Lahan gambut memiliki tekstur mirip spons yang berongga banyak, hal ini ditujukan agar dapat menyerap banyak air. Lahan gambut sangat baik dibiarkan dalam keadaan alaminya yakni tetap tergenang. Pembentukan lahan gambut secara masif umumnya bisa mencapai ratusan tahun.Â
Sebagai contoh, menurut penelitian Diemont dan Ponds (1991) serta Tie dan Esterle (1991), lahan gambut di Kalimantan Tengah pada kedalaman 0.5 meter -- 1 meter rata-rata berumur 140 tahun, kedalaman lahan gambut 1 meter - 2 meter berumur antara 500-5400 tahun, kedalaman lahan gambut 2 meter - 3 meter berumur 5400-7900 tahun, kedalaman lahan gambut 3 meter - 4 meter berumur 7900-9400, kedalaman lahan gambut 4 meter - 8 meter berumur 9400-13000 tahun, dan kedalaman lahan gambut 8 meter - 10 meter berumur 13000-25000 tahun.Â
Lahan gambut di Kalimantan Tengah jauh lebih tua dibandingkan wilayah Kalimantan lainnya. Gambut di Serawak, Kalimantan Barat terbentuk sekitar 4300 tahun silam, sedangkan gambut di Muara Kanan, Kalimantan Timur terbentuk antara 3850-4400 tahun silam.Â
Lahan gambut di Indonesia merupakan salah satu lahan gambut yang besar di dunia selain lahan gambut di Negara Brazil, Kanada, dan Kongo.
Lahan gambut memiliki nilai lingkungan maupun sosial ekonomi yang berpengaruh pada ekosistem lain yang hidup di dalamnya. Ekosistem ikan, udang, dan kepiting gambut merupakan contoh ekosistem yang hidup bergantung pada keberadaan lahan gambut.Â
Masyarakat yang tinggal di sekitarnya juga turut memanfaatkan lahan gambut dan menjadikannya sebagai produksi berbasis kearifan lokal. Masyarakat Desa Bararawa, Kalimantan Selatan memanfaatkan Tumbuhan Purun sebagai bahan baku pembuatan kerajinan tangan seperi tikar dan bakul.Â
Begitupula dengan masyarakat Papua dan Toraja dalam memanfaatkan Tanaman Sagu sebagai salah satu bahan makanan pokok yang dapat tumbuh subur di lahan gambut.
Namun, beberapa pihak seperti perusahaan Kelapa Sawit memiliki penilaian lain mengenai lahan gambut. Lahan gambut dinilai tidak produktif padahal memiliki kandungan mineral yang tinggi. Penilaian seperti ini akan mengakibatkan banyak intervensi terhadap lahan gambut.Â
Intervensi ini terjadi karena lahan dengan tanah mineral sudah dinilai tidak mampu menampung kapasitas komoditas perkebunan Kelapa Sawit secara masif.Â
Lahan gambut dikeringkan dengan cara pembuatan kanal yang bertujuan mengeringkan lahan gambut, karena sifat tanaman Kelapa Sawit yang tidak mampu hidup di lahan yang tergenang.Â
Lahan gambut yang sifatnya fragile ini tidak bisa dikembalikan seperti seperti keadaan semula jika sudah dikeringkan, sifatnya mirip dengan keadaan air bumi jika seandainya dilakukan ekstraksi besar-besaran.