Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Refleksi untuk SBY dan AHY, Carilah Kawan (Bukan Lawan)

7 Maret 2021   06:29 Diperbarui: 7 Maret 2021   07:22 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Refleksi Untuk SBY dan AHY, Carilah Kawan (Bukan Lawan).

Dalam kehidupan politik, tidak ada kawan yang abadi. Yang abadi adalah kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, jika kepentingan politik berbeda. Lawan bisa menjadi kawan, jika kepentingan sama. Oleh karena itu mengelola kawan dan lawan serta kepentingan haruslah menjadi seni tersendiri dalam kehidupan politik.

Setiap pemimpin politik, termasuk partai politik, seyogianya harus memiliki seni mengelola kawan dan lawan yang mumpuni. Itulah sebabnya, seorang pemimpin itu harus dimulai dari titik nol menuju seratus. Program pengkaderan harus dilalui. Pendidikan dan pelatihan yang berjenjang, bertahap dan berkelanjutan yang merupakan tahapan yang diyakini dalam pendidikan militer merupakan  cara terbaik menjadi pemimpin.

Dalam setiap jenjang kepangkatan selalu membutuhkan pendidikan dan latihan yang harus dilalui dan lulus. Hal ini diharapkan akan menjadikan prajurit atau kader menjadi matang dan sesuai kapasitas diri dan jabatannya. Dalam militer atau Polri sering kita dengar ada Sespa, Sespim, Sesko, Seskogab, Sespati dan berbagai istilah untuk jenjang pendidikan dan latihan untuk meraih kepangkatan tertentu. Untuk yang lebih tinggi harus ikut pendidikan Lemhanas. Di Lemhanas juga ada yang singkat ada pula yang reguler.

Semua proses pendidikan dan latihan tersebut bertujuan untuk menjadikan setiap calon pemimpin itu menjadi siap dan mampu memimpin. Dengan demikian, maka negeri ini akan menjadi negeri yang baik, karena dipimpin oleh para pemimpin yang siap dan baik.

SBY sebagai mantan presiden dan mantan prajurit yang mengalami pendidikan latihan seperti yang kami maksudkan diatas tentu saja sangat memahami dan fasih akan hal itu. Namun bagaimana dia mempersiapkan AHY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat? Apakah dia menggunakan prinsip diatas? Kenapa Ibas yang sudah malang melintang dalam kehidupan politik dan bahkan sudah pernah menjabat Sekjen di PD tidak ditempatkan menjadi Ketum PD? Kenapa AHY yang belum memiliki pengalaman mengelola partai politik?

Ini tentu kewenangan SBY untuk memilih siapa diantara anaknya yang dipercayanya untuk didukungnya. Namun berbicara tentang Partai Demokrat, partai itu partai terbuka dari awal, bukan partai keluarga. Pengubahan peraturan dan membuat keputusan harus seizin Ketua Majelis Tinggi adalah sebuah kesalahan dalam mengelola partai di era demokrasi dan reformasi. Kenapa?

Ketua Majelis Tinggi merupakan duplikasi dari masa Orde Baru yang menempatkan Presiden Soeharto ketika itu menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar. Mungkin SBY terjebak dengan pengalaman masa lalunya sebagai ajudan Presiden Soeharto dan dia membuat jebakan kenangan itu untuk membuat dirinya seperti itu.

 Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dan Ketua Dewan Pembina Golkar di masa Orede Baru, serupa tapi tidak sama. Jabatan Ketua Majelis Tinggi adalah sebuah kemunduran dalam pengelolaan partai politik di era demokrasi. Di era Orde Baru, cara itu mungkin bisa berjalan, namun di era demokrasi dan reformasi, sepertinya kurang cocok dan kurang pas.

Pola berpikir dan pola pengelolaan partai politik dengan cara Ketua Dewan Pembina dan Ketua Majelis Tinggi yang seakan lebih tinggi dari pemilik suara di partai politik adalah keniscayaan. Kalau kehidupan demokrasi digambarkan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, partai politik seharusnya partai dari, oleh dan untuk pemilik suara, yaitu DPD dan DPC. Apakah posisi pemilik suara lebih tinggi dari Ketua Majelis Tinggi?

Pola berpikir dan pola pengelolaan itu akhirnya berdampak kepada cara dan pola kerja. Merangkul semua menjadi kawan menjadi berkurang. Setiap kritik atau perbedaan pendapat di internal dianggap sebagai ancaman, bukan dinamika. Dan yang paling berbahaya, setiap langkah dari orang yang berbeda pendapat dianggap sebagai ancaman terhadap jabatannya. Dan inilah yang melahirkan pengumuman isu kudeta itu. Mari kita simak apa yang dilakukan SBY dan AHY dalam menghadapi kawan dan lawan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun