Melalui pengendalian internal yang baik, didukung dengan pemeriksaan eksternal dan pelaporan keuangan yang transparan, potensi korupsi dapat diminimalisir.
Teori tersebut mengemukakan bahwa penyebab utama korupsi adalah adanya monopoli yang dimiliki negara yang terlalu luas. Secara sederhana, negara terlalu mencampuri banyak urusan, dan keberadaan kebijakan atau peraturan yang terlalu banyak justru bisa memicu pertumbuhan praktik korupsi baru. Dengan banyaknya aturan yang ada, transparansi menjadi terabaikan dan tidak terealisasi dengan baik.Â
Robert Klitgaard dalam teorinya secara implisit menyatakan bahwa ruang lingkup pengambilan keputusan dan kebijakan yang terlalu besar dapat memperburuk terjadinya korupsi.Â
Ketika ruang pengambilan keputusan tidak terkontrol dengan baik, hal ini menimbulkan ketidakjelasan dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Hal ini terjadi karena tidak adanya standar yang jelas untuk memverifikasi keputusan yang diambil. Akibatnya, kurangnya pertanggungjawaban memicu terjadinya korupsi, karena pelaku merasa keuntungan yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan risiko yang dihadapi.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi, terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yang dikategorikan dalam tujuh kelompok, yaitu:
a) kerugian keuangan negara,
b) suap menyuap,
c) penggelapan dalam jabatan,
d) pemerasan,
e) perbuatan curang,
f) benturan kepentingan dalam pengadaan, dan