Tidak mengherankan jika kemudian STIE GICI berkembang dengan cepat sehingga beberapa kampus disekitar domisili didirikan yaitu setelah terbit Peraturan Mendikbud no. 20/2011 yang memungkinkan GICI Depok mendirikan kampus di Jabodetabek karena diperluasnya makna domisili kampus. Kedisiplinan yang terapkan di semua kampus GICI Jabodetabek telah cukup dikenal luas di masyarakat. GICI tidak memperkenankan lulusannya mengikuti prosesi wisuda sebelum dapat membuktikan bahwa mereka memiliki pekerjaan dan tidak menganggur. Rasa malu telah ditanamkan dalam-dalam dibenak mahasiswa dan para lulusan ketika gelar yang disandangnya tidak mencerminkan keberhasilan apalagi jika digunakan untuk berbangga-bangga. Di GICI memperjualbelikan nilai apalagi memperjualbelikan ijasah adalah perbuatan yang diharamkan. Kultur GICI seperti demikian telah terbentuk sejak sepuluh tahun lalu dan terus berproses kearah perkembangan yang positif, sampai akhirnya…semua terjadi dengan cepat kearah yang sebaliknya!
Bermula dari GICI Batam yang merupakan perguruan tinggi setingkat Akademi penyelenggara tiga program studi yaitu, Akuntansi, Manajemen Informatika dan Bahasa Asing. Sejak 2007 GICI di Batam telah mengajukan peningkatan status agar menjadi STIE dan STMIK GICI setelah mendapatkan rekomendasi dari Kopertis. Waktu terus berlanjut, bertahun-tahun menantikan perizinan datang, tetapi izin tersebut tidak juga kunjung tiba. Menurut kabar, kekurangan administratif adalah alasan terbesar mengapa Dikti tak kunjung mengeluarkan izin. GICI Batam terus menerus proaktif mengunjungi Jakarta yang dilakukan selama 5 (lima tahun) berturut-turut untuk melengkapi persyaratan administrasinya. Menurut perhitungan para pimpinan di GICI Batam, izin peningkatan status diperkirakan tidak lebih lama dari 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi Kopertis diterbitkan. Namun perhitungan tersebut meleset. Mahasiswa mulai gelisah karena program yang diikuti adalah strata satu sementara yang ada barulah setingkat akademi.
GICI Batam akhirnya memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan STIE GICI Depok yang menurut aturan dimungkinkan berdasarkan Permendiknas 264/D/1999 dan peraturan lainnya tentang alih dan pengakuan kredit antar dua perguruan tinggi. Untuk sementara solusi tersebut dapat mengatasi gejolak dan kegelisahan diantara para mahasiswa sehingga mereka dapat terus melanjutkan ke jenjang strata satu. Solusi sementara tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Seorang “brutus” selalu muncul ditengah kesulitan yang dihadapi GICI Batam. Yang menjadi “Brutus” adalah salah seorang eks karyawan GICI Batam yang hengkang dan mendirikan STIE baru dengan memboyong konsep, staf akademik dan sebagian dosen dari GICI Batam. Rupanya konsep unik GICI dijiplak secara mentah-mentah dengan harapan STIE yang didirikannya akan mampu menjadi pesaing GICI
Namun kenyataannya, STIE baru tersebut belum mengantongi izin sebagai perguruan tinggi namun telah merekrut banyak mahasiswa sehingga mendapat tegoran dan akhirnya tidak mendapatkan izin penyelenggaraan sama sekali. Si “brutus” kesal, jengkel, marah dan menuduh ini semua adalah ulah GICI Batam yang menghadang keluarnya izin mereka. Skenariopun disusun rapi. Beberapa stafnya yang dahulu adalah staf GICI Batam, mulai “membongkar kelemahan-kelemahan” yang dimiliki GICI Batam dengan mengatakan bahwa penyelenggaraan perkuliahan Strata satunya tidak memiliki izin dan ijasah yang dikeluarkan adalah berasal dari STIE GICI Depok. Dibuatlah surat kaleng kepada Dikti dengan mengatasnamakan dari “Pemerhati Pendidikan Batam”, bahwa GICI dituduh menyelenggarakan kelas jauh, menyelenggarakan perkuliahan illegal, menyelenggarakan program D3 dan strata satu tanpa proses pembelajaran dengan waktu yang singkat. Surat kaleng tersebut tidak tanggung-tanggung dikirimkan ke seluruh instansi pemerintah mulai dari kopertis wilayah X, kopertis wilayah IV, Dikti, Direktur Kelembagaan, Kepolisian, DPRD, Inspektorat Jenderal Mendiknas dan lain-lain. Tanpa peringatan apapun, tiba-tiba Dikti berdasarkan surat kaleng tersebut langsung membekukan GICI Batam dan STIE GICI Depok secara bersamaan dengan menonaktifkan kedua lembaga tersebut pada tanggal 26 Maret 2015.
Bak halilintar disiang bolong, GICI Batam dan STIE GICI Depok yang sedang giat-giatnya melakukan berbagai pembenahan internal, tiba-tiba didatangi petugas secara bergantian dan terus menerus dari Kopertis, Inspektorat Jenderal, Tim evaluasi Dikti bahkan Kepolisian. GICI Batam dicecar tentang proses penyelenggaraan perkuliahannya sementara di STIE GICI Depok dicecar tentang keberadaan kampus di Bekasi, yang walaupun sudah memberikan klarifikasi bahkan diperlihatkan legal opinion bahwa diwilayah jabodetabek masih merupakan satu domisili sesuai Permendiknas 20/2011 sehingga tidak memerlukan izin lagi. Dikti dan Kopertis tidak bergeming, pura-pura tidak tahu dan bersikap seolah-olah permendiknas tersebut tidak pernah ada. Bahkan di Batam sebagian mahasiswa terprovokasi oleh berita-berita media lokal yang haus mengejar rating. Mereka mengadukan kepada DPRD dan Kopertis tentang kelanjutan nasib mereka walaupun sudah ada jaminan dari pimpinan GICI bahwa mahasiswa tidak akan pernah diterlantarkan. Pemberitaan tentang GICI di Batam semakin massif dan tidak terkendali.
Bahkan ada anggota DPRD yang memprovokasi mahasiswa untuk melakukan perusakan dan pembakaran kampus GICI. Sungguh pemandangan yang memilukan. Sesuai saran Kopertis X, GICI Batam diminta untuk memindahkan mahasiswanya ke STIE lain yang ada di Batam dan itu dipenuhi oleh pimpinan GICI atas biaya sendiri. Semua saran-saran yang diberikan oleh Kopertis dilaksanakan dengan baik termasuk, menandatangani pakta integritas, membuat pernyataan dimedia masa, pemindahan mahasiswa dan lain sebagainya dengan harapan status non aktif dapat segera diaktifkan. Alih-alih memperoleh status aktif kembali,GICI Batam malah diaudit kembali oleh Dikti yang diketuai oleh Supriyadi Rustad, kampus digeledah, semua sudut diperiksa, data komputer dibongkar, catatan-catatan akademik diteliti satu per satu, mahasiswa diinterogasi, dosen disidang, pimpinan dipanggil dan tidak lupa, wartawan pun diundang untuk meliput. Lengkap sudah penderitaan GICI Batam, setelah menuruti semua saran-saran pemerintah, bukan status aktif yang didapatkan tetapi blow up media baik lokal maupun nasional yang mengatakan bahwa GICI Batam adalah kampus abal-abal. Beberapa perguruan tinggi swasta lainnya bernasib lebih tragis ketika rombongan Tim Evaluasi Dikti dengan “demonstratif” menggandeng wartawan berbagai media elektronik untuk meliput “drama” yang menjadi santapan lezat bagi media yang memang menganggap bad news is good news.
Kondisi GICI Depok tidak lebih baik lagi. Yang semula kopertis mengatakan bahwa keberadaan kampus di jabodetabek seperti Bogor dan Jakarta tidak masalah, dan “hanya” mempermasalahkan keberadaan kampus GICI Bekasi, kini juga mempertanyakan semuanya. STIE GICI Depok diperiksa berkali-kali. Mulai dari wasdalbin kopertis, inspektorat jenderal sampai Tim evaluasi Dikti yang diketuai oleh Supriyadi Rustad yang mengaku dari universitas swasta di Semarang. Ada 24 orang melakukan “penggerebekkan”. Tempat parkir, kantin, ruang-ruang kelas, ruang kasir, ruang akademik dan ruang pimpinan tidak luput dari tatapan curiga dari Tim yang tanpa basa basi, nyaris tanpa sopan santun, dengan suara keras membuat situasi seperti mencekam. Satu per satu orang-orang yang ditemui, diminta menuruti kehendak pemeriksa yang datang dengan “mind setting” yang telah dipersiapkan seperti kampus ini terindikasi jual beli ijasah, kampus ini tidak melakukan proses perkuliahan, kampus ini telah melanggarar aturan, kampus ini bla..bla..bla. Seorang perwira di Kepolisian dan penegak hukum yang kami kenal pernah kami minta pendapatnya tentang proses “penggeledahan” yang dilakukan oleh Dikti seperti yang dilansir oleh media TV.
Penegak hukum ini mengatakan bahwa “pemeriksa partikelir” seperti ini lebih galak dan lebih bernapsu untuk melumatkan “buruannya” jauh dari kata pembinaan apalagi membantu menjernihkan masalah yang dihadapi oleh GICI dan PTS-PTS kecil lainnya. Dengan sikap yang pongah dan petentang petenteng, pemeriksa yang rata-rata masih muda berbicara dengan suara keras, tanpa memperdulikan bahwa yang dihadapinya adalah orang yang sudah sepuh dan di kalangan pendidik. Entah revolusi mental seperti apa yang diajarkan kepada mereka sehingga mereka begitu kehilangan tata krama dan jauh dari kata sopan santun. Ketika Ketua Tim audit memeriksa pada hari kedua, diperintahkan anak buahnya untuk masuk lebih detil ke bagian keuangan, sampai sampai semua gaji karyawan, dosen dan saldo keuanganpun tidak luput dari pemeriksaannya.
Sungguh pemandangan yang hanya bisa dijumpai pada kasus-kasus korupsi dan terorisme. Saat Ketua Tim memberikan wejangan kepada para pengelola dan dosen, tercetus kalimat “sekolah yang bagus adalah sekolah yang sulit masuknya dan sulit keluarnya” (benarkah?), kemudian memberikan tekanan bahwa apa yang telah dilakukan oleh GICI adalah “sangat berbahaya”. Entah apa bahayanya sehingga kesan bahwa lembaga pendidikan ini ,yang memang telah mengakui adanya kesalahan administratif, dianggap layaknya organisasi “teror” yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Kemudian terungkap Ketua pemeriksa mengatakan bahwa seolah-olah telah melakukan penyelidikan cukup lama dengan sederetan data akurat, tetapi kenyataannya tidak ada satupun kebaikan yang secara jelas ditemukan di lapangan telah dilakukan oleh lembaga ini. Hanya kejelekan dan kejelekan saja yang diungkap. PTS dipersalahkan terus menerus tanpa ada kesempatan menjelaskan duduk perkaranya. GICI dianggap “melawan”, “ngeyel” dan “tidak proaktif” ketika mengajukan klarifikasi dan memberikan tanggapan.
Jika PTS pesakitan tidak mengakui “dosa-dosanya”, sudah dapat diduga, ancaman yang berujung pada pencabutan ijin sudah didepan mata. Perguruan tinggi swasta yang notabene sebagian besar adalah didirikan oleh yayasan kecil terpaksa mengikuti hukum tunggal yaitu; Hanya ada “satu kebenaran”, hanya ada “satu aturan”, hanya ada “satu pendapat” yaitu apa yang dikatakan oleh Dikti sebagai kata final. Jika tidak, seperti yang dikatakan oleh ketua Pemeriksa “silahkan ikuti aturan diluar Indonesia”. Sungguh suatu pendekatan yang arogan. Yang hanya pernah dilakukan oleh kolonial yang merampas hak-hak merdeka dan hak-hak berpendapat dari para jajahannya. Jangan berbicara otonomi kampus, kemerdekaan berpendapat ataupun hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan. Membantah saja sudah merupakan dosa besar.
Mekanisme pengaktifan dan penon-aktifan yang dilakukan oleh Dikti terkesan diskriminatif dan mudah disalahgunakan dalam bentuk “abuse of power”. Penonaktifan tidak diberlakukan kepada perguruan tinggi negeri yang melanggar. Perguruan tinggi negeri dengan kasat mata memiliki “kelas jauh”, kuliah sabtu minggu (yang sekarang secara akal-akalan malah menjadi kelas jumat sabtu). Sementara PTS dilarang keras melakukannya. PTS yang tertatih tatih menghidupi keberlangsungan hidupnya karena harus membayar gaji dosen, gaji karyawan, membeli tanah, membangun kampus, membayar biaya operasional listrik, telepon dan lain sebagainya, “dipaksa” harus mengikuti proses perkuliahan seperti di perguruan tinggi negeri. Sangat tidak adil ketika membandingkan dengan perguruan tinggi negeri yang gaji dosen, pengelola, gedung, tanah dan sebagainya dibayar oleh Negara (lewat pajak rakyat) disamakan dengan PTS hasil swadaya masyarakat melalui yayasan.