Refleksi Untuk SBY dan AHY, Carilah Kawan (Bukan Lawan).
Dalam kehidupan politik, tidak ada kawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, jika kepentingan politik berbeda. Lawan bisa menjadi kawan, jika kepentingan sama. Oleh karena itu mengelola kawan dan lawan serta kepentingan haruslah menjadi seni tersendiri dalam kehidupan politik.
Setiap pemimpin politik, termasuk partai politik, seyogianya harus memiliki seni mengelola kawan dan lawan yang mumpuni. Itulah sebabnya, seorang pemimpin itu harus dimulai dari titik nol menuju seratus. Program pengkaderan harus dilalui. Pendidikan dan pelatihan yang berjenjang, bertahap dan berkelanjutan yang merupakan tahapan yang diyakini dalam pendidikan militer merupakan  cara terbaik menjadi pemimpin.
Dalam setiap jenjang kepangkatan selalu membutuhkan pendidikan dan latihan yang harus dilalui dan lulus. Hal ini diharapkan akan menjadikan prajurit atau kader menjadi matang dan sesuai kapasitas diri dan jabatannya. Dalam militer atau Polri sering kita dengar ada Sespa, Sespim, Sesko, Seskogab, Sespati dan berbagai istilah untuk jenjang pendidikan dan latihan untuk meraih kepangkatan tertentu. Untuk yang lebih tinggi harus ikut pendidikan Lemhanas. Di Lemhanas juga ada yang singkat ada pula yang reguler.
Semua proses pendidikan dan latihan tersebut bertujuan untuk menjadikan setiap calon pemimpin itu menjadi siap dan mampu memimpin. Dengan demikian, maka negeri ini akan menjadi negeri yang baik, karena dipimpin oleh para pemimpin yang siap dan baik.
SBY sebagai mantan presiden dan mantan prajurit yang mengalami pendidikan latihan seperti yang kami maksudkan diatas tentu saja sangat memahami dan fasih akan hal itu. Namun bagaimana dia mempersiapkan AHY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat? Apakah dia menggunakan prinsip diatas? Kenapa Ibas yang sudah malang melintang dalam kehidupan politik dan bahkan sudah pernah menjabat Sekjen di PD tidak ditempatkan menjadi Ketum PD? Kenapa AHY yang belum memiliki pengalaman mengelola partai politik?
Ini tentu kewenangan SBY untuk memilih siapa diantara anaknya yang dipercayanya untuk didukungnya. Namun berbicara tentang Partai Demokrat, partai itu partai terbuka dari awal, bukan partai keluarga. Pengubahan peraturan dan membuat keputusan harus seizin Ketua Majelis Tinggi adalah sebuah kesalahan dalam mengelola partai di era demokrasi dan reformasi. Kenapa?
Ketua Majelis Tinggi merupakan duplikasi dari masa Orde Baru yang menempatkan Presiden Soeharto ketika itu menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Mungkin SBY terjebak dengan pengalaman masa lalunya sebagai ajudan Presiden Soeharto dan dia membuat jebakan kenangan itu untuk membuat dirinya seperti itu.
 Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Ketua Dewan Pembina Golkar di masa Orede Baru, serupa tapi tidak sama. Jabatan Ketua Majelis Tinggi adalah sebuah kemunduran dalam pengelolaan partai politik di era demokrasi. Di era Orde Baru, cara itu mungkin bisa berjalan, namun di era demokrasi dan reformasi, sepertinya kurang cocok dan kurang pas.
Pola berpikir dan pola pengelolaan partai politik dengan cara Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi yang seakan lebih tinggi dari pemilik suara di partai politik adalah keniscayaan. Kalau kehidupan demokrasi digambarkan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, partai politik seharusnya partai dari, oleh dan untuk pemilik suara, yaitu DPD dan DPC. Apakah posisi pemilik suara lebih tinggi dari Ketua Majelis Tinggi?
Pola berpikir dan pola pengelolaan itu akhirnya berdampak kepada cara dan pola kerja. Merangkul semua menjadi kawan menjadi berkurang. Setiap kritik atau perbedaan pendapat di internal dianggap sebagai ancaman, bukan dinamika. Dan yang paling berbahaya, setiap langkah dari orang yang berbeda pendapat dianggap sebagai ancaman terhadap jabatannya. Dan inilah yang melahirkan pengumuman isu kudeta itu. Mari kita simak apa yang dilakukan SBY dan AHY dalam menghadapi kawan dan lawan ini.
Pada tanggal 1 Pebruari 2021, AHY melakukan Konprensi Pers. Isinya menuding, ada kalangan istana melakukan upaya kudeta atau pengambilalihan jabatan Ketum PD. Lalu dia melayangkan surat ke Presiden Jokowi mengkonfirmasi keterlibatan orang istana dan dukungan Presiden Jokowi tentang hal kudeta tersebut.
Surat ini mengandung dua tuduhan atau tudingan. Menuding dan menuduh Moeldoko sebagai aktor kudeta dan Presiden Jokowi sebagai pendukung aktor tersebut. Jadi membaca surat itu seperti menuduh dan menuding Moeldoko sebagai aktor eksekutor, Presiden Jokowi sebagai aktor intelektualnya. Bisa saja SBY dan AHY menolak pendapat tersebut. Namun kenyataannya, apa yang terjadi?
Presiden lewat Mensesneg memberikan pernyataan, tidak akan membalas suratnya, karena itu adalah masalah internal Partai Demokrat. Apa jawab Moeldoko? Saya ngopi, ada yang grogi, katanya enteng. Ternyata SBY dan AHY tidak sabar. Malah makin beringas. SBY buat pernyataan menuding dan menuduh  Moeldoko, tetapi melakukan split dengan menyatakan Jokowi tidak terlibat. Tetap mencari musuh.
Tudingan dan tuduhan terhadap Moeldoko ini makin jelas dan seakan menantang. Moeldoko adalah seorang prajurit juga. Malah di TNI, Moeldoko lebih tinggi dari SBY. Moeldoko pernah KASAD dan Panglima TNI berpangkat Jenderal bintang empat. Walau SBY yang mengangkatnya sebagai Panglima TNI. SBY tidak pernah KASAD atau Panglima TNI, walaupun dia mantan ajudan Presiden Soeharto.Â
Apakah seorang jenderal dan mantan panglima bisa menerima diperlakukan dan dipermalukan seperti itu? Ternyata tidak, dan KLB Sibolangit 5-7 Maret 2021 sebagai jawabannya. Konkrit. Tuduhan dan tudingan itu dijawab dengan tindakan nyata. Puncak konflik, tuduhan dan tudingan adalah KLB. Kepalang mandi, biarlah basah. Mungkin itu pendapat Moeldoko menjawab itu. Tuduhan, tudingan dan tantangan itu dijawab dengan aksi nyata. Kata dan tuduhan dilawan dengan KLB yang nyata.
Lalu kita buatlah pengandaian yang berlawanan dengan kejadian tersebut. Seandainya Konpresnsi pers tanggal 1 Pebruari 2021 itu tidak ada. Lalu AHY berkirim surat ke Presiden Jokowi minta bertemu untuk konsultasi dan curcol. Atau dengan segala koneksinya meminta bertemu dengan presiden Jokowi. Dulu juga tahun 2019 pernah dilakukan AHY. Bertemu dengan Jokowi, Puan dan bahkan Megawati.
Dengan cara yang elegan itu, misalnya, Jokowi menerima AHY. Lalu AHY menceritakan isu kudeta tersebut dan meminta pak Jokowi untuk membantu AHY dan Partai Demokrat dari gangguan kudeta tersebut. Mungkin pak Jokowi akan membantu dan menenangkan masalah tersebut. Ini hanya pengandaian. Jokowi adalah sosok yang sulit ditebak. Namun etika dan sopan santunnya untuk menjaga hubungan baik patut diakui sangat mumpuni.
Dan jika Jokowi berkenan membantu dan menenangkannya, maka isu itu tidak akan liar dan mungkin akan berkurang dan huru-hara berita kudeta inipun akan menurun, lalu terciptalah perkawanan yang membaik. Namun karena yang terjadi sebaliknya, maka jadilah seperti sekarang.
SBY dan AHY kini meradang. Pemecatan tujuh orang kader senior Demokrat ternyata bukan kemenangan, tetapi menjadi kekalahan. Kawan yang merupakan pendiri partai dan kader senior, dipecat, dan berubah menjadi lawan yang sigap bergerak. Moeldoko yang dituding dan dituduh menjadi berang dan melawan. Dia tidak mau ditekan-tekan. Jokowi yang dianggap merestui kudeta ini diminta konfirmasi keterlibatannya.Â
Apalagi Andy Malarangeng menyebut Moeldoko dapat restu dari Pak Lurah, pasti melukai hati Jokowi. Jokowi juga diciptakan menjadi lawan. Andi Arief berkicau terus. Semua Pengurus Partai Demokrat seakan berlomba menciptakan isu dan pendapat yang memancing permusuhan dan menciptakan lawan. Segala upaya pengurus tersebut menuai hasil. Bermunculan lawan dari mereka.
Dalam tata pergaulan sering mengucapkan pameo tentang kawan dan lawan ini. Seribu kawan tidak cukup, tetapi satu lawan sudah lebih. Apa makna dari pameo tersebut? Carilah kawan sebanyak mungkin. Hindarilah permusuhan dan jangan sampai ada lawan. Sebab kita akan menjalani kehidupan yang baik, jika kawan banyak da nada dimana-mana.
Pola dan gaya SBY dan AHY serta fungsionaris Partai Demokrat ini yang seakan mengurangi kawan dan menambah lawan telah menjadi ironi. Ada 43 Ketua DPC yang berangkat ke KLB, pagi hari Jumat dipecat dan di PLT kan. Demikian kata AHY dalam Konprensi Pers Jumat 5 Maret 2021 menanggapi KLB. Apakah 43 Ketua DPC ini tidak mungkin mendekati para sahabat keta DPC untuk berpindah haluan? Ini juga sudah menjadi penanaman dan penambahan lawan. Sampai kapan ini terjadi?
SBY dan AHY patut melakukan refleksi. Perenungan ulang. Gaya, pola dan cara mengelola Partai Demokrat harus diubah. Gaya Ketua Majelis Tinggi yang meniru Ketua Dewan Pembina Golkar di masa Orba harus ditinjau ulang. Pengangkatan AHY sebagai Ketum, bukan Ibas yang berpengalaman di PD dan di DPR, perlu direnungkan. Pemecatan tujuh kader senior itu kelewatan, perlu dimimpikan dengan mengingat kebaikan hubungan masa lalu.
Ini lebih penting. Menuding dan menuduh pejabat istana dan mengaitkannya restu pak Lurah ini sebuah tindakan yang kurang sopan, tak beretika dan bahkan terkesan kurang ajar. Mengaitkan Presiden Jokowi dan menyuratinya meminta klarifikasi telah menjadi tindakan yang kualat.
Ujung dari semua kesalahan ini adalah, berkumpulnya para lawan yang diciptakan itu di KLB Sibolangit 2021. Nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaannya adalah, bagaimana membuat bubur itu enak? Takutnya, bubur itupun sudah basi untuk dinikmati, karena lawan juga sudah mebuat bubur itu menjadi basi.
Ayo, ciptakan kawan, hindari lawan, jangan membuat kawan menjadi lawan, tetapi kalau bisa lawan diajaklah menjadi kawan. Kawan dan lawan tidak abadi dalam politik, tetapi kawan yang banyak tidak cukup, lawan satu saja sudah lebih.
Ebiet G Ade menyampaikan Berita Kepada Kawan, bahwa terjadi bencana. Seandainya SBY dan AHY menciptakan banyak kawan, maka bencana KLB ini patut diberitahukan kepada kawan, Berita Kepada Kawan gaya Ebiet G Ade. Liriknya seperti ini, ....Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita...
Mungkinkah Tuhan sudah bosan melihat tingkah SBY dan AHY? Atau alam kehidupan politik kita sudah enggan bersahabat dengan SBY dan AHY? Jika ada orang yang selalu menciptakan lawan, itu bisa saja Tuhan tidak suka. Sebab Tuhan selalu berpesan, Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Kasihilah musuhmu. Sekali lagi pameo, seribu kawan tidak cukup, satu lawan sudah lebih patut dibuat sebagai bahan refleksi. Selamat berefleksi.
Salam hangat
Aldentua Siringoringo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H