Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa Pancasila Dimarjinalkan di Era Reformasi?

22 Juni 2020   07:27 Diperbarui: 22 Juni 2020   07:41 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenapa Pancasila Dimarjinalkan di Era Reformasi?

Tinjauan Kritis atas Tap MPR no XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap MPR no II/MPR/1978 tentang P4 dan Penetapan tentang penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara.

RUU HIP yang menuai pro kontra dan kontroversial bagaikan membuka kotak Pandora tentang Pancasila. Berbagai tanggapan yang disampaikan bagaikan halilintar di langit demikian isunya bersileweran di media sosial, media elektronik dan media cetak kita.

Ada tokoh yang berlagak sok Pancasilais menuduh bahwa RUU HIP ini akan menggantikan Pancasila. Ada organisasi yang menyatakan menolak dengan argumentasi bahwa ini membangkitkan PKI dan Marxisme. Tiba-tiba ada partai yang sok gagah berani menyatakan membela Pancasila, padahal mimpi partainya ingin mengganti Pancasila dengan khilafah dan Islam. Asyik menontonnya.

Tiba-tiba Pancasila menjadi populer dan dibicarakan secara beramai-ramai. Ada yang mengancam akan memakzulkan Jokowi apabila pembahasan RUU HIP dilanjutkan. Entah apa relasinya. Wong ini inisiatif dari DPR, yang mau dimakzulkan Jokowi. Nggak tahu apa hubungannya. Tapi pikiran kotor untuk memakzulkan Jokowi dengan menghubung-hubungkan yang tidak berhubungan dan mengait-ngaitkan yang tidak berkaitan. Konyol.

Tulisan ini ingin membahas tentang bagaimana Pancasila ditempatkan dan di mana tempatnya. Apakah Pancasila menjadi dasar negara yang berada di awang-awang dunia maya dan tidak nyata? Atau berada dalam dunia nyata dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat? Apakah Pancasila hanya sebagai konseptual strategis atau ada dalam praksis empiris, hidup dalam dunia nyata kehidupan bangsa ini?

Maka tinjauan atas Tap MPR nomor XVIII/MPR/1998 ini patut kita simak untuk menjawab pertanyaan di atas. Sidang Istimewa MPR tanggal 10-13 Nopember 1998 ini masih dipimpin oleh H. Harmoko sebagai Ketua MPR dengan wakil ketua Hari Sabarno, dr Abdul Gafur, H.Ismail Hasan Metareum, SH, Hj.Fatimah Achmad, SH dan Poedjono Pranyaoto. Artinya ini masih peninggalan rezim Orde Baru.

Lalu kenapa MPR yang masih dipimpin mantan menteri dan antek Soeharto ini harus segera mengeluarkan Tap MPR no XVIII/MPR/1998 ini untuk membatalkan Tap MPR no II/MPR/1978 tentang P4? Apakah tuduhan indoktrinasi tentang Pancasila yang dilakukan rezim Orde Baru ingin dihapus segera, sebelum beralih ke Kepemimpinan Reformasi melalui Pemilu 1999?

Pertanyaan kritis kita terhadap Tap MPR no XVIII?MPR/1988 ini yaitu, kenapa pembatalan terhadap P4 tidak diiringi dengan mengganti apa yang seharusnya menggantikannya dalam pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat? Kenapa isinya terlalu singkat dan tidak ada tindak lanjut?

Untuk jelasnya marilah kita lihat isi dari ketetapan MPR tersebut. Isinya hanya tiga pasal sebagai berikut.

Pasal 1 : Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara.

Pasal 2 : Dengan ditetapkannya Ketetapan ini, maka Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 3 : Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 13 Nopember 1998.

Nah, apa isi dan pesan ketetapan yang baru ini tentang Pancasila? Hanya yang ada di pasal 1, yaitu menyangkut dasar negara yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Bagaimana melakukannya? Tidak ada kejelasan. Tidak ada tindak lanjut.

Berbeda dengan Konsep Orde Baru yang merupakan tatanan kehidupan bernegara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Bagaimana caranya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen? Diatur melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekasetia Pancakarsa) yang diatur dengan Tap MPR nomor II/MPR/1978 tersebut.

Pancasila dan UUD 1945 jelas posisinya dalam aras konseptual strategis dan praksis empiris. Ada petunjuk pelaksanaannya dalam konsep P4 yang menjabarkan Pancasila dalam 36 butir-butir. Sampai kepada realitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Kenapa Tap MPR nomor XVIII/MPR/1998 tidak mengatur tentang konsep pengganti P4? Inilah lubang yang ditinggalkan dalam praktek ketatanegaraan kita yang menjadikan Pancasila itu termarjinalkan. Pancasila seakan ditempatkan dalam aras konseptual strategis yang mengawang-awang tanpa tempat landasan yang membumi dan nyata dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Kejadian di era reformasi, asas partai dan organisasi tidak lagi diwajibkan harus Pancasila. Di era Orde Baru ketika diberlakukan Asas Tunggal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, semula banyak mendapat perlawanan, namun akhirnya semua menerima. Sebagian terpaksa menerimanya.

Yang menantang semula adalah kalangan pemuka agama. Namun dijelaskan bahwa asas tunggal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tata kehidupan beragama diatur masing-masing agama. Dan akhirnya ketentuan itu berlaku untuk segenap bangsa Indonesia.

Partai di era reformasi partai politik dan ormas sudah mencantumkan asasnya bukan lagi Pancasila. Karena UU ormas kita sudah mengatur bahwa asas ormas adalah asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Makanya menjadi kontroversial PERPPU tentang Ormas  tahun 2017 yang disahkan menjadi UU Ormas dan membubarkan Ormas HTI.

Dari segi hukum Tata Negara, seharusnya pengaturan Pancasila dalam penataan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara harus diatur berdasarkan jenjang atau hierarkhi peraturan perundang-undangan kita. Dimulai dari Tap MPR dan bagaimana penjabaranya serta pelaksanaannya diatur dalam UU dan peraturan pelaksana lainnya.

Mungkin dalam situasi Sidang Istimewa 10-13 Nopember 1998 tersebut MPR tidak mungkin membuat konsep pengganti P4, namun bisa membuat dan membentuk Panja selama berapa tahun untuk menyusun pengganti P4 tersebut. Dan bisa ditetapkan dalam sidang MPR berikutnya.

Kalau kita ilustrasikan P4 itu ibarat makanan yang sudah biasa dimakan anak kita. Dan dia sangat suka sekali dengan makanan itu. Tiba-tiba kita larang dia memakan makanan kesukaannya tersebut, tapi kita tidak memberikan makanan pengganti. Dia lapar, lalu mencari makanan pengganti yang lain. Bisakah anak itu kita salahkan?

Seperti itulah P4. Sudah biasa dilakukan dan dianggap sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis melaksanakan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, lalu tiba-tiba dicabut. Dan kita tidak memberikan penggantinya, lalu anak bangsa ini mencari alternatif lain sebagai acuannya. Ada yang memilih ke ekstrim kanan berupa fundamentalis agama dan radikalisme agama. Ada pula yang mengambil jalan ke ekstrim kiri berupa komunisme atau marxisme. Lalu kita salahkan mereka. Apakah ini adil?

Dalam konteks tersebutlah kita sesalkan lembaga MPR dan BPIP masa kini tidak menjalankan tugas tersebut. Konsep dan naskah pengganti P4 seharusnya dilakukan oleh MPR dan BPIP. Makanya dalam tulisan kami tentang lelang yang dilakukan MPR dan DPR, kami anggap MPR dan BPIP mengerjakan semua pekerjaannya, kecuali pekerjaannya.

Kini dengan riuhnya isu RUU HIP ini patut kita mempertanyakan posisi MPR. Penyusunan ketentuan tentang Pancasila sebagai dasar negara adalah tanggung jawab MPR dan ditetapkan dengan Tap MPR, bukan  dengan UU. Disini salah kaprah DPR yang membuat RUU HIP sebagai hak inisiatifnya.

Para perancang RUU HIP seharusnya mendorong konsep ini ke MPR, karena ini bukan kewenangan dari DPR. Pancasila sebagai dasar negara tidak diatur di level UU. P4 dulu di era Orde Baru yang merupakan pedoman penghayatan dan Pengamalan Pancasila pun ditetapkan oleh MPR, bukan DPR dan pemerintah dalam bentuk UU.

Maka harapan kita kepada MPR untuk bisa mengambil alih isu RUU HIP dengan membuat studi dan konsep tentang pengganti P4 dalam hal pedoman untuk pelaksanaan Pancasila sebagai dasar negara. Bunyi pasal 1 Tap MPR no XVIII/MPR/1998 jelas sekali menyatakan bahwa Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari NKRI harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara. Bagaimana caranya? Apa pedoman pelaksanaannya? Apa nilai dan  alat ukurnya?

Janganlah kejadian pembubaran ormas 2017 terulang, karena negara ini tidak mempunyai pedoman dan alat ukur pelaksanaan Pancasila dalam aras praksis operasional bernegara. Ayo MPR, mulailah memikirkannya. Inilah tugas utama. Jangan biarkan Pancasila mengawang-awang dan termarjinalkan dari kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat kita.

Kita tidak tahu sekarang apa yang dikerjakan oleh  MPR dengan pimpinan yang banyak sekali dan anggaran yang banyak juga. Mudah-mudahan ramainya isu RUU HIP ini menyadarkan kita semua sebagai elemen bangsa ini untuk memikirkan bagaimana cara membuat Pancasila mendarat dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Semoga.

Terima kasih dan salam.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun