Mohon tunggu...
Aldi Gozali
Aldi Gozali Mohon Tunggu... Akuntan - A lifelong learner

A true learner who loves to write about business, economics, and finance. | All the articles here are originally taken from https://aldigozali.com. Visit there for more articles. | Twitter: @aldigozali | Email: aldi.gozali@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

The Greater Fool Theory: Seperti Apa dan Bagaimana Menyikapinya?

14 Agustus 2021   10:23 Diperbarui: 24 Februari 2022   12:07 4890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Nataliya Vaitkevich from Pexels

Entah apa terjemahan yang enak didengar untuk The Greater Fool Theory, yang jelas istilah itu digunakan untuk menggambarkan aktivitas jual-beli yang tidak didasari dengan nilai-nilai kewajaran.

Ketika seseorang membeli secarik kertas polos yang harganya setara sebuah rumah dengan harapan harganya akan lebih mahal di masa depan, itulah salah satu kondisi dalam The Greater Fool Theory.

Yang menjadi sorotan dalam teori ini adalah perilaku para pelakunya yang percaya bahwa semahal apapun harga barang yang mereka perjualbelikan, kelak selalu akan ada orang, yang dalam teori ini disebut "lebih dungu," yang bersedia membelinya kembali dengan harga yang lebih mahal.

Karena itu mungkin teori ini bisa kita terjemahkan saja ke dalam bahasa Indonesia sebagai "Teori Kedunguan yang Lebih Hebat" (tekdung lebat), atau terserahlah, apa saja yang cocok menurut Anda.

Manusia memang dikatakan memiliki kecenderungan untuk mengonsumsi sesuatu secara emosional tanpa mempedulikan berbagai hal lainnya, seperti kata John Maynard Keynes dalam bukunya "The General Theory of Employment, Interest and Money."

Meski demikian, tetap saja mestinya faktor emosional tidak sampai mengaburkan kita untuk bertindak secara rasional. Artinya, ketika ada secarik kertas polos yang dijual seharga sebuah rumah, kita tetap harus berpikir rasional tentang darimana harga semahal itu didapat. Bukankah memang begitu naluri kita?

Sebagai manusia, tentu saja naluri kita ingin agar segala sesuatunya menguntungkan bagi kita. Jika tidak bisa, minimal tidak merugikan kita. Secarik kertas polos seharga sebuah rumah tadi mestinya menjadi perumpamaan yang bagus sebagai pengantar dalam memahami tekdung lebat ini.

Meskipun agak hiperbolis, tapi saya yakin apabila perumpamaan tadi nyata dihadapkan pada seseorang yang berakal sehat, nalurinya akan menahannya sejenak untuk berpikir. Pertama, bagaimana mungkin secarik kertas polos bisa dihargai sedemikian mahal?

Lalu, hal mendesak apa yang membuat ia harus memilikinya dan apa yang salah jika tidak memilikinya? Terakhir namun bukan akhir, apakah hal tersebut akan membawakan ia keuntungan di masa depan dan bagaimana caranya?

Anda mungkin bergumam kalau perumpamaan tadi terlalu hiperbolis alias mengada-ada. Tidak masalah, memang saya sengaja melemparkan wacana itu di awal agar pesan yang ingin saya sampaikan bisa lebih mudah ditangkap.

Namun demikian, menurut saya perumpamaan tadi tidak bisa begitu saja dikatakan mengada-ada karena nyatanya tekdung lebat memang memiliki banyak kondisi yang irasional atau tidak masuk akal, tidak jauh berbeda dengan wacana perumpamaan yang saya lemparkan itu.

Sebutlah batu akik. Siapa sih yang mulanya mengira sebuah batu cincin bisa bernilai begitu tinggi? Atau sebutlah lagi daun janda bolong. Saya yakin siapapun pada mulanya sebelum dua fenomema itu meledak, akan berpikir bahwa harga ratusan juta bahkan miliaran untuk sebuah batu cincin atau selembar daun hanyalah omong kosong.

Dan baru, pada saat masa keemasan keduanya dimulai, jangankan para penggemarnya, mereka yang awalnya tidak tertarik dan tidak mengerti pun jadi rela merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran untuk memilikinya.

Jangan geleng-gelengkan kepala Anda dulu. Fenomena batu akik, daun Janda Bolong, ikan Cupang, atau bahkan yang dahulu sempat juga meledak di Belanda, yakni bunga Tulip, itu belum seberapa. Yang mestinya membuat kita semua lebih geleng-geleng adalah fenomena mata uang kripto yang harganya bisa selangit tak kira-kira. Ini yang menurut saya lebih tidak masuk akal.

Batu akik, daun Janda Bolong, ikan Cupang, ataupun bunga Tulip tadi yang aset pendasarnya (underlying) jelas dan nyata saja sudah tidak masuk akal apabila harga satuannya mencapai ratusan juta. Apalagi dengan mata uang kripto seperti Bitcoin, Dogecoin, Ethereum, dan teman-temannya itu, yang sangat jelas tidak jelas dan tidak nyata underlying-nya.

Lagi pula, barang-barang ini belum pantas untuk disebut mata uang menurut saya (terkait ini, saya sudah pernah membahasnya di sini). Kalau untuk disebut aset kripto, boleh lah.

Aset kripto ini memang menjadi contoh yang sangat relevan dalam konteks tekdung lebat ini. Bagaimana tidak, Bitcoin, sebuah aset yang tidak jelas bentuk dan asal-usulnya serta tidak memiliki nilai intrinsik bisa dihargai US$65.000 per koin (atau setara Rp952.185.000 jika mengacu pada kurs yang berlaku saat harga tersebut tersentuh).

Apakah itu masuk akal? Belum lagi, beberapa aset kripto yang lain volatilitas harganya bisa melebihi 20 persen dalam satu hari dan bisa seketika jatuh nilainya hingga mendekati nol.

Bahkan si pencipta Ethereum saja memperingatkan bahwa koin besutannya itu bisa saja sewaktu-waktu jatuh harganya hingga mendekati nol. Dengan fakta-fakta tersebut, sulit rasanya untuk menganggapnya masuk akal. Bahkan mendengar aset-aset kripto itu diciptakan oleh seseorang pun terdengar sedikit lucu bagi saya.

Bukti bahwa aset kripto merupakan salah satu tekdung lebat menjadi semakin jelas dengan adanya kontra-argumen terkait eksistensi dan manfaatnya bagi perekonomian dari beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Warren Buffett, Bill Gates, hingga Paul Krugman. Ketiganya kompak tidak mendukung eksistensi aset kripto dan bahkan Bill Gates sangat tegas mengatakannya sebagai tekdung lebat.

As an asset class, you're not producing anything and so you shouldn't expect it to go up. It's kind of a pure 'greater fool theory' type of investment. -Bill Gates kepada CNBC

Mereka yang Diuntungkan dan yang Dirugikan

Tekdung lebat sangatlah bergantung pada pemilihan waktu dan momentum. Sehingga mereka yang memiliki kemampuan dan akses lebih dalam untuk menghimpun informasi dan mengantisipasi pertumbuhan valuasi atau gelembung spekulasi akan lebih diuntungkan mengingat mereka bisa melakukan pembelian di awal fase dan menjualnya sebelum pertumbuhan nilai aset mencapai fase puncaknya atau sebelum gelembung spekulasi pecah. 

Selain itu, mengingat aktivitas dalam teori ini sangat berisiko dan seringkali harus dilakukan dengan memanfaatkan pertumbuhan jangka pendek, biasanya mereka yang memiliki kemampuan finansial signifikanlah yang akan diuntungkan mengingat lebih besarnya ruang yang mereka miliki untuk melakukan diversifikasi portofolionya dan menahan kerugian tatkala suatu aset yang mereka miliki tidak menghasilkan. Tidak heran kalau orang-orang seperti Elon Musk lah yang akhirnya diuntungkan.

Lalu, siapa saja yang dapat dirugikan? Tentu siapapun bisa. Namun tanpa bermaksud kurang ajar, para pemain kecil yang kemampuannya pas-pasan namun hasrat meraup keuntungannya gila-gilaan seperti Anda dan teman-teman Anda, itulah yang lebih mungkin dirugikan. 

Sekali lagi, semua ini sangat bergantung pada momentum. Siapa yang mampu mengantisipasi momentum, dialah yang akan diuntungkan. Sementara yang tidak mampu, merekalah yang akan dirugikan.

Silakan cek sendiri, berapa banyak teman kita yang uang/modalnya "nyangkut" karena mengharapkan keuntungan yang tak kunjung datang setelah ikut-ikutan membeli suatu aset, sedangkan di sisi lain ia juga tidak rela menarik modal dan merealisasikan kerugiannya. Seperti peribahasa "hidup sungkan mati tak mau" akhirnya.

Kenapa dan Bagaimana Menghindarinya?

Saya paham bahwa hukum pasar membuat semua itu dapat terjadi. Artinya, memang sah-sah saja terjadi selagi penawaran (supply) dan permintaannya (demand) masih ada. Batu akik, daun Janda Bolong, ikan Cupang, bunga Tulip, dan lain-lain, bahkan kertas polos sekalipun, tidak ada yang bisa melarangnya untuk unjuk gigi selagi pasarnya masih ada.

Hanya saja yang saya khawatirkan, kondisi seperti ini sengaja digoreng sehingga mengundang lebih banyak aksi spekulasi dan bisa merambah ke sektor lain yang konteksnya lebih vital dan dampaknya sistemik bagi perekonomian.

Manifestasinya, orang-orang semakin banyak terpengaruh oleh tren yang terjadi, yangmana tidak seorangpun tahu dimana ujung dari tren itu.

Hingga akhirnya, mereka yang sudah terlanjur merogoh kocek besar-besaran di saat tren itu mulai hilang akan merugi. Ini seperti gelembung ekonomi yang kita tidak tahu kapan bisa pecah (lebih jelasnya terkait ini, silakan baca di sini).

Oleh karenanya, saya merasa memiliki tanggung jawab moril untuk mengingatkan agar Anda terhindar dari kondisi demikian.

Saran saya agar terhindar dari aktivitas tekdung lebat, pertama, selalu kedepankan evaluasi berdasarkan nilai-nilai kewajaran dengan menganalisis fundamental sebuah aset.

Utamakan rasionalitas dan nomor sekiankan faktor emosional Anda. Apabila hal-hal yang fundamentalnya saja sudah tidak jelas, sebaiknya hindari saja.

Atau, apabila aset itu adalah aset spekulatif, hindari saja. Kedua, jangan mudah tergiur iming-iming keuntungan yang tak memiliki dasar yang jelas atau yang sifatnya too good to be true, sekalipun itu datang dari mulut seorang tokoh seperti Elon Musk. Kita tidak semestinya mendasarkan keputusan kita pada pendapat orang lain.

Ketiga, kembalilah ke rencana investasi awal Anda dengan menentukan target-target yang masuk akal. Keempat, perbanyaklah bersyukur. Ketika keuntungan Anda masih belum seberapa atau malah belum mendapatkan keuntungan sama sekali, bersyukur saja karena masih banyak orang di luar sana yang kondisinya sudah lebih parah "berdarah-darah" ketimbang Anda.

Dari empat saran saya di atas, bisa saya katakan yang kedua menjadi yang paling sulit dihindari. Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, harga aset bisa dengan mudah "digoyang," apalagi jika yang melakukannya adalah seorang tokoh yang memiliki banyak pengikut. Elon Musk adalah contoh yang sangat nyata dalam hal ini.

Lihat saja bagaimana dulu ia melakukan promosi atau pompa-pompa (pump) Bitcoin hingga harganya bisa mencapai level tertinggi dalam sejarah, namun pada akhirnya ia buang (dump) kepemilikan Bitcoinnya setelah mendapatkan keuntungan. Setelahnya, Bitcoin pun terjun bebas harganya.

Ya, itulah yang disebut skema pump and dump. 

Tidak ingin menjadi korban kan? Maka, gunakanlah akal sehat Anda sebelum membeli sesuatu. Ingat, harga itu ibarat dua sisi mata uang. Bisa naik, bisa juga turun. Apalagi kalau menyangkut instrumen keuangan.

Jika harganya bisa naik fantastis, maka turunnya pun bisa bombastis. Jika dikatakan bisa membuat kita makin kaya, maka bisa juga bikin kita merana.

Jadi, ya, yang wajar-wajar saja lah. Saya sih percaya, cepat atau lambat setiap aset pasti akan kembali pada nilai wajarnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun