Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Penuduh Pengkhianat

10 Juni 2020   09:29 Diperbarui: 10 Juni 2020   09:21 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semangat Pagi Indonesia.

Sang Penuduh Pengkhianat.

Sang Cucu dan Sang Kakek yang sedang berjalan pagi hari. Di bawah cahaya matahari pagi dan langit cerah dan cuaca cerah, mereka menikmati kesegaran udara pagi.

   "Kek, kenapa suasana politik para pendukung kandidat Capres dulu satu kubu  ini, bising banget sih?" tanya Sang Cucu.

   "Ah, itu mah biasa, namanya juga politik," jawab Sang Kakek seenaknya.

   "Ini kan lagi masa pandemi Covid-19, bukannya berdamai saja dan membangun kerja sama melawan pandemi ini," kata Sang Cucu.

   "Dunia politik itu lebih mementingkan diri sendiri dan kepentingan golongan atau kelompoknya," kata Sang Kakek.

   "Tidak boleh begitulah, masa nggak memikirkan nasib bangsa ini sekarang," kata Sang Cucu.

   "Mari kita periksa masalahnya. Darimana mulai tuduhan pengkhianat  dan jawab menjawab ini?" tanya Sang Kakek.

   "Dimulai dari pakar pecatan yang mengundang diskusi seorang ustadz. Lalu terungkap kekecewaan karena junjungan kandidat capresnya bergabung ke koalisi pemerintah. Lalu salah seorang politisi memberikan ciutan supaya sang ustadz sabar, karena dia juga katanya semula mengira kandidat itu bagaikan singa gurun, eh ternyata...Lalu kader partai sang kandidat berang dan mengkritik balik," begitu kek, kata Sang Cucu.

   "Nah jelas kan. Para pendukung Kandidat capres yang sudah menjadi koalisi pemerintah ini yang berantem. Dulu dalam pilpres mereka bersatu. Setelah kandidat junjungannya  berkoalisi, mereka gigit jari. Untuk apa kita dukung kalau toh ikut koalisi? Begitu kekecewaan mereka. Begitu kan?" kata Sang Kakek.

   "Betul kek, lalu dibalas kader kandidat lagi, eh tif, apa yang kamu lakukan tiga periode di DPR, jangan cuitan aja kerjanya, kerjamu di komisi atau paripurna, balasnya," kata Sang Cucu.

   "Makanya sampai lebaran kuda nanti kerjaan mereka ini hanya berantem. Nanti mau pilpres mungkin damai, habis pilpres berantem lagi," kata Sang kakek.

   "Kenapa bisa begitu kek?" tanya Sang Cucu.

   "Dunia politik itu tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada kepentingan politik. Kalau kepentingan politik sama, mereka berkawan. Kalau kepentingan politik berbeda, mereka menjadi lawan politik," jelas Sang Kakek.

   "Pernyataan kandidat yang berkoalisi ini juga bilang lawan politik bukanlah musuh, tapi sebangsa dan setanah air juga. Bagaimana ini?" kata Sang Cucu.

   "Itu betul. Lawan bukan musuh. Lawan hari ini bisa menjadi kawan besok. Tergantung kepentingan politik. Dan kepentingan politik ini bisa cepat berubah mengikuti dinamika politik," jelas Sang Kakek.

   "Wah, rumit benar," kata Sang Cucu kesal.

   "Makanya jangan dipikirkan itu. Mereka fokus ke kepentingan politiknya saja. Apalagi kalau menurut lembaga survey, elektabilitasnya turun, wah bisa panik dan repot mereka," kata Sang Cucu.

   "Survey kan tidak mutlak menentukan kek," kata Sang Cucu.

   "Bagi partai politik dan kandidat, hasil survey itu penting," kata Sang Kakek.

   "Jadi kebisingan politik ini hanya menyangkut kepentingan politik, elektabilitas  dan survey tentang mereka?" tanya Sang Cucu.

   "Betul. Dengan bisik dan bising seakan mereka terkenal dan kerja. Padahal cari sensasi politik saja. Supaya popular dan masuk media. Dan lembaga survey juga yang disurvey hanya elektabilitas. Mana ada lembaga survey yang membuat survey tentang penanganan pandemi Covid-19. Bagaimana partisipasi parpol dalam menangani pandemi Covid-19, atau bagaimana partisipasi anggota DPRD dalam menangani pandemi Covid-19 ini?" kata Sang Kakek seakan menggugat.

   "Anggota DPRD banyak yang melawan petugas PSBB di daerah kek. Tidak mau diperiksa, tidak mau diarahkan dan tidak mau memakai masker. Ini ada anggota DPRD Pasaman Sumbar melawan petugas. Di daerah lain juga banyak anggota DPRD melawan kalau diminta memakai masker dan diperiksa," kata Sang Cucu.

   "Jadi biarkanlah mereka saling menuduh pengkhianat dan berbalas-balasan cuitan dan pernyataan di media. Itu hanya kepentingan mereka. Seharusnya mereka yang menikmati honor dan fasilitas negara, berpikir dan bertindak untuk kepentingan negara dan rakyatnya. Yang terjadi, mereka berdebat kepentingannya dan tak ada manfaatnya bagi masyarakat yang sedang meradang menghadapi pandemi corona ini," kata Sang Kakek.

   "Okelah kek. Siapa pengkhianat, siapa yang dikhianati, dan apa yang dikhianati, urusan mereka saja itu. Kita pikirkan saja bagaimana membantu masyarakat yang sedang terkapar karena terpapar virus corona ini ya, seperti cerita pak RT yang membagikan sayur gratis ya," kata Sang Cucu.

   "Itu lebih baik. Ketua RT berbagi sayur gratis kepada warganya yang terpapar virus Corona jauh lebih baik dari anggota DPR yang berantam dengan sesama anggota DPR tentang tuduhan pengkhianat," kata Sang Kakek.

   "Setuju!" kata Sang Cucu.

Tuduhan pengkhianat, rebut cuitan, berbalas sindiran sesama anggota DPR membuat kebisingan. Taka da gunanya untuk rakyat, padahal mereka menikmati fasilitas negara, bukan mementingkan kepentingan rakyat dan negara, gumam Sang Kakek.

Terima kasih dan salam hangat.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun