Sebutlah batu akik. Siapa sih yang mulanya mengira sebuah batu cincin bisa bernilai begitu tinggi? Atau sebutlah lagi daun janda bolong. Saya yakin siapapun pada mulanya sebelum dua fenomema itu meledak, akan berpikir bahwa harga ratusan juta bahkan miliaran untuk sebuah batu cincin atau selembar daun hanyalah omong kosong.
Dan baru, pada saat masa keemasan keduanya dimulai, jangankan para penggemarnya, mereka yang awalnya tidak tertarik dan tidak mengerti pun jadi rela merogoh kocek ratusan juta hingga miliaran untuk memilikinya.
Jangan geleng-gelengkan kepala Anda dulu. Fenomena batu akik, daun Janda Bolong, ikan Cupang, atau bahkan yang dahulu sempat juga meledak di Belanda, yakni bunga Tulip, itu belum seberapa. Yang mestinya membuat kita semua lebih geleng-geleng adalah fenomena mata uang kripto yang harganya bisa selangit tak kira-kira. Ini yang menurut saya lebih tidak masuk akal.
Batu akik, daun Janda Bolong, ikan Cupang, ataupun bunga Tulip tadi yang aset pendasarnya (underlying) jelas dan nyata saja sudah tidak masuk akal apabila harga satuannya mencapai ratusan juta. Apalagi dengan mata uang kripto seperti Bitcoin, Dogecoin, Ethereum, dan teman-temannya itu, yang sangat jelas tidak jelas dan tidak nyata underlying-nya.
Lagi pula, barang-barang ini belum pantas untuk disebut mata uang menurut saya (terkait ini, saya sudah pernah membahasnya di sini). Kalau untuk disebut aset kripto, boleh lah.
Aset kripto ini memang menjadi contoh yang sangat relevan dalam konteks tekdung lebat ini. Bagaimana tidak, Bitcoin, sebuah aset yang tidak jelas bentuk dan asal-usulnya serta tidak memiliki nilai intrinsik bisa dihargai US$65.000 per koin (atau setara Rp952.185.000 jika mengacu pada kurs yang berlaku saat harga tersebut tersentuh).
Apakah itu masuk akal? Belum lagi, beberapa aset kripto yang lain volatilitas harganya bisa melebihi 20 persen dalam satu hari dan bisa seketika jatuh nilainya hingga mendekati nol.
Bahkan si pencipta Ethereum saja memperingatkan bahwa koin besutannya itu bisa saja sewaktu-waktu jatuh harganya hingga mendekati nol. Dengan fakta-fakta tersebut, sulit rasanya untuk menganggapnya masuk akal. Bahkan mendengar aset-aset kripto itu diciptakan oleh seseorang pun terdengar sedikit lucu bagi saya.
Bukti bahwa aset kripto merupakan salah satu tekdung lebat menjadi semakin jelas dengan adanya kontra-argumen terkait eksistensi dan manfaatnya bagi perekonomian dari beberapa tokoh terkemuka dunia seperti Warren Buffett, Bill Gates, hingga Paul Krugman. Ketiganya kompak tidak mendukung eksistensi aset kripto dan bahkan Bill Gates sangat tegas mengatakannya sebagai tekdung lebat.
As an asset class, you're not producing anything and so you shouldn't expect it to go up. It's kind of a pure 'greater fool theory' type of investment. -Bill Gates kepada CNBC
Mereka yang Diuntungkan dan yang Dirugikan
Tekdung lebat sangatlah bergantung pada pemilihan waktu dan momentum. Sehingga mereka yang memiliki kemampuan dan akses lebih dalam untuk menghimpun informasi dan mengantisipasi pertumbuhan valuasi atau gelembung spekulasi akan lebih diuntungkan mengingat mereka bisa melakukan pembelian di awal fase dan menjualnya sebelum pertumbuhan nilai aset mencapai fase puncaknya atau sebelum gelembung spekulasi pecah.Â