Apa yang disampaikan Alm Asmara Nababan dan Alm Cosmas Batubara ini mengindikasikan bahwa mahasiswa bisa lepas berjuang dengan segala resikonya, karena dia tidak ada beban dan birokrasi yang harus dipatuhinya. Dia cukup setia dengan hati nuraninya.
Modal setia dengan hati nuraninyalah mahasiswa berjuang dan menyuarakan aspirasi rakyat yang gagal diperjuangkan oleh para wakil rakyat. Wakil rakyat bukan lagi murni memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya, tetapi lebih banyak bertindak dan berbuat demi kepentingan partai politik yang menugaskannya. Dia lebih fokus bertugas sebagai petugas partai daripada pejuang aspirasi rakyat yang memilihnya.
Kenapa anggota DPR dan DPRD lebih takut kepada partainya daripada kepada rakyat yang memilihnya? Kewenangan melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) atau recall adalah senjata ampuh dari partai untuk mengganti anggota dewan yang tidak sesuai dengan aspirasi partainya. Fraksi yang ada di DPR dan DPRD adalah perpanjangan tangan dari partai untuk memperjuangkan kepentingannya. Inilah aturan dan birokrasi dalam struktur kekuasaan seperti yang disampaikan Cosmas batubara diatas.
Ketika perjuangan mahasiswa mau disuarakan lewat Partai Mahasiswa Indonesia, masalah diatas akan muncul. Apakah dengan munculnya Partai Mahasiswa Indonesia, maka perjuangan mahasiswa masih akan setia dengan hati nuraninya sebagaimana disebutkan oleh Asmara Nababan?
Seandainya Partai Mahasiswa Indonesia ini brhasil menjadi peserta Pemilu 2024 dan mencapai parliament threshold, apakah partai ini akan setia dengan hati nuraninya? Atau akan terjebak dalam struktur kekuasaan dan birokrasinya?
Perjuangan dengan dilandasi hati nurani dan perjuangan yang didasari kepentingan politik pragmatis tentu sangat berbeda jauh. Sebagai partai politik, kecenderungan politik pragmatis akan lebih dominan dari hati nurani. Dan bahkan dalam perpolitikan Indonesia, hati nurani seringkali dikesampingkan demi tujuan politik pragmatis.
Dengan gambaran diatas, bisalah kita pahami kenapa BEM SI menolak kehadiran Partai Mahasiswa Indonesia. Ini akan menjadi dilemma bagi mahasiswa. Apakah mereka berjuang lewat BEM atau lewat partai mahasiswa? Jika partai mahasiswa ada di DPR bagaimana? Jika tidak lolos masuk ke DPR, bagaimana? Namanya ada Partai Mahasiswa Indonesia tetapi tidak lolos ke DPR?
Partai Mahasiswa Indonesia yang diketuai mahasiswa dari BEM Nusantara Eko Pratama memunculkan pro kontra bagi mahasiswa sendiri. Bukan hanya bagi mahasiswa, para elit bangsa juga banyak yang pro kontra. Berbagai pertanyaan muncul, darimana biaya partai? Membuat partai tidak mudah dan tidak murah. Siapa donaturnya? Siapa yang ada dibelakangnya? Apa kesepakatan politiknya? Tidak ada makan siang yang gratis.
Jika Partai Mahasiswa Indonesia dari awal pendiriannya sudah tergantung kepada donator atau pihak penyandang dana, lalu apakah partai ini bisa mandiri tanpa ketergantungan? Jika di awal sudah ada kesepakatan atau kontrak politik, apakah dia bisa memperjuangkan sesuai dengan hati nuraninya?
Berbagai pertanyaan bisa muncul, beberapa kekhawatiran bisa membuncah, namun partai mahasiswa telah ada dan sudah disahkan Kemenkumham. Apakah mahasiswa yang tugasnya kuliah akan lebih memilih mengurus partai daripada kuliah sebagai tugas utamanya? Atau pengurus Partai Mahasiswa ini bukan dari mahasiswa, tetapi yang sudah tamat karena lulus atau yang sudah tamat karena drop out?
Sistem Pendidikan tinggi kita sekarang tidak lagi memperkenankan gelar mahasiswa abadi (MA). Ada batas waktu dan harus keluar dari kampus. Zaman dulu sebelum Normalisasi kehidupan kampus (NKK), seorang boleh menjadi MA dan bahkan tinggal di asrama mahasiswa sebagai PGT (Penghuni Gelap Tetap) dan lebih berkuasa dari pengelola asrama yang ditujuk rektor.