Lima tahun setelahnya atau pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009, ketentuan tentang besaran presidential threshold berubah. Terdapat perubahan pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 sebagaimana diubah pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa "Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif".Â
Dengan adanya ketentuan tersebut, terdapat tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Budiono, dan Jusuf Kalla (JK)-Wiranto yang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 ini SBY-Budiono menjadi pemenang dengan perolehan suara 60,80 persen.
3. Pemilihan Umum (Pemilu) 2014
Adapun pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 besaran presidential threshold tidak mengalami perubahan. Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 tetap mengacu pada Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 sehingga dengan dasar tersebut maka pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di DPR atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif (Pileg).Â
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 hanya terdapat dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-JK berhasil menjadi pemenang dengan perolehan suara 53,15 persen mengungguli Prabowo-Hatta dengan perolehan suara 46,85 persen.
4. Pemilihan Umum (Pemilu) 2019
Lantas besaran presidential threshold kembali berubah pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Ketentuan tentang besaran ambang batas itu diatur dalam Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang berbunyi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya". Ketentuan pada Pasal inilah yang menjadi dasar presidential threshold saat ini.Â
Adapun pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2004, 2009, dan 2014 menggunakan perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada hasil Pemilu Legislatif (Pileg) yang dilaksanakan beberapa bulan sebelum Pemilihan Presiden (Pilpres). Sedangkan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019, ambang batas yang digunakan ialah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada Pemilihan Umum (Pemilu) anggota DPR periode sebelumnya karena Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilu Legislatif (Pileg) dilaksanakan serentak pada April 2019.Â
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 diikuti oleh dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yaitu Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Jokowi-Ma'ruf menjadi pemenang dengan perolehan suara 55,50 persen mengalahkan Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44,50 persen.
Kini menjelang bergulirnya pesta demokrasi di Indonesia yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2024 mendatang, polemik tentang isu presidential threshold kembali menjadi perbincangan publik. Terdapat beberapa pihak dan para pemangku politik yang menginginkan adanya penghapusan tentang presidential threshold karena dinilai Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 serta dinilai tidak mencerminkan wujud dari demokrasi itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H