Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sang Cucu Protes Peraturan Larangan Gawai

28 Mei 2020   22:32 Diperbarui: 30 Mei 2020   13:12 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sang Kakek kebingungan pagi ini. Kopinya tidak diantarkan oleh cucunya. Sudah kesiangan minum kopi, acara baca Koran menjadi  terganggu.

Kakek pergi ke dapur menanyakan ke pembantu, kenapa kopinya tidak diantar cucu. Pembantu memberikan secarik kertas terlipat dari Sang Cucu. Si kakek menerima dan membuka lipatan kertas serta membaca pesan Sang Cucu.

"Selamat pagi kek. Saya tidak bisa mengantar kopi kakek pagi ini. Saya dengan adik saya yang dua lagi sedang protes Peraturan Rumah Tangga nomor 1 tahun 2020 tentang Larangan Penggunaan Gawai pada Hari Senin-Jumat. Kami akan mogok makan dan tidak keluar kamar, sampai peraturan itu dicabut.

Tadi malam gawai kami sudah disita mama, tanpa ada surat penyitaan. Saya juga melarang mbak untuk mengantar kopi kakek pagi ini. Biar kakek tahu bahwa kami mogok makan dan tahu permasalahannya. Demikian pemeberitahuannya kek. Salam dari cucu." Begitulah isi pesan dari cucunya.

Sang Kakek gusar dan menuju kamar cucunya di lantai dua. Diketoknya kamar itu, tidak ada yang menyahut.

"Halo cucu, tolong buka pintunya, kakek mau bicara. Kakek sudah membaca pesannya," kata kakek sambil mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Berulangkali diketoknya, tidak ada jawaban. Tiba-tiba dari bawah pintu muncul kertas. Kakek mengambil dan membacanya.

"Kami tidak hanya mogok makan, tapi juga mogok bicara, sampai peraturan gawai dicabut," demikian pesannya.

Wah gawat ini, pikir kakek. Kalau ini dibiarkan, tiga cucunya mogok makan dan mogok bicara. Kalau sampai mereka lemas dan sakit, sementara mereka tidak mau membuka pintu kamarnya, bisa jadi malapetaka ini.

Kakek mengambil alat tulis dan menuliskan pesan dan memasukkan ke bawah pintu. Kakek berjanji akan membicarakan dengan ayah dan ibu mereka, asal mereka memberikan kesempatan kepada kakek untuk masuk kamar sebentar saja.

Tiba-tiba pintu dibuka sedikit. Kakek melihat Sang cucu, tapi rantai pelindung pintu tidak dibuka. Jadi hanya sedikit pintu terbuka.

"Bukalah, biar kakek bisa masuk dan berbicara," pinta kakek.

"Tidak bisa kek. Kami bertiga sudah sepakat, tidak boleh ada yang masuk sampai peraturan dicabut," jawab cucu.

"Kakek berjanji akan membicarakannya dengan ayah dan ibumu," pinta kakek lagi.

"Kakek bicarakan saja dengan ayah dan ibu. Kalau dicabut, kami keluar. Kalau tidak dicabut, kami akan mogok makan terus sampai peraturan dicabut," jawab cucu.

"Jangan begitulah, semua bisa kita bicarakan dan mencari jalan keluarnya," kata kakek.

"Jalan keluarnya hanya satu. Cabut peraturan itu, mohon mengerti kek," jawab cucu.

"Kenapa begitu keras sikap kalian soal peraturan itu?" tanya kakek.

"Ini pelanggaran hak asasi anak kek. Ini menyangkut hajat hidup anak yang sudah bosan di rumah. Bagaimana kami mau tinggal dan hidup di rumah tanpa gawai? Ada saja gawai kami bisa bosan, apalagi dilarang penggunaan gawai hari Senin sampai Jumat. Bagaimana kami menjalani hidup?" kata cucu.

"Ya, kakek mengertilah. Tapi maksud ibumu mungkin demi kebaikan kalian. Jangan terlalu banyak main dengan gawaimu," jelas kakek.

"Ini tidak adil kek. Kenapa kami dilarang lama-lama main gawai? Sementara ayah dan mama bermain gawai juga sampai larut malam?" gugat cucu.

"Mereka kan kerja dari rumah menggunakan gawai, jadi itu bagian dari pekerjaan mereka," kata kakek.

"Kami juga kek, bermain gawai itu sekarang menjadi pekerjaan kami setelah sekolah dari rumah. Pakai gawai juga," bela cucu.

"Tapi sekarang kalian sudah libur kan, jadi menggunakan gawai bisa dibatasi," jelas kakek.

"Membatasi berbeda dengan melarang Senin-Jumat kek. Kalau hanya Sabtu-Minggu saja, waktu kami sekolah aturannya begitu juga. Setelah sekolah dari rumah kan bisa menggunakannya Senin-Jumat, kenapa sekarang tidak boleh? Ini membunuh kek," kata cucu.

"Jangan pakai kata membunuh dong," kata kakek.

"Tanpa gawai apa kegiatan kami kek? Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada kakek, kalau kakek sayang sama cucu, tolong perjuangkan pembatalan peraturan larangan penggunaan gawai itu. Sekian dulu ya kek, selamat pagi," kata cucu dan menutup pintu kembali.

Kakek turun dari lantai dua dan mencari anak dan menantunya. Rupanya mereka sedang pergi belanja ke pasar. Kakek duduk di teras rumah sambil menunggu anak dan menantunya pulang dari pasar belanja. Begitu mereka datang, kakek meminta mereka bertiga harus bicara. Setelah dibereskan belanjaan dan mereka mandi, mereka berdiskusi di ruang tamu.

Kakek menunjukkan kertas pesan cucu dan menjelaskan dialog mereka tadi ke anak dan menantunya.

"Mereka sudah keterlaluan pak. Tidak ada pagi, siang, malam, mereka terus memakai gawai. Sudah dilarang, melawan. Peraturan ini perlu untuk mengurangi penggunaan gawai," kata menantunya.

"Saya bisa memahami itu. Hanya kalau melarang sepanjang Senin-Jumat seperti mereka sekolah dulu juga kurang bijak. Lalu apa kegiatan mereka di rumah? Mereka bosan juga," kata kakek.

"Terus kalau peraturannya tidak dicabut, bagaimana pak?" tanya anaknya menimpali.

"Mereka akan mogok makan dan mogok bicara," jawab kakek.

"Lalu apa saran bapak untuk mengatasi ini?" tanya anaknya.

"Usul saya, dicabutlah peraturan itu, lalu kita sepakati dengan cucu jadwal penggunaan gawai setiap hari dengan syarat. Apa syaratnya? Kita suruh belajar dan membaca dulu, kalau sudah selesai tugas diberikan waktu menggunakan gawai. Mungkin ini juga kesempatan kita mengajar mereka untuk belajar dan membaca buku," kata kakek.

Mereka bertiga sepakat, jadwal penggunaan gawai diatur dan disesuaikan, namun dengan syarat dan ketentuan berlaku. Lalu mereka bertiga naik ke lantai dua dan mengetuk pintu. Sang kakek menjadi juru bicara.

"Halo cucu, kami bertiga dengan ayah dan ibumu berdiri disini, tolong pintu dibuka," kata kakek. Pintu terbuka sedikit. Sang Cucu melihat dari balik pintu itu.

"Ya kami sudah bicara dengan kakek, peraturan dicabut, tapi kita akan membuat kesepakatan baru penggunaan gawai setiap hari dan ada syaratnya. Harus membaca buku dan buku renungan harian," kata sang ayah.

"Betul begitu kek?" tanya sang cucu meminta penegasan dari kakek.

"Ya, betul. Nanti kita sepakati jadwal penggunaan gawai dengan syarat dan ketentuannya," kata kakek.

"Oke, terima kasih kek. Mogok makan dan mogok bicara kita akhiri," kata cucu lalu membuka pintu.

Ketiga cucu memeluk kakeknya yang telah berhasil menjadi juru runding pencabutan Peraturan Rumah Tangga nomor 1 tahun 2020 tentang Larangan Penggunaan Gawai Senin-Jumat. Ayah dan mamanya hanya menjadi penonton. Sebuah pemandangan yang unik. Kenapa cucu lebih dekat ke kakeknya daripada ayah dan ibunya?

Oh gawai, kau telah menguasai hajat hidup cucu, yang tak mau lepas dan lekang darimu. Anak zaman now dengan gawainya, seakan seperti pasangan yang tak terpisahkan, gumam kakek.

Sekian dulu. Terima kasih, salam dan doa.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun