Mohon tunggu...
Aldy F. Dira
Aldy F. Dira Mohon Tunggu... -

Easy Going

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Dikti Mengajari Kami "Anarkisme"

28 September 2015   09:11 Diperbarui: 28 September 2015   09:34 7828
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jika tidak punya banyak waktu,

tulisan ini tidak perlu Anda baca,

kecuali Anda percaya bahwa GICI

adalah perguruan tinggi abal-abal dan illegal…

STIE GICI yang sebelumnya bernama STIE Nusa Darma didirikan di Depok dengan satu semangat dari para pendirinya untuk memberantas pengangguran terdidik yang semakin lama semakin mengkhawatirkan. GICI adalah Perguruan tinggi swasta kecil yang berdiri bukan karena alasan besarnya minat sebagian orang untuk mendapatkan secarik kertas bernama “Ijasah” dengan embel-embel “Sarjana Ekonomi” dibelakang nama alumninya. Sama sekali tidak. Sejak semula, GICI percaya pada kekuatan tersembunyi yang dimiliki setiap mahasiswa untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, ketika tidak ada jaminan apapun yang diberikan oleh sekolah formal bagi mereka untuk hidup mandiri selepas kelulusannya nanti. Kekuatan tersembunyi itu adalah “mentalitas”, “pengetahuan” dan “jejaring” yang dikenal dengan Trilogi GICI. Semua mahasiswa mulai dibangun kepercayaan dirinya sejak awal masuk kuliah.

Dengan berbagai kegiatan seminar dan perkuliahan tatap muka, kemudian dosen yang diberikan tugas tambahan dengan merangkap sebagai counselor, memberikan arahan kepada mahasiswa untuk hidup mandiri. Dalam dua bulan pertama sebelum masa perkuliahan, diperkenalkan praLST (pra Life Skill Training) yang mensyaratkan kepada seluruh mahasiswa untuk membuktikan kemandiriannya dengan tidak diperkenankan meminta uang jajan kepada orang tuanya dan wajib berkerja sebisanya sebelum datang ke kampus. Mereka berasal dari berbagai kalangan strata sosial namun wajib menjalani aturan disiplin tanpa terkecuali. Menyadari bahwa tidak ada satupun negara yang maju yang tidak menjalankan kedisiplinan kepada rakyatnya.

Di GICI setiap mahasiswa wajib hadir ke kampus tepat waktu dan pulang juga tepat waktu. Denda keterlambatan menanti mereka ketika disiplin waktu dilanggar. Kebersihan kampus sangat dijaga, termasuk larangan membuang sampah sembarangan sehingga pelanggaran terdapat kebersihan tersebut dikenakan denda. Ada attitude controller yang khusus mengawasi pelaksanaan disiplin ini.

Merokok, yang sebagian kalangan mentolelir, di GICI hal tersebut sangat terlarang bukan hanya diberlakukan kepada mahasiswa, tetapi juga berlaku bagi dosen, pimpinan dan staf. Setelah ada peringatan dan denda yang cukup besar, perokok dapat dikeluarkan dari kampus. Tawuran sebagai akibat dari perilaku sebagian mahasiswa yang menurut istilah Menristek, M. Nasir, adalah mahasiswa “kunang-kunang” (kuliah nagkring / nongkrong) dan “kupu-kupu” (kuliah pulang) peluang tersebut hamper tidak memungkinkan terjadi di GICI. Dalam berbusana, mahasiswa GICI baik wanita maupun laki-laki wajib memakai busana resmi (office wear) dengan harapan akan terbentuk sikap profesional. Dimanapun ditemui, mahasiswa GICI hampir dapat dipastikan selalu memakai kemeja rapi berdasi, bergaun anggun dengan dibalut blazer, sepatu resmi dan wajib bertegur sapa dengan senyum dan suasana bersahabat. Sesekali dihari jumat dan sabtu mereka mengenakan busana batik kebanggaan nasional. Dosen tidak kalah rapih dan berwibawanya ketika berada di kampus. Tidak akan dijumpai dosen yang “killer”, “berwajah dingin” ataupun “menjaga jarak” bagi para mahasiswanya. Keseharian interaksi sosial seperti ini akan dengan dengan sangat mudah ditemui di GICI.    

Cara GICI mendidik mahasiswanya agar berhasil dan mandiri adalah dengan menerapkan konsep “leaning by doing”. Mahasiswa menjalani dua proses secara bersamaan ketika menempuh kuliah, yaitu “learning process” dan “doing process”. Learning process melalui perkuliahan tatap muka, terstruktur dan belajar mandiri sementara dalam doing process mereka diajarkan bagaimana memulai menjalankan bisnis dan bagaimana cara memperoleh pekerjaan. Untuk memastikan bahwa program pengentasan pengangguran terdidik ini berjalan dengan baik, GICI melakukan rekrutmen dosen praktisi besar-besaran (sehingga rasio dosen : mahasiswa cukup terjaga) dan juga mengadakan “bisnis tentir” dimana kelompok-kelompok mahasiswa diberikan mentor yang berasal dari kalangan dunia usaha dan dunia kerja. Inovasi terus menerus dilakukan.

Termasuk didalamnya inovasi dalam implementasi kurikulum karena telah menjadi rahasia umum bahwa sistem yang terbangun selama ini tidak memberikan peluang yang cukup bagi mahasiswa untuk hidup mandiri. Oleh karena sebagian besar mahasiswa GICI adalah fresh graduate dari SLTA yang belum pernah bekerja, maka proses perkuliahan awalnya dilakukan di pagi hari dan baru kemudian dipindahkan ke kelas sore ketika sudah mendapat pekerjaan ataupun mempunyai kegiatan bisnis. Pihak lembaga kerap memberikan bantuan modal tanpa bunga kepada kelompok mahasiswa yang ingin membuka usaha. Disamping itu mahasiswa yang ingin bekerja diberikan tips dan arahan agar mampu memenangkan perebutan kesempatan kerja yang terbatas melalui berbagai pelatihan kompetensi. Business coacing is subject to do, not subject to analysis. GICI sadar betul bahwa perlu treatment khusus bagi mahasiswa jurusan ekonomi dan bisnis untuk berhasil. Sedikit berbeda dalam cara mempersiapkan mahasiswa yang berorientasi pada riset misalnya.

Tidak menjadi beban keluarga, beban masyarakat dan beban Negara adalah motto yang dipegang teguh oleh semua mahasiswa dan lulusan GICI. Dari berbagai kesempatan, pimpinan dan para dosen menekankan kepada mahasiswa dan lulusannya agar tidak mengandalkan ijasah apalagi memamerkan gelar kesarjanaan. Pantang dan tabu dikalangan GICI memamerkan deretan gelar akademis untuk memperoleh pengakuan dari manapun kecuali digunakan sekedarnya. Hasil dari semua proses ini adalah semua lulusan GICI yang awalnya adalah lulusan SLTA, kemudian memiliki pengalaman kerja dan bisnis sehingga dapat dipastikan lulusannya seluruhnya terbebas dari pengangguran.

Tidak mengherankan jika kemudian STIE GICI berkembang dengan cepat sehingga beberapa kampus disekitar domisili didirikan yaitu setelah terbit Peraturan Mendikbud no. 20/2011 yang memungkinkan GICI Depok mendirikan kampus di Jabodetabek karena diperluasnya makna domisili kampus. Kedisiplinan yang terapkan di semua kampus GICI Jabodetabek telah cukup dikenal luas di masyarakat. GICI tidak memperkenankan lulusannya mengikuti prosesi wisuda sebelum dapat membuktikan bahwa mereka memiliki pekerjaan dan tidak menganggur. Rasa malu telah ditanamkan dalam-dalam dibenak mahasiswa dan para lulusan ketika gelar yang disandangnya tidak mencerminkan keberhasilan apalagi jika digunakan untuk berbangga-bangga. Di GICI memperjualbelikan nilai apalagi memperjualbelikan ijasah adalah perbuatan yang diharamkan. Kultur GICI seperti demikian telah terbentuk sejak sepuluh tahun lalu dan terus berproses kearah perkembangan yang positif, sampai akhirnya…semua terjadi dengan cepat kearah yang sebaliknya!

Bermula dari GICI Batam yang merupakan perguruan tinggi setingkat Akademi penyelenggara tiga program studi yaitu, Akuntansi, Manajemen Informatika dan Bahasa Asing. Sejak 2007 GICI di Batam telah mengajukan peningkatan status agar menjadi STIE dan STMIK GICI setelah mendapatkan rekomendasi dari Kopertis. Waktu terus berlanjut, bertahun-tahun menantikan perizinan datang, tetapi izin tersebut tidak juga kunjung tiba. Menurut kabar, kekurangan administratif adalah alasan terbesar mengapa Dikti tak kunjung mengeluarkan izin. GICI Batam terus menerus proaktif mengunjungi Jakarta yang dilakukan selama 5 (lima tahun) berturut-turut untuk melengkapi persyaratan administrasinya. Menurut perhitungan para pimpinan di GICI Batam, izin peningkatan status diperkirakan tidak lebih lama dari 3 (tiga) tahun sejak rekomendasi Kopertis diterbitkan. Namun perhitungan tersebut meleset. Mahasiswa mulai gelisah karena program yang diikuti adalah strata satu sementara yang ada barulah setingkat akademi.

GICI Batam akhirnya memutuskan untuk menjalin kerjasama dengan STIE GICI Depok yang menurut aturan dimungkinkan berdasarkan Permendiknas 264/D/1999 dan peraturan lainnya tentang alih dan pengakuan kredit antar dua perguruan tinggi. Untuk sementara solusi tersebut dapat mengatasi gejolak dan kegelisahan diantara para mahasiswa sehingga mereka dapat terus melanjutkan ke jenjang strata satu. Solusi sementara tersebut ternyata tidak berlangsung lama. Seorang “brutus” selalu muncul ditengah kesulitan yang dihadapi GICI Batam. Yang menjadi “Brutus” adalah salah seorang eks karyawan GICI Batam yang hengkang dan mendirikan STIE baru dengan memboyong konsep, staf akademik dan sebagian dosen dari GICI Batam. Rupanya konsep unik GICI dijiplak secara mentah-mentah dengan harapan STIE yang didirikannya akan mampu menjadi pesaing GICI

Namun kenyataannya, STIE baru tersebut belum mengantongi izin sebagai perguruan tinggi namun telah merekrut banyak mahasiswa sehingga mendapat tegoran dan akhirnya tidak mendapatkan izin penyelenggaraan sama sekali. Si “brutus” kesal, jengkel, marah dan menuduh ini semua adalah ulah GICI Batam yang menghadang keluarnya izin mereka. Skenariopun disusun rapi. Beberapa stafnya yang dahulu adalah staf GICI Batam, mulai “membongkar kelemahan-kelemahan” yang dimiliki GICI Batam dengan mengatakan bahwa penyelenggaraan perkuliahan Strata satunya tidak memiliki izin dan ijasah yang dikeluarkan adalah berasal dari STIE GICI Depok. Dibuatlah surat kaleng kepada Dikti dengan mengatasnamakan dari “Pemerhati Pendidikan Batam”, bahwa GICI dituduh menyelenggarakan kelas jauh, menyelenggarakan perkuliahan illegal, menyelenggarakan program D3 dan strata satu tanpa proses pembelajaran dengan waktu yang singkat. Surat kaleng tersebut tidak tanggung-tanggung dikirimkan ke seluruh instansi pemerintah mulai dari kopertis wilayah X, kopertis wilayah IV, Dikti, Direktur Kelembagaan, Kepolisian, DPRD, Inspektorat Jenderal Mendiknas dan lain-lain. Tanpa peringatan apapun, tiba-tiba Dikti berdasarkan surat kaleng tersebut langsung membekukan GICI Batam dan STIE GICI Depok secara bersamaan dengan menonaktifkan kedua lembaga tersebut pada tanggal 26 Maret 2015.

