas kamu sebagai anak dari seorang Polisi,” kata Vivie.
“Walaupun kita baru kenal dua hari, tapi aku senang bisa kenal sama kamu. Kapan-kapan main ke sini lagi ya,” ucap Ales melepas kepergian Vivie.
“Tentu. Aku juga senang bisa kenal sama kamu,” ucap Vivie memeluk Ales.
****
“Aku masih penasaran, kenapa topeng itu bisa ada di gudang rumahnya Vivie. Padahal kejadiannya udah sepuluh tahun yang lalu, tapi kenapa Polisi ga nemuin topeng itu seperti di kasus-kasus yang lain,” gumam Ales.
“Topeng apa?” tanya Yansen yang tiba-tiba saja masuk ke kamar Ales.
“Topeng ini. Vivie bilang topengnya sama dengan yang ditemukan Yola di gudang rumahnya,” jawab Ales sambil memperlihatkan gambar topeng itu.
“Kamu yakin apa yang kamu katakan tadi? Kamu ga bercanda?” tanya Yansen serius.
“Udah ah, aku mau nyari pembunuhan yang dua lagi di internet. Siapa tahu aja ada,” jawab Ales.
“Pembunuhan apa lagi? Bukannya pembunuhan misterius itu cuma dua?” tanya Yansen.
“Engga. Vivie bilang ada dua pembunuhan lain yang berhubungan dengan rumah No.13 itu,” jawab Ales.
Setelah 20 menit berkutat dengan laptopnya, akhirnya Ales menemukan sebuah kasus pembunuhan misterius yang terjadi pada tahun 1982. Ales pun membuka situsnya.
Pembunuhan dan Penculikan Tahun 1982
Tak ada yang mengira jika piknik yang menyenangkan akan berubah menjadi malapetaka yang berujung kematian. Keluarga Haryono harus berakhir dalam sebuah kebakaran mobil yang menghanguskan dirinya beserta isteri dan kedua anaknya. Terkecuali salah seorang anak perempuannya yang bernama Fransisca Saraswati Puspadewi. Padahal mereka baru saja pindah ke Jakarta setelah sebelumnya tinggal di rumah No.13 di kota Bandung.
Kemudian Ales membuka salah satu situs tentang pembunuhan di tahun 1992. Isinya sama persis dengan apa yang diceritakan oleh Vivie.
“Tunggu Les!!!” seru Yansen.
“Kenapa?” tanya Ales.
“Kamu bisa perbesar foto itu ga?” tanya Yansen. Ales mengikuti arahan Yansen untuk memperbesar foto yang ada di situs pembunuhan keluarga Tommy.
“Lihat! Itu topeng yang ada di berkas Ayahmu kan?” tanya Yansen.
“Iya, dan yang ditemukan Yola,” sambung Ales.
“Coba kamu searching di google dengan keyword topeng pemujaan,” saran Yansen.
“Kenapa harus topeng pemujaan?” tanya Ales.
“Aku ngerasa ini ada hubungannya dengan hal-hal semacam itu,” jawab Yansen.
Bagaimana selanjutnya kasus pembunuhan itu?
Dapatkah Ales memecahkan misteri pembunuhan tersebut bersama Yansen?
Apakah hubungan topeng itu dengan pembunuhan tersebut?
Sampai di sini kah peran Vivie dalam memecahkan kasus pembunuhan itu? Ataukah akan kembali berlanjut?
BERSAMBUNG. . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H