"Kakek pernah bilang, adat juga yang kecil, adat juga yang besar. Pesta kecil dan besar, adatnya tetap sah. Kenapa tidak dibuat saja kecil sesuai aturan dan protokol kesehatan? Yang penting Sang pengantin yang sudah tidak sabar lagi ingin menikah bisa terwujud," kata Sang Cucu.
  "Itu betul. Adat besar dan adat kecil tetap sah. Namun bagaimana mengurangi dari seribu menjadi sepuluh orang?" kata Sang Kakek.
  "Unsur-unsur yang harus hadir bisa dibatasi satu orang atau satu keluarga kek?" tanya Sang Cucu.
  "Bisa, namun untuk memilih siapa yang menjadi wakil, itu yang membingungkan," kata Sang Kakek.
  "Siapa yang paling dekat saja kek. Misalnya lima bersaudara, satu saja dari antara lima itu. Gitu saja kok repot sih?" ledek Sang Cucu.
  "Bagimu sederhana, tapi bagi kami orang tua ini berat. Seperti calon pengantin ini bilang harus segera kawin. Tidak mengerti keadaan covid-19 ini masih sulit. Masih PSBB. Aturan masih ketat. Jaga jarak masih harus djaga," kata Sang kakek.
  "Kakek harus empati dong. Calon pengantin wajar tidak sabar. Sudah membayangkan enaknya kawin, tiba-tiba virus corona mengganggu rencana mereka. Sudah pesan gedung, baju sudah siap dan rencana honeymoon sudah dirancang. Semua berantakan. Wajarlah mereka mendesak," kata Sang Cucu.
  "Keadaan yang memaksa menunda, bukan orangtuanya. Kasihan orang tuanya juga kan," kata Sang Kakek.
  "Bagaimana kalau begini saja kek. Pernikahan di gereja saja dulu dilangsungkan. Bisa sedikit orang. Pesta adatnya ditunda saja sampai Covid-19 ini reda. Bukan tidak mau pesta adat, namun karena gedung belum mendapat izin," kata Sang Cucu.
  "Bagus juga idemu ya. Kita coba diskusikan dengan orang tua dan pengantinnya ya," kata Sang kakek.
  "Oke kek. Biar pengantinnya bisa menikah, pesta adat segera dilakukan setelah keadaan memungkinkan," kata Sang Cucu.