Bak halilintar disiang bolong, GICI Batam dan STIE GICI Depok yang sedang giat-giatnya melakukan berbagai pembenahan internal, tiba-tiba didatangi petugas secara bergantian dan terus menerus dari Kopertis, Inspektorat Jenderal, Tim evaluasi Dikti bahkan Kepolisian. GICI Batam dicecar tentang proses penyelenggaraan perkuliahannya sementara di STIE GICI Depok dicecar tentang keberadaan kampus di Bekasi, yang walaupun sudah memberikan klarifikasi bahkan diperlihatkan legal opinion bahwa diwilayah jabodetabek masih merupakan satu domisili sesuai Permendiknas 20/2011 sehingga tidak memerlukan izin lagi. Dikti dan Kopertis tidak bergeming, pura-pura tidak tahu dan bersikap seolah-olah permendiknas tersebut tidak pernah ada. Bahkan di Batam sebagian mahasiswa terprovokasi oleh berita-berita media lokal yang haus mengejar rating. Mereka mengadukan kepada DPRD dan Kopertis tentang kelanjutan nasib mereka walaupun sudah ada jaminan dari pimpinan GICI bahwa mahasiswa tidak akan pernah diterlantarkan. Pemberitaan tentang GICI di Batam semakin massif dan tidak terkendali.

Bahkan ada anggota DPRD yang memprovokasi mahasiswa untuk melakukan perusakan dan pembakaran kampus GICI. Sungguh pemandangan yang memilukan. Sesuai saran Kopertis X, GICI Batam diminta untuk memindahkan mahasiswanya ke STIE lain yang ada di Batam dan itu dipenuhi oleh pimpinan GICI atas biaya sendiri. Semua saran-saran yang diberikan oleh Kopertis dilaksanakan dengan baik termasuk, menandatangani pakta integritas, membuat pernyataan dimedia masa, pemindahan mahasiswa dan lain sebagainya dengan harapan status non aktif dapat segera diaktifkan. Alih-alih memperoleh status aktif kembali,GICI Batam malah diaudit kembali oleh Dikti yang diketuai oleh Supriyadi Rustad, kampus digeledah, semua sudut diperiksa, data komputer dibongkar, catatan-catatan akademik diteliti satu per satu, mahasiswa diinterogasi, dosen disidang, pimpinan dipanggil dan tidak lupa, wartawan pun diundang untuk meliput. Lengkap sudah penderitaan GICI Batam, setelah menuruti semua saran-saran pemerintah, bukan status aktif yang didapatkan tetapi blow up media baik lokal maupun nasional yang mengatakan bahwa GICI Batam adalah kampus abal-abal. Beberapa perguruan tinggi swasta lainnya bernasib lebih tragis ketika rombongan Tim Evaluasi Dikti dengan “demonstratif” menggandeng wartawan berbagai media elektronik untuk meliput “drama” yang menjadi santapan lezat bagi media yang memang menganggap bad news is good news.

Kondisi GICI Depok tidak lebih baik lagi. Yang semula kopertis mengatakan bahwa keberadaan kampus di jabodetabek seperti Bogor dan Jakarta tidak masalah, dan “hanya” mempermasalahkan keberadaan kampus GICI Bekasi, kini juga mempertanyakan semuanya. STIE GICI Depok diperiksa berkali-kali. Mulai dari wasdalbin kopertis, inspektorat jenderal sampai Tim evaluasi Dikti yang diketuai oleh Supriyadi Rustad yang mengaku dari universitas swasta di Semarang. Ada 24 orang melakukan “penggerebekkan”. Tempat parkir, kantin, ruang-ruang kelas, ruang kasir, ruang akademik dan ruang pimpinan tidak luput dari tatapan curiga dari Tim yang tanpa basa basi, nyaris tanpa sopan santun, dengan suara keras membuat situasi seperti mencekam. Satu per satu orang-orang yang ditemui, diminta menuruti kehendak pemeriksa yang datang dengan “mind setting” yang telah dipersiapkan seperti kampus ini terindikasi jual beli ijasah, kampus ini tidak melakukan proses perkuliahan, kampus ini telah melanggarar aturan, kampus ini bla..bla..bla. Seorang perwira di Kepolisian dan penegak hukum yang kami kenal pernah kami minta pendapatnya tentang proses “penggeledahan” yang dilakukan oleh Dikti seperti yang dilansir oleh media TV.

