Mohon tunggu...
Aldi Alparando
Aldi Alparando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penulis Pemula

Lahir 5 Maret 1998 di Ampah, Kalimantan Tengah. Sedang menempuh Pendidikan Sarjana di IPB University

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kebencanaan Hidrometeorologi di Lahan Gambut

10 Agustus 2019   10:26 Diperbarui: 10 Agustus 2019   10:43 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: sininews.com

Lahan gambut adalah ekosistem lahan basah yang merupakan hasil dekomposisi material organik berupa kayu, ranting, dedaunan, dan material penyimpan karbon lain selama puluhan bahkan ratusan tahun. Gambut mengandung air sekitar 85%-90% tergantung bahan organik pembentuknya dan tingkat kejenuhan air yang ditampung. 

Kandungan bahan organik kompleks seperti karbon, Cu, dan Zn membuat tanah ini berwarna gelap. Tekstur tanah gambut sangat baik untuk menyerap air, porositasnya baik, dan mampu menyokong tanaman diatasnya untuk tetap kokoh. 

Beberapa tingkat kematangan bahan organik seperti fibrik, hemik, dan saprik tergantung oleh keadaan cuaca sekitar maupun kegiatan dekomposer dalam mengurai bahan organik. 

Dekomposer tidak mampu mengurai semua material organik secara cepat karena material organik ini diuraikan dalam keadaan tergenang. Hanya beberapa jenis bakteri dan dekomposer anaerob yang mampu melakukan penguraian bahan organik dalam keadaan tergenang.

Akumulasi bahan organik di lahan gambut terbentuk karena adanya permukaan lahan yang tergenang atau jenuh air, jumlah bahan organik yang mati dan menumpuk di suatu area yang jenuh air ini sangat berlimpah dan kecepatan produksinya melebihi kecepatan pelapukannya. 

Hal inilah yang menyebabkan pembentukan tanah gambut terjadi secara masif. Muka air tanah yang lebih tinggi daripada tumpukan bahan organik yang mati ini akan menghambat dekomposisi bahan organik oleh dekomposer aerob, sehingga yang mengurai bahan organik secara intensif adalah bakteri anaerob. 

Hasil dekomposisi ini kemudian menumpuk menjadi gambut. Gambut yang terakumulasi pada cekungan disebut gambut topogen (topogenous peat) atau gambut air tanah (groundwater peat). Endapan gambut akan muncul ke atas permukaan air dan kemudian bertambah tinggi akumulasinya bahkan tidak tergenang lagi oleh air bila akumulasi gambut ini berada pada cekungan air yang dangkal. 

Gambut yang bagiannya berada di atas muka air tanah disebut dengan istilah gambut ombrogen (omibrogenous peat). Beberapa endapan gambut seperti gambut topogen biasanya mendapatkan suplai nutrisi yang dibawa oleh aliran air dari bagian hulu aliran air. 

Tanah gambut dengan nutrisi yang diperkaya aliran air seperti ini biasanya dapat membentuk endapan yang dalam, terutama apabila pengendapannya diuntungkan oleh adanya pergerakan tektonik lahan secara berangsur. 

Namun, gambut ombrogen umumnya tidak lagi mendapat pengayaan mineral maupun nutrisi dari aliran air karena sebagian besar kandungan air hanya berasal dari air hujan. 

Pelapukan pada gambut ombrogen biasanya juga terhambat karena tingginya kelembaban tanah secara permanen di bawah tutupan tajuk hutan yang sangat rapat dan muka air tanah dangkal yang biasanya tidak berpotensi menambah kedalaman (Marliana 2017).

Lahan gambut memiliki tekstur mirip spons yang berongga banyak, hal ini ditujukan agar dapat menyerap banyak air. Lahan gambut sangat baik dibiarkan dalam keadaan alaminya yakni tetap tergenang. Pembentukan lahan gambut secara masif umumnya bisa mencapai ratusan tahun. 

Sebagai contoh, menurut penelitian Diemont dan Ponds (1991) serta Tie dan Esterle (1991), lahan gambut di Kalimantan Tengah pada kedalaman 0.5 meter -- 1 meter rata-rata berumur 140 tahun, kedalaman lahan gambut 1 meter - 2 meter berumur antara 500-5400 tahun, kedalaman lahan gambut 2 meter - 3 meter berumur 5400-7900 tahun, kedalaman lahan gambut 3 meter - 4 meter berumur 7900-9400, kedalaman lahan gambut 4 meter - 8 meter berumur 9400-13000 tahun, dan kedalaman lahan gambut 8 meter - 10 meter berumur 13000-25000 tahun. 

Lahan gambut di Kalimantan Tengah jauh lebih tua dibandingkan wilayah Kalimantan lainnya. Gambut di Serawak, Kalimantan Barat terbentuk sekitar 4300 tahun silam, sedangkan gambut di Muara Kanan, Kalimantan Timur terbentuk antara 3850-4400 tahun silam. 

Lahan gambut di Indonesia merupakan salah satu lahan gambut yang besar di dunia selain lahan gambut di Negara Brazil, Kanada, dan Kongo.

Lahan gambut memiliki nilai lingkungan maupun sosial ekonomi yang berpengaruh pada ekosistem lain yang hidup di dalamnya. Ekosistem ikan, udang, dan kepiting gambut merupakan contoh ekosistem yang hidup bergantung pada keberadaan lahan gambut. 

Masyarakat yang tinggal di sekitarnya juga turut memanfaatkan lahan gambut dan menjadikannya sebagai produksi berbasis kearifan lokal. Masyarakat Desa Bararawa, Kalimantan Selatan memanfaatkan Tumbuhan Purun sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tangan seperi tikar dan bakul. 

Begitupula dengan masyarakat Papua dan Toraja dalam memanfaatkan Tanaman Sagu sebagai salah satu bahan makanan pokok yang dapat tumbuh subur di lahan gambut.

Namun, beberapa pihak seperti perusahaan Kelapa Sawit memiliki penilaian lain mengenai lahan gambut. Lahan gambut dinilai tidak produktif padahal memiliki kandungan mineral yang tinggi. Penilaian seperti ini akan mengakibatkan banyak intervensi terhadap lahan gambut. 

Intervensi ini terjadi karena lahan dengan tanah mineral sudah dinilai tidak mampu menampung kapasitas komoditas perkebunan Kelapa Sawit secara masif. 

Lahan gambut dikeringkan dengan cara pembuatan kanal yang bertujuan mengeringkan lahan gambut, karena sifat tanaman Kelapa Sawit yang tidak mampu hidup di lahan yang tergenang. 

Lahan gambut yang sifatnya fragile ini tidak bisa dikembalikan seperti seperti keadaan semula jika sudah dikeringkan, sifatnya mirip dengan keadaan air bumi jika seandainya dilakukan ekstraksi besar-besaran.

Pihak konsesi Kelapa Sawit dengan Pemerintah Daerah setempat menyatakan bahwa adanya lahan Kelapa Sawit ini akan membantu perekonomian masyarakat sekitar. Pada kenyataannya tidak semua kalangan masyarakat bisa merasakan dampak positif dari adanya lahan Kelapa Sawit. 

Namun, dapat dipastikan bahwa semua pihak dapat merasakan dampak buruk dari adanya lahan Kelapa Sawit ini. Sebagian besar masyarakat yang bekerja di Perkebunan Kelapa Sawit umumnya hanya menjadi buruh dengan pendapatan yang kecil. 

Pembangunan ekonomi yang dimaksudkan hanya ditujukan pada skala makro tanpa memperhatikan kondisi alam dan masyarakat sekitar. Pembangunan ekonomi ini akan selalu memiliki trade off dengan kelestarian lingkungan. 

Trade off ini menunjukkan bahwa untuk membangun sebuah sarana perekonomian maka akan ada bagian dari alam yang harus dikorbankan. Kondisi ini dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakat yang berada di wilayah sekitar Perkebunan Kelapa Sawit, taraf hidup masyarakatnya masih jauh dari kondisi sejahtera.

Hal ini menyangkut masalah peningkatan perekonomian masyarakat, neraca perdagangan suatu negara, dan efek buruk terhadap lingkungan. efek buruk ini terjadi karena pengelolaan lingkungan yang buruk, biaya produksi yang besar tanpa mempertimbangkan mekanisme ganti rugi terhadap lingkungan. 

Mekanisme Marginal Social Cost (MSC) harus dilakukan dan digalakan agar ada upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan berlanjut dan semakin parah akibat adanya Perkebunan Kelapa Sawit ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun