Mohon tunggu...
Aldentua S Ringo
Aldentua S Ringo Mohon Tunggu... Pengacara - Pembelajar Kehidupan

Penggiat baca tulis dan sosial. Penulis buku Pencerahan Tanpa Kegerahan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Mister Ogah New Normal

28 Mei 2020   08:07 Diperbarui: 28 Mei 2020   08:01 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis jalan pagi, Sang Kakek dan Sang Cucu berjemur di belakang rumah. Santai dengan santapan sarapan pagi yang menyenangkan.

   "Waduh, bagaimana ini kek. Sudah kumat lagi penyakitnya mister dