Mahasiswa Indonesia tercatat sebagai pejuang demokrasi dengan berbagai aksi mulai dari tahun 1966 dengan aksi tuntutan Tritura, tahun 1974 dengan Peristiwa Malari, tahun 1978 dan terakhir tahun 1998. Era reformasi seakan memberi ruang dan peluang yang lebih baik kepada aksi unjuk rasa dan demonstrasi.
Jika mahasiswa ikut meruntuhkan Orde Lama, para tokoh penting mahasiswa Angkatan 66 diangkat menjadi Menteri, gerakan mahasiswa tidak padam. Para aktivis mahasiswa Angkatan 66 yang tidak ikut dalam struktur kekuasaan memilih jalan kritis sebagai oposisi dan tetap melakukan perjuangan dengan demonstrasi.
Peristiwa Malari atau Malapetaka Januari 1974 soal kehadiran Investasi Jepang di Indonesia cukup memberikan bukti kepekaan mahasiswa terhadap dominasi investasi asing yang menghadirkan Jepang sebagai bentuk penjajahan ekonomi dalam bentuk lain. Hampir semua produk merek Jepang dirusak.
Peristiwa 1998 merupakan puncak perjuangan mahasiswa terhadap rezim Orde Baru dan berhasil mencapai puncaknya. Mahasiswa naik sampai ke atap Gedung DPR/MPR. Dan Orde Baru tumbang. Soeharto dipaksa mundur setelah berkuasa selama 32 tahun.
Kenapa mahasiswa bisa eksis berjuang untuk menyuarakan kepentingan rakyat? Adakah mandat dari rakyat kepada mahasiswa? Tidak ada. Yang diberikan rakyat mandat adalah para anggota DPR, DPRD dan MPR. Perwakilan rakyat atau permusyawaratan rakyat. Rakyat memilih wakilnya dan memberi mandat melalui Pemilu.
Lalu, kenapa mahasiswa yang tidak memiliki mandat dari rakyat selalu menggunakan atas nama rakyat dan menuntut ke DPR sebagai wakil rakyat? Menurut seorang mantan Aktivis Mahasiswa Peristiwa Malari dan yang menjadi Sekjen Komnas HAM pertama Alm Asmara Nababan pernah mengatakan, mahasiswa adalah pejuang yang paling setia dengan hati nuraninya. Wow!
Hal tersebut disampaikan dalam sebuah pelatihan kader di sebuah organisasi ekstra kurikuler. Paling setia dengan hati nuraninya, sebuah status yang luar biasa. Mungkin apa yang dikatakan Asmara adalah refleksi atas perjuangannya dan para sahabatnya.
Dalam sebuah seminar tentang Tritura di Medan, Alm Cosmas Batubara ketika menjabat Menteri Perumahan Rakyat di masa Orde Baru, seorang mahasiswa (penulis) bertanya. Apa pertanyaan itu?
  "Kenapa bang Cosmas Batubara ketika aktivis mahasiswa Angkatan 66 sangat kritis, galak dan keras menuntut keadilan, namun setelah menjadi Menteri diam seribu Bahasa dan tidak pernah kritis dan bicara soal ketidakadilan dan pelanggaran HAM?"
Jawaban Alm Cosmas Batubara sangat menarik. Dia mengatakan, " Ketika kita berjuang sebagai aktivis mahasiswa, kita tidak ada beban untuk bersuara lantang dan keras, namun ketika kita masuk dan menjadi bagian dari kekuasaan, kita harus ikut dengan birokrasi dan aturan dalam struktur kekuasaan itu."
Apa yang disampaikan Alm Asmara Nababan dan Alm Cosmas Batubara ini mengindikasikan bahwa mahasiswa bisa lepas berjuang dengan segala resikonya, karena dia tidak ada beban dan birokrasi yang harus dipatuhinya. Dia cukup setia dengan hati nuraninya.
Modal setia dengan hati nuraninyalah mahasiswa berjuang dan menyuarakan aspirasi rakyat yang gagal diperjuangkan oleh para wakil rakyat. Wakil rakyat bukan lagi murni memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tetapi lebih banyak bertindak dan berbuat demi kepentingan partai politik yang menugaskannya. Dia lebih fokus bertugas sebagai petugas partai daripada pejuang aspirasi rakyat yang memilihnya.
Kenapa anggota DPR dan DPRD lebih takut kepada partainya daripada kepada rakyat yang memilihnya? Kewenangan melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) atau recall adalah senjata ampuh dari partai untuk mengganti anggota dewan yang tidak sesuai dengan aspirasi partainya. Fraksi yang ada di DPR dan DPRD adalah perpanjangan tangan dari partai untuk memperjuangkan kepentingannya. Inilah aturan dan birokrasi dalam struktur kekuasaan seperti yang disampaikan Cosmas batubara diatas.
Ketika perjuangan mahasiswa mau disuarakan lewat Partai Mahasiswa Indonesia, masalah diatas akan muncul. Apakah dengan munculnya Partai Mahasiswa Indonesia, maka perjuangan mahasiswa masih akan setia dengan hati nuraninya sebagaimana disebutkan oleh Asmara Nababan?
Seandainya Partai Mahasiswa Indonesia ini brhasil menjadi peserta Pemilu 2024 dan mencapai parliament threshold, apakah partai ini akan setia dengan hati nuraninya? Atau akan terjebak dalam struktur kekuasaan dan birokrasinya?
Perjuangan dengan dilandasi hati nurani dan perjuangan yang didasari kepentingan politik pragmatis tentu sangat berbeda jauh. Sebagai partai politik, kecenderungan politik pragmatis akan lebih dominan dari hati nurani. Dan bahkan dalam perpolitikan Indonesia, hati nurani seringkali dikesampingkan demi tujuan politik pragmatis.
Dengan gambaran diatas, bisalah kita pahami kenapa BEM SI menolak kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia. Ini akan menjadi dilemma bagi mahasiswa. Apakah mereka berjuang lewat BEM atau lewat partai mahasiswa? Jika partai mahasiswa ada di DPR bagaimana? Jika tidak lolos masuk ke DPR, bagaimana? Namanya ada Partai Mahasiswa Indonesia tetapi tidak lolos ke DPR?
Partai Mahasiswa Indonesia yang diketuai mahasiswa dari BEM Nusantara Eko Pratama memunculkan pro kontra bagi mahasiswa sendiri. Bukan hanya bagi mahasiswa, para elit bangsa juga banyak yang pro kontra. Berbagai pertanyaan muncul, darimana biaya partai? Membuat partai tidak mudah dan tidak murah. Siapa donaturnya? Siapa yang ada dibelakangnya? Apa kesepakatan politiknya? Tidak ada makan siang yang gratis.
Jika Partai Mahasiswa Indonesia dari awal pendiriannya sudah tergantung kepada donator atau pihak penyandang dana, lalu apakah partai ini bisa mandiri tanpa ketergantungan? Jika di awal sudah ada kesepakatan atau kontrak politik, apakah dia bisa memperjuangkan sesuai dengan hati nuraninya?
Berbagai pertanyaan bisa muncul, beberapa kekhawatiran bisa membuncah, namun partai mahasiswa telah ada dan sudah disahkan Kemenkumham. Apakah mahasiswa yang tugasnya kuliah akan lebih memilih mengurus partai daripada kuliah sebagai tugas utamanya? Atau pengurus Partai Mahasiswa ini bukan dari mahasiswa, tetapi yang sudah tamat karena lulus atau yang sudah tamat karena drop out?
Sistem Pendidikan tinggi kita sekarang tidak lagi memperkenankan gelar mahasiswa abadi (MA). Ada batas waktu dan harus keluar dari kampus. Zaman dulu sebelum Normalisasi kehidupan kampus (NKK), seorang boleh menjadi MA dan bahkan tinggal di asrama mahasiswa sebagai PGT (Penghuni Gelap Tetap) dan lebih berkuasa dari pengelola asrama yang ditujuk rektor.
Partai mahasiswa menjadi dilema. Dilema bagi mahasiswa Indonesia. Mana yang dipilih? Perjuangan lewat BEM atau partai mahasiswa. Dilema bagi bangsa ini. Apakah bangsa ini sudah rela membiarkan mahasiswa yang tugasnya adalah belajar dan kuliah untuk menjadi generasi penerus bangsa berubah? Apakah kita memberi ruang bagi mahasiswa berpaling dari fungsi dan tugasnya belajar menjadi pelaku politik praktis?
Mahasiswa adalah predikat untuk belajar dan kuliah. Bukan untuk berpolitik praktis. Partai adalah kegiatan politik praktis dengan segala dinamikanya. Sudah layakkah kita membiarkan mahasiswa kita meninggalkan predikat, tugas dan fungsinya untuk belajar dan kuliah untuk membekali dirinya dengan ilmu dan pengetahuan?
Kenapa kita tidak tetap membiarkan mahasiswa belajar dan kuliah serta berjuang sesuai dengan hati nuraninya? Kenapa kita memberikan ruang dan peluang kepada mahasiswa berpindah ke ruang politik yang pragmatis? Inilah dilema kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H