Penegak hukum ini mengatakan bahwa “pemeriksa partikelir” seperti ini lebih galak dan lebih bernapsu untuk melumatkan “buruannya” jauh dari kata pembinaan apalagi membantu menjernihkan masalah yang dihadapi oleh GICI dan PTS-PTS kecil lainnya. Dengan sikap yang pongah dan petentang petenteng, pemeriksa yang rata-rata masih muda berbicara dengan suara keras, tanpa memperdulikan bahwa yang dihadapinya adalah orang yang sudah sepuh dan di kalangan pendidik. Entah revolusi mental seperti apa yang diajarkan kepada mereka sehingga mereka begitu kehilangan tata krama dan jauh dari kata sopan santun. Ketika Ketua Tim audit memeriksa pada hari kedua, diperintahkan anak buahnya untuk masuk lebih detil ke bagian keuangan, sampai sampai semua gaji karyawan, dosen dan saldo keuanganpun tidak luput dari pemeriksaannya.

Sungguh pemandangan yang hanya bisa dijumpai pada kasus-kasus korupsi dan terorisme. Saat Ketua Tim memberikan wejangan kepada para pengelola dan dosen, tercetus kalimat “sekolah yang bagus adalah sekolah yang sulit masuknya dan sulit keluarnya” (benarkah?), kemudian memberikan tekanan bahwa apa yang telah dilakukan oleh GICI adalah “sangat berbahaya”. Entah apa bahayanya sehingga kesan bahwa lembaga pendidikan ini ,yang memang telah mengakui adanya kesalahan administratif, dianggap layaknya organisasi “teror” yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Kemudian terungkap Ketua pemeriksa mengatakan bahwa seolah-olah telah melakukan penyelidikan cukup lama dengan sederetan data akurat, tetapi kenyataannya tidak ada satupun kebaikan yang secara jelas ditemukan di lapangan telah dilakukan oleh lembaga ini. Hanya kejelekan dan kejelekan saja yang diungkap. PTS dipersalahkan terus menerus tanpa ada kesempatan menjelaskan duduk perkaranya. GICI dianggap “melawan”, “ngeyel” dan “tidak proaktif” ketika mengajukan klarifikasi dan memberikan tanggapan.

Jika PTS pesakitan tidak mengakui “dosa-dosanya”, sudah dapat diduga, ancaman yang berujung pada pencabutan ijin sudah didepan mata. Perguruan tinggi swasta yang notabene sebagian besar adalah didirikan oleh yayasan kecil terpaksa mengikuti hukum tunggal yaitu; Hanya ada “satu kebenaran”, hanya ada “satu aturan”, hanya ada “satu pendapat” yaitu apa yang dikatakan oleh Dikti sebagai kata final. Jika tidak, seperti yang dikatakan oleh ketua Pemeriksa “silahkan ikuti aturan diluar Indonesia”. Sungguh suatu pendekatan yang arogan. Yang hanya pernah dilakukan oleh kolonial yang merampas hak-hak merdeka dan hak-hak berpendapat dari para jajahannya. Jangan berbicara otonomi kampus, kemerdekaan berpendapat ataupun hak asasi manusia untuk memperoleh pendidikan. Membantah saja sudah merupakan dosa besar.

Mekanisme pengaktifan dan penon-aktifan yang dilakukan oleh Dikti terkesan diskriminatif dan mudah disalahgunakan dalam bentuk “abuse of power”. Penonaktifan tidak diberlakukan kepada perguruan tinggi negeri yang melanggar. Perguruan tinggi negeri dengan kasat mata memiliki “kelas jauh”, kuliah sabtu minggu (yang sekarang secara akal-akalan malah menjadi kelas jumat sabtu). Sementara PTS dilarang keras melakukannya. PTS yang tertatih tatih menghidupi keberlangsungan hidupnya karena harus membayar gaji dosen, gaji karyawan, membeli tanah, membangun kampus, membayar biaya operasional listrik, telepon dan lain sebagainya, “dipaksa” harus mengikuti proses perkuliahan seperti di perguruan tinggi negeri. Sangat tidak adil ketika membandingkan dengan perguruan tinggi negeri yang gaji dosen, pengelola, gedung, tanah dan sebagainya dibayar oleh Negara (lewat pajak rakyat) disamakan dengan PTS hasil swadaya masyarakat melalui yayasan.

Jauh sebelum republik ini ada, yayasan pendidikan yang dikelola oleh masyarakat sudah terlebih dahulu ada. Pembinaan kepada perguran tinggi swasta hanya sebatas dibibir. Tidak ada yang lebih penting bagi seorang birokrat pemerintah kecuali mengamankan prosedur dan jabatan walaupun harus mengesampingkan substansi. PTS sebagus apapun dan yang telah diterima oleh masyarakat, tetap saja dicap sebagai “abal-abal”, “illegal” dan sederet atribut negatif lainnya jika “prosedur” tidak dijalankan. Dikti sebagai representasi pemerintah dibidang pendidikan tinggi, tidak memiliki kepekaan untuk melakukan otokritik. Peraturan yang bertumpang tindih, aturan-aturan yang berubah-ubah, sampai dengan ditabraknya aturan yang lebih tinggi semisal permendiknas dapat dikalahkan hanya oleh sebuah surat edaran. Hal tersebut terus berlangsung hingga kini.

Dalam ijin pendidiran suatu perguruan tinggi termaktub di dalamnya hak untuk melakukan perekrutan mahasiswa, melakukan proses belajar mengajar, melakukan wisuda dan lain sebagainya, tetapi hak-hak tersebut dengan mudah dianulir oleh Dikti hanya dengan sebuah surat, jika Dikti menilai “aturan-aturannya” tidak diindahkan oleh PTS. Ketika PTS dinon aktifkan, walaupun alasan penonaktifan tersebut lebih dikarenakan masalah administratif, tanpa pemberitahuan, tanpa peringatan, maka serta merta hak-hak perguruan tinggi untuk merekrut mahasiswa, proses pembelajaran dan pelaksanaan wisuda bisa dibekukan kapan saja dan dinilai telah melakukan pelanggaran hebat. PTS tersebut wajib dibuat bertekuk lutut, dan dengan bangganya masih sempat mengundang para wartawan untuk meliput drama “penaklukan” oleh Dikti kepada PTS lemah dan tidak berdaya yang dengan mengiba-iba dipermalukan dihadapan publik dan dihadapan mahasiswanya sendiri.

Kami menentang keras setiap pelanggaran baik pelanggaran etis maupun pelanggaran prosedural yang dilakukan oleh oknum perguruan tinggi tertentu. Kami setuju sanksi berat jika pendidikan dipermainkan lewat jual beli ijasah ataupun pelanggaran-pelanggaran substansial yang mencederai nilai-nilai luhur pendidikan. Tetapi Dikti harus sadar, bahwa segelintir perguruan tinggi yang menyimpang tersebut adalah ekses kurangnya pembinaan, kurangnya kepedulian dan kurangnya kepekaan terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh PTS. Dikti hadir bak “universitas super besar” yang membuat regulasi sekaligus operator dan merangkap pengawas di dunia pendidikan tinggi di Indonesia.

Adakah lembaga yang mengawasi Dikti yang dapat menghidup-matikan perguruan tinggi (khususnya swasta) dengan segala aspeknya yang timbul? Sudahkah dipikirkan dampaknya terhadap mahasiswa yang terlantar, karyawan yang kehilangan pekerjaan dan dosen yang tidak bisa lagi mengajar serta lembaga perguruan tinggi yang hancur akibat reputasinya terkoyak dalam sekejap karena sudah “diadili” sebelum diberi kesempatan melakukan pembelaan? Adakah lembaga yang mengawasi Dikti untuk mencegah bertindak sewenang-wenang dengan melakukan pelarangan bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi kepada lembaga yang berstatus non-aktif? Sudahkah Dikti berbenah? Sudah sirnakah hati nurani para petinggi yang diberikan amanah melakukan pembinaan pendidikan tinggi di negeri ini? Dari sudut kampus, kami tulis surat ini sambil menitikan air mata…..

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun