Berbeda dengan Konsep Orde Baru yang merupakan tatanan kehidupan bernegara yang melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Bagaimana caranya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen? Diatur melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekasetia Pancakarsa) yang diatur dengan Tap MPR nomor II/MPR/1978 tersebut.
Pancasila dan UUD 1945 jelas posisinya dalam aras konseptual strategis dan praksis empiris. Ada petunjuk pelaksanaannya dalam konsep P4 yang menjabarkan Pancasila dalam 36 butir-butir. Sampai kepada realitas kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Kenapa Tap MPR nomor XVIII/MPR/1998 tidak mengatur tentang konsep pengganti P4? Inilah lubang yang ditinggalkan dalam praktek ketatanegaraan kita yang menjadikan Pancasila itu termarjinalkan. Pancasila seakan ditempatkan dalam aras konseptual strategis yang mengawang-awang tanpa tempat landasan yang membumi dan nyata dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Kejadian di era reformasi, asas partai dan organisasi tidak lagi diwajibkan harus Pancasila. Di era Orde Baru ketika diberlakukan Asas Tunggal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, semula banyak mendapat perlawanan, namun akhirnya semua menerima. Sebagian terpaksa menerimanya.
Yang menantang semula adalah kalangan pemuka agama. Namun dijelaskan bahwa asas tunggal dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Tata kehidupan beragama diatur masing-masing agama. Dan akhirnya ketentuan itu berlaku untuk segenap bangsa Indonesia.
Partai di era reformasi partai politik dan ormas sudah mencantumkan asasnya bukan lagi Pancasila. Karena UU ormas kita sudah mengatur bahwa asas ormas adalah asas yang tidak bertentangan dengan Pancasila. Makanya menjadi kontroversial PERPPU tentang Ormas  tahun 2017 yang disahkan menjadi UU Ormas dan membubarkan Ormas HTI.
Dari segi hukum Tata Negara, seharusnya pengaturan Pancasila dalam penataan negara dan penyelenggaraan pemerintahan negara harus diatur berdasarkan jenjang atau hierarkhi peraturan perundang-undangan kita. Dimulai dari Tap MPR dan bagaimana penjabaranya serta pelaksanaannya diatur dalam UU dan peraturan pelaksana lainnya.
Mungkin dalam situasi Sidang Istimewa 10-13 Nopember 1998 tersebut MPR tidak mungkin membuat konsep pengganti P4, namun bisa membuat dan membentuk Panja selama berapa tahun untuk menyusun pengganti P4 tersebut. Dan bisa ditetapkan dalam sidang MPR berikutnya.
Kalau kita ilustrasikan P4 itu ibarat makanan yang sudah biasa dimakan anak kita. Dan dia sangat suka sekali dengan makanan itu. Tiba-tiba kita larang dia memakan makanan kesukaannya tersebut, tapi kita tidak memberikan makanan pengganti. Dia lapar, lalu mencari makanan pengganti yang lain. Bisakah anak itu kita salahkan?
Seperti itulah P4. Sudah biasa dilakukan dan dianggap sebagai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis melaksanakan Pancasila dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, lalu tiba-tiba dicabut. Dan kita tidak memberikan penggantinya, lalu anak bangsa ini mencari alternatif lain sebagai acuannya. Ada yang memilih ke ekstrim kanan berupa fundamentalis agama dan radikalisme agama. Ada pula yang mengambil jalan ke ekstrim kiri berupa komunisme atau marxisme. Lalu kita salahkan mereka. Apakah ini adil?
Dalam konteks tersebutlah kita sesalkan lembaga MPR dan BPIP masa kini tidak menjalankan tugas tersebut. Konsep dan naskah pengganti P4 seharusnya dilakukan oleh MPR dan BPIP. Makanya dalam tulisan kami tentang lelang yang dilakukan MPR dan DPR, kami anggap MPR dan BPIP mengerjakan semua pekerjaannya, kecuali pekerjaannya.