Eksekusi mati kembali dilakukan di Indonesia. Kali ini negara memaksa mengakhiri nyawa enam manusia yang divonis sebagai gembong narkoba. Pro kontra sontak bermunculan.
Jujur, awalnya saya berada di pihak yang pro hukuman mati. Terlebih kepada pelaku kejahatan sadis maupun bandar narkoba. Tapi, setelah mengetahui hari hari tervonis mati menanti eksekusi ada rasa kemanusiaan yang tak bisa diabaikan.
Berikut saya mau share artikel yang saya tulis di Nusakambangan, pascahukuman mati kembali dilakukan pemerintah Indonesia pada 2013, setelah sebelumnya distop selama 5 tahun.....
******
Ibrahim bin Ujang (48 tahun) duduk menatap empat orang yang mengacungkan senjata kepadanya. Dia sadar detik-detik kematian segera menghampirinya pada Jumat, 18 Mei 2013, dini hari itu.
Sepanjang 16 tahun lamanya, hidup Ibrahim hanya dihabiskan untuk menanti kematian. Dia menunggu kematian dari balik sel Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Batu Nusakambangan.
Ibrahim merupakan narapidana (napi) kasus pembunuhan berencana. Ibrahim tak duduk sendiri. Ada Jurit bin Abdullah (46 tahun) yang menemaninya menunggu giliran dieksekusi mati.
Ibrahim dan Jurit adalah napi yang divonis mati karena memutilasi pria bernama Soleh di Palembang pada 1997. Perbuatan keji itu mereka lakukan karena alasan sepele, dendam.
Pada Jumat malam itu, eksekusi mati juga akan dihadapi Suryadi Swabuana (47 tahun). Suryadi menunggu giliran ditembak mati karena perbuatannya pada 1991. Selama 22 tahun, Suryadi telah menunggu kematian.
Hukuman mati itu jadi ganjaran setelah Suryadi membunuh satu keluarga di Kompleks Pusri Palembang. Pembunuhan keji itu dilakukan Suryadi saat ia masih muda, 25 tahun.
Aksi kejam itu dilakukan dengan alasan harta. Kini, pada hari tuanya, Suryadi harus membayar perbuatan itu dengan nyawanya.
Ibrahim, Jurit, dan Suryadi harus duduk di kursi yang diletakkan di tengah Hutan Nirbaya di Pulau Nusakambangan. Mereka duduk di kursi yang hanya berjarak delapan meter dari tim eksekutor mati.
Dari sisi yang berbeda, seorang pria berpeci menyaksikan Suryadi, Jurit, dan Ibrahim menanti ajalnya di atas kursi. Pria berpeci itu tak lain merupakan sang pembimbing rohani bernama Hasan Makarim.
Hasanlah yang selama ini menemani Suryadi, Jurit, dan Ibrahim menanti kematian di sel Lapas Batu Nusakambangan. Kepada Republika, Hasan mulai mengisahkan hari-hari menjelang ketiga pelaku kejahatan itu dieksekusi.
Suryadi, kata Hasan, sudah puluhan tahun menanti eksekusi mati. Pun halnya Jurit dan Ibrahim yang sejak 1997 sudah mengetahui bahwa hidupnya suatu saat akan diakhiri oleh timah panas tim eksekutor.
Walau begitu, ketiganya belum pernah tahu kapan tepatnya hari kematian itu ditetapkan. “Sampai akhirnya, pada awal 2013, ketiganya diberi sebuah pemberitahuan oleh pihak lapas,” kata Hasan.
Pada Februari 2013, Suryadi, Jurit, dan Ibrahim dipanggil masuk ke kantor Lapas Batu. Oleh petugas lapas, ketiganya yang sama-sama berasal dari Sumatra Selatan ini diberi kabar bahwa eksekusi mati akan segera dilakukan tahun ini. “Tapi, mereka tak pernah tahu harinya kapan,” kata Hasan.
Kabar tanpa kejelasan hari itu sudah cukup meruntuhkan semangat hidup ketiga pria yang mulai termakan usia. Suryadi spontan menangis saat mendapat kabar dari petugas lapas. Jurit dan Ibrahim tak kalah histeris. Mereka memohon-mohon ampun.
Tapi, apa daya, palu hakim Mahkamah Agung (MA) telah diketuk. Peninjauan kembali (PK) ketiganya ditolak.
Kematian kini jadi satu-satunya kepastian. “Ampun ... ampun ... ampun ...” begitu teriak Jurit ketika mendengar kabar eksekusi mati telah dekat.
Pada saat pukulan mental menghantam tiga pelaku kejahatan itu, tugas Hasan semakin berat. Sebab, pria yang juga ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cilacap ini harus membesarkan hati tiga orang yang tahu hidupnya segera diakhiri oleh tembakan mati.
“Ya, tugas itu memang sangat berat secara mental. Kita (saya) juga gak tega melihat ketiganya melalui hari-hari terakhir,” ucap Hasan.
Hasan tetap berusaha membuat ketiganya tegar saat duduk di kursi eksekusi. Mereka lantas diberikan bimbingan rohani rutin dalam sepekan. Selepas shalat berjamaah, ketiganya rutin mendapat siraman rohani secara khusus. Siraman rohani bahwa ada kehidupan setelah kematian. Kehidupan yang mahaadil, lebih dari hukum manapun di dunia.
Oleh Hasan, ketiganya juga diberi pemahaman bahwa sekalipun tak ada ampun bagi mereka di dunia, di akhirat Allah akan mengampuni hambanya yang bertobat. “Siraman-siraman rohani itu yang terus saya berikan menjelang waktu eksekusi,” terang Hasan.
Hasan mengaku, tugas membimbing napi menjelang eksekusi mati bukan baru pertama kali dia lakukan. Sebab, selama ini, Hasanlah yang selalu membimbing napi beragama Islam menjelang eksekusi kematian.
Umumnya, kata Hasan, napi yang hendak dieksekusi dilanda stres hebat. Bahkan, beberapa ada yang terganggu kejiwaannya dan mencoba bunuh diri. “Tapi, Suryadi, Jurit, dan Ibrahim sangat berbeda. Terutama, nanti, jelang detik-detik eksekusi,” kata Hasan.
Tidak hanya Hasan yang menyaksikan Suryadi, Jurit, dan Hasan melalui hari-harinya. Sejumlah petugas di Lapas Batu Nusakambangan harus menahan linangan air mata, melihat hari-hari terakhir ketiganya di dunia.
Petugas lapas Batu, Salim, mengisahkan pada Republika bahwa Suryadi, Jurit, dan Ibrahim sudah seperti keluarganya. Sebab, selama puluhan tahun, dia selalu menemani ketiganya di dalam penjara. Ketiganya hidup sebatang kara. Nyaris tak pernah dijenguk oleh keluarganya.
Jadilah petugas lapas menjadi tempat curahan hati bagi Suryadi, Jurit, dan Ibrahim. Sebaliknya, ketiga napi itu pun jadi teman si petugas dalam kesehariannya. Mereka kerap berbagi canda, gurau, dan kisah sedihnya pada petugas.
“Mereka itu baik, tidak pernah berulah, dan rajin beribadah,” ucap Salim. Sang petugas menilai, puluhan tahun di Nusakambangan telah menyadarkan ketiga pembunuh sadis itu. Kejahatan memang dilakukan Suryadi, Jurit, dan Ibrahim pada masa mudanya. Tapi, pada masa tua, ketiganya sudah menemukan kembali jalan hidup sesungguhnya.
Namun, jalan hidup ketiganya itu harus segera berakhir ketika Mei datang. Itulah saatnya bagi petugas untuk memberi tahu bahwa waktu eksekusi telah tiba. Bersamaan dengan itu, ketiganya diberi kesempatan untuk mengucapkan permintaan terakhirnya.
“Ketiganya diisolasi dari kehidupannya di lapas untuk mempersiapkan proses eksekusi,” terang Salim.
Proses isolasi dilakukan sepekan sebelum waktu eksekusi mati dilakukan. Saat proses isolasi ini, Hasan Makarim makin sering berjumpa Jurit, Ibrahim, dan Suryadi.
Namun, kendati sudah diisolasi, ketiganya masih belum tahu kapan hari eksekusi mati itu. Ketiganya hanya tahu kini saatnya bagi mereka mengucap permintaan terakhir.
Hasan pun mendengar langsung permintaan terakhir ketiganya. Permintaan yang umumnya sama, yakni keinginan bertatap langsung dengan keluarga untuk terakhir kalinya. Keinginan itu ingin dimanfaatkan Suryadi, Jurit, dan Ibrahim hanya utuk mengucapkan satu kata, yakni maaf.
Kata maaf itulah yang sangat ingin diucapkan Jurit. Sebab, atas perbuatannya pada 16 Mei 1997 itu, istrinya kini harus hidup menjadi pemulung. Karena Jurit tak bisa lagi mencari uang, jadilah sang istri menggelandang.
Pengacara Jurit, Nurkholis, mengisahkan istri kliennya itu saat ini harus menghidupi ketiga anak kecilnya dengan memunguti plastik-plastik bekas di Pasar Daerah Jaka Baring, Palembang. “Anaknya ada tiga, terakhir saya ketemu usianya lima tahun, tujuh tahun, yang satu lagi baru masuk SD,” terang Nurkholis yang juga merupakan komisioner Komnas HAM itu.
Mengetahui kondisi keluarganya itu, membuat Jurit semakin nestapa. Dia tak tahu lagi bagaimana nasib keluarganya kelak saat ia mati oleh regu eksekusi. Walhasil, permintaan terakhir Jurit dimanfaatkan untuk mengucapkan maaf pada sang istri dan buah hati atas apa yang telah dan bakal terjadi nanti.
Sama halnya dengan Jurit, Ibrahim pun menginginkan bertemu dengan ibunya pada saat terakhir hidup. Ibrahim memang belum menikah. Dia harus memendam hasrat menikah yang sempat disampaikannya pada Nurkholis. “Dia sempat bilang punya keinginan menikah, bahkan di dalam tahanan.”
Kini, keinginannya hanya satu agar ibunya ikhlas melepasnya menuju kursi mati.
Permintaan bertemu ibu itulah yang hendak disampaikan langsung oleh Ibrahim kepada Hasan Makarim saat keduanya bertemu terakhir kalinya di penjara pada Kamis (16/5) pagi. Kemungkinan bertemu ibu itu jadi sedikit kabar baik bagi Ibrahim.
Ibrahim pun seakan tak sabar untuk membagi kabar baik yang tersisa baginya itu kepada Hasan. Saat menjumpai Hasan, Ibrahim langsung mengucap pada Hasan dengan raut semringah, “Ustaz, saya akan segera bertemu dengan ibu saya.”
Kata dari Ibrahim inilah yang membuat Hasan tersentak. Sebab, di sisi lain, Hasan bertemu dengan Ibrahim pada Kamis pagi untuk memberi tahu kabar buruk. Kabar itu adalah eksekusi mati akan dilakukan malam itu juga. Dengan kata lain, Ibrahim tak akan pernah punya kesempatan bertemu ibunya.
“Saya tidak tega luar biasa karena saat itu juga harus beri tahu bahwa dia akan dieksekusi malam ini, sementara keluarganya baru datang besok untuk menjemput jenazahnya,” ujar Hasan kepada Republika.
Akhirnya, secara perlahan, Hasan memberi tahu pada Ibrahim bahwa dia tak akan bisa membuka mata saat bertemu dengan ibunya esok hari. Sebab, malam inilah waktu baginya dieksekusi mati oleh petugas.
Hasan sekaligus memberi tahu bahwa esok Ibrahim sudah ditutupi kain kafan jenazah. Kabar pun sontak membuat Ibrahim menjerit tak keruan. Dia meraung-raung menangis, mohon ampun. Dia meminta waktu eksekusi ditunda untuk keesokan harinya.
Tapi, apa daya, waktu yang sudah ditetapkan kejaksaan tak bisa ditawar lagi. Ibrahim bersama Jurit dan Suryadi harus segera melangkah menuju kursi eksekusi.
Seluruh petugas Lapas Batu Nusakambangan tak tega menyaksikan momen menyedihkan itu. Karena itulah, pihak Lapas Batu memutuskan menitipkan Suryadi, Jurit, dan Ibrahim ke Lapas Besi yang masih berada di Kompleks Nusakambangan.
Hasan turut menemani ketiganya saat menghabiskan jam-jam terakhirnya di Lapas Besi. Hasan pula yang menemani ketiga napi itu saat dibawa dari Lapas Besi pada Kamis (16/5), sekitar pukul 23.00, ke lokasi eksekusi di tengah hutan.
Sebelum beranjak ke tengah hutan, keduanya sempat singgah ke Lapas Nirbaya, Nusakambangan, yang sudah tak berpenghuni. Di sana, ketiga napi itu menjalankan aktivitas terakhirnya sebelum ditembak mati. Aktivitas itu adalah shalat tobat yang dipimpin oleh Hasan.
“Saya lalu memberikan tiga buah baju (jubah) putih untuk dipakai shalat terakhir,” terang Hasan.
Selepas shalat itu, Suryadi, Jurit, dan Ibrahim spontan menangis bersama. Ketiganya memeluk Hasan. Jurit dan Ibrahim memeluk kaki kanan dan kiri sang pembimbing rohani. Sedangkan, Suryadi memeluk erat tubuh Hasan. Sambil menangis, ketiganya satu sama lain berucap. “Saya mohon ampun ....” Ada pula yang berucap, “Saya minta maaf, ya Allah ....”
Berbalut peluk dan tangisan di tubuhnya membuat Hasan tak kuasa lagi bicara. “Jujur, saya juga sangat sedih. Saya ingin menangis, tapi saya terus coba kuatkan mereka.”
Selepas shalat itu, muncul tim dari polisi dan kejaksaan yang memberi tahu bahwa proses eksekusi telah tiba. Satu per satu dari ketiganya akan dieksekusi secara bergantian.
Petugas pun bertanya, “Siapa bersedia untuk menjadi yang pertama?” Tiba-tiba Ibrahim mengacungkan jarinya. Dia beranjak pamit kepada Hasan, Jurit, dan Suryadi. Dia menyerahkan kedua tangannya untuk diikat menuju kursi eksekusi mati.
Mendadak tangisan hilang dari wajah Ibrahim. Dia lantas duduk di kursi eksekusi. Bagian jantung Ibrahim lantas diberi tanda lingkaran sebagai target tembakan yang akan mematikan.
Menjelang tembakan dilakukan, Ibrahim berkata, “Saya ingin dieksekusi dengan mata terbuka.”
Polisi bersenjata memasuki Nusakambangan (abdullah sammy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H