Mohon tunggu...
Aldo Tona Oscar Septian
Aldo Tona Oscar Septian Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Hukum dengan predikat Cumlaude

Nama saya Aldo Tona Oscar Septian Sitinjak. Saya merupakan fresh graduate dari Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dengan gelar Sarjana Hukum predikat kelulusan Cumlaude. Hobi saya yaitu membaca buku dan menulis. Saya mendedikasikan hidup untuk melawan seksisme, rasisme, dan fanatisme. Ayo Follow Instagram : @aldotonaoscar

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pengertian Serta Sejarah Ambang Batas Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Dari Pemilu Ke Pemilu Di Indonesia

8 Desember 2022   15:23 Diperbarui: 22 Mei 2023   14:18 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang kontestasi politik pada pemilihan umum 2024 mendatang, istilah presidential threshold kembali ramai menjadi perbincangan publik terlebih setelah adanya pengajuan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi terkait ketentuan ambang batas pencalonan presiden.

Para pemohon mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi terkait kandungan isi Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, yang pada ketentuan Pasal tersebut dinilai telah menghilangkan hak konstitusional setiap warga negara untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin negara serta juga membatasi jumlah presiden yang akan maju pada gelaran pemilihan umum di tahun 2024 mendatang.

Menuai pro dan kontra sejak awal pemberlakuannya, tentunya menimbulkan pertanyaan "apa yang dimaksud dengan presidential threshold?"

Pengertian Presidential Threshold

Gotfridus Goris Seran dalam bukunya yang berjudul Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia dan Negara Lain menyatakan bahwa "Presidential Threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden". Hal ini mengartikan bahwa presidential threshold menjadi syarat bagi seseorang agar dapat mencalonkan dirinya sebagai presiden atau wakil presiden di pemilihan umum (pemilu).

Sejarah Penerapan Presidential Threshold

1. Pemilihan Umum (Pemilu) 2004

Di Indonesia, presidential threshold pertama kali dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 5 Ayat (4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden menyatakan bahwa "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR. 

Ketentuan dalam undang-undang tersebut kemudian menjadi cikal bakal diterapkannya presidential threshold pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 yang bertepatan dengan pertama kalinya Indonesia mengadakan Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung.

2. Pemilihan Umum (Pemilu) 2009

Lima tahun setelahnya atau pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, ketentuan tentang besaran presidential threshold berubah. Terdapat perubahan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sebagaimana diubah pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif". 

Dengan adanya ketentuan tersebut, terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono, dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto yang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 ini SBY-Budiono menjadi pemenang dengan perolehan suara 60,80 persen.

3. Pemilihan Umum (Pemilu) 2014

Adapun pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 besaran presidential threshold tidak mengalami perubahan. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 sehingga dengan dasar tersebut maka pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (Pileg). 

Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 hanya terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-JK berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara 53,15 persen mengungguli Prabowo-Hatta dengan perolehan suara 46,85 persen.

4. Pemilihan Umum (Pemilu) 2019

Lantas besaran presidential threshold kembali berubah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Ketentuan tentang besaran ambang batas itu diatur dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya". Ketentuan pada Pasal inilah yang menjadi dasar presidential threshold saat ini. 

Adapun pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004, 2009, dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil Pemilu Legislatif (Pileg) yang dilaksanakan beberapa bulan sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres). Sedangkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019, ambang batas yang digunakan ialah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR periode sebelumnya karena Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) dilaksanakan serentak pada April 2019. 

Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jokowi-Ma'ruf menjadi pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44,50 persen.

Kini menjelang bergulirnya pesta demokrasi di Indonesia yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang, polemik tentang isu presidential threshold kembali menjadi perbincangan publik. Terdapat beberapa pihak dan para pemangku politik yang menginginkan adanya penghapusan tentang presidential threshold karena dinilai Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta dinilai tidak mencerminkan wujud dari demokrasi itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun