Ambil contoh Rusia. Dari sekian banyak ancaman yang dihadapi negeri beruang merah itu, terpuruknya harga minyak mungkin menjadi yang paling berat untuk dihadapi. Hal ini logis mengingat sebagian besar pendapatan Rusia ditopang oleh ekspor minyak. Apalagi setelah adanya pernyataan dari pejabat Kremlin yang mengatakan bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam dalam situasi yang merugikan negaranya tersebut. Langkah apapun sepertinya akan diambil Rusia demi mengangkat kembali harga minyak dunia, minimal ke titik impasnya (break-even point). Bagaimanapun, pergerakan harga minyak ke bawah US$90 bbl dipastikan akan membuat Rusia terimbas defisit anggaran yang dapat mengantarkan mereka pada situasi sulit, baik dalam urusan ekonomi maupun politik luar negeri. Barangkali inilah yang sangat ditakuti Rusia alih-alih sanksi ekonomi dari Barat.
Sama halnya Arab Saudi, Iran, Irak, Venezuela, dan negara-negara eksportir minyak lainnya. Penurunan harga minyak ke bawah titik impas akan mengganggu stabilitas perekonomian mereka dari jalur-jalur yang strategis, mulai dari pos pendapatan -- yang mempengaruhi anggaran -- sampai kondisi nilai tukar mata uangnya (terkecuali Arab Saudi karena sistemnya menggunakan nilai tukar tetap). Lebih jauh, berkurangnya pendapatan menyiratkan pengetatan likuiditas yang dapat memperburuk kondisi kredit negara-negara tersebut, yangmana kredit macet bisa saja menjadi momok sistemik yang memporak-porandakan perekonomian mereka.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H