Mohon tunggu...
Aldo Hutomo
Aldo Hutomo Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Love Cannot Lie

1 Maret 2016   18:51 Diperbarui: 1 Maret 2016   19:36 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya sudah lama sekali aku tidak merasa tenang seperti ini. Suara angin yang berhembus, di bawah dedaunan hijau rindang yang saling gemerisik, di naungan langit biru lembut yang tenang.

"Anyaaa.. Apa kau tidak tahu kami mencarimu kemana-mana? Dan apa yang kau lakukan disini? Melamunkan pacarmu itu ya?" Joanne menepuk pundakku sambil tertawa. Aku tersentak dan kemudian hanya tersenyum tipis padanya.

"Maaf, aku membuat kalian menunggu, ya? Dimana yang lainnya?" tanyaku sambil berdiri dan menatap Joanne, mengabaikan kalimat terakhir yang diucapkannya.

"Yang lain menunggu di tempat biasa. Kau mau ikut atau tidak?"

"Tentu saja aku ikut, Jo."

Aku dan Joanne akhirnya pergi menuju restoran dimana kami biasa berkumpul.

"Hei, Anya. Kemana saja kau? Kami sampai menyuruh Jo mencarimu, habis hanya dia yang tahu dimana kau biasa bermeditasi, dan kami pergi lebih dulu kesini," kata Dave memberikan sapaan. Aku hanya tersenyum meminta maaf dan ikut duduk bersama mereka di sebelah Joanne.

"Entahlah, dia mungkin merindukan si pangeran berkuda yang sekarang ada di Amerika sana." Kali ini Cayla bersuara dan membuat semua orang tertawa. Aku hampir saja terbiasa, namun mendengar sebutan mereka untuk laki-laki itu masih mempengaruhiku. Lagi-lagi aku hanya mampu tersenyum sementara seluruh sahabatku tertawa karenanya.

Sehabis makan siang bersama, aku dan sahabat-sahabatku memutuskan untuk pulang. Kebetulan aku, Joanne, dan Dave memiliki arah yang sama jadi kami berpisah dengan Cayla dan Sky untuk kembali ke rumah masing-masing.

"Aku jadi teringat dengan apa yang dikatakan Cayla. Apa kau masih merindukan dia? Ayolah Anya, sudah dua tahun kau bahkan tidak pernah berkomunikasi. Untuk apa menunggunya? Lebih baik kau mulai mencoba untuk membuka hatimu pada lelaki tampan disini." Joanne membuka pembicaraan selagi kami berjalan. Dave mengangguk semangat dan menambah, "lagipula dia juga mungkin sudah melupakanmu. Bukan bermaksud menjatuhkan harapanmu, tapi harapanmu memang sudah tidak ada, Anya. Dia sudah memiliki hidup sendiri."

Aku menggelengkan kepala. Aku tidak ingin laki-laki itu dibahas lagi dan lagi. Akhirnya mereka berdua menyerah untuk membujukku dan mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Oh aku hampir lupa, nanti kau temani aku ya, Anya? Aku ingin membeli hadiah untuk adikku, dan kau juga tahu dia amat menyukai buku. Kau kan juga begitu jadi aku meminta bantuanmu untuk mencarikan buku yang bagus untuknya. Kau bisa, kan?"

Aku menoleh padanya. "Tentu saja. Aku akan menemanimu."

Joanne hanya mengangguk-angguk. Kami kembali berjalan dalam diam.

Aku merasa baik-baik saja sampai ada laki-laki yang tak sengaja menabrakku. Laki-laki itu memiliki tubuh yang tegap dan lumayan tinggi. Ia sedang asyik membaca buku sambil berjalan.

Tapi bukan itu yang membuat langkahku terhenti. Ada sesuatu padanya yang sangat kurindukan. Aku menoleh sementara ia berjalan sedikit menjauh.

"....Steve?

Lelaki itu menoleh dan menatapku. Tatapan yang selama ini kurindukan, yang selama 2 tahun ini selalu kubayangkan dan selalu kuharapkan dapat kulihat kembali kini berada di depan mataku.

"Anya, itukah kau?" Steve menatapku tidak percaya.

Joanne dan Dave lebih cepat tersadar. Mereka langsung menghampiri Steve dan bertegur sapa. Aku berdiri diam dan tak melakukan apapun.

"Hei, Anya. Ini pacarmu sudah kembali, kau tidak senang?" Dave mendecakkan lidahnya tak sabar.

"Apa-apaan kau ini, Dave." Steve menggeleng dan sedikit terkekeh mendengar perkataan Dave. Aku akhirnya berjalan dan menghampiri mereka.

"Kau kembali." 

Kalimat pertama yang keluar dari mulutku setelah cukup lama diam dan membuat mereka menunggu.

Steve tersenyum dan menggangguk. "Ya, aku kembali. Bisa kau lihat aku ada disini dihadapanmu."

"Hanya itu saja? Baiklah, baiklah. Kurasa kalian lebih baik berjalan-jalan saja dulu. Aku dan Dave pergi duluan." Joanne menarik Dave dan kemudian mereka melambai pada kami sambil berjalan menjauh. Aku hanya bisa mendesah sementara Steve membalas lambaian mereka.

Setelah mereka tidak terlihat, baru Steve mulai bicara.

"Disini ramai. Bagaimana jika kau ikut bersamaku? Sudah lama kita tidak pernah berbicara. Ada hal yang ingin kubicarakan denganmu."

Aku sedikit kaget mendengar apa yang Steve katakan. Setelah sekian lama aku merindukannya, dan ketika ia berada di hadapanku kini, aku hanya membeku saja. Akhirnya aku mengangguk dan mengikutinya.

Steve berjalan menuju sebuah mobil berwarna merah terang dan membuka kuncinya. Aku terdiam sejenak melihatnya. Kemudian Steve membukakan pintu untukku, aku menurut dan masuk. Tak lama kemudian Steve masuk ke bangku pengemudi dan menyalakan mesinnya.

"Memangnya disana kau mengemudi di sebelah kanan?" tanyaku akhirnya karena penasaran.

"Ah? Tidak. Aku baru terbiasa lagi menggunakan ini sekitar seminggu yang lalu. Di Amerika tentu saja di sebelah kiri." Ia menoleh ke arahku dan tersenyum kemudian dengan cepat melihat lurus kembali.

Mobil berhenti di sebuah taman yang bagiku tidak berubah setelah 2 tahun lamanya. Aku sudah lupa bagaimana bentuknya. Aku heran Steve masih ingat jalan menuju kesini.

Steve kemudian turun dari mobil dan membuka pintu untukku lagi. Sinar matahari sore menyinari wajahnya, menajamkam bentuk-bentuk wajahnya yang sudah tidak kuingat sejak lama. Setelah aku keluar dari mobil, Steve menutup pintunya, kemudian kedua tangannya berada di samping kanan dan kiriku, mengunciku untuk diam dan tetap bersandar ke mobilnya.

"Ap-apa yang ingin kau lakukan?" aku bertanya dengan panik.

Wajah kami begitu dekat. Steve memejamkan matanya kemudian membawa wajahnya lebih dekat lagi. Semakin dekat, hingga aku takut dengan apa yang terjadi setelahnya jika aku tidak memalingkan wajahku.

Tapi kenapa aku tak ingin melakukannya?

Semakin dekat wajahnya membuatku takut dan ikut memejamkan mata. Apakah ini hanya mimpi?

Dan tiba-tiba saja..

To be continue

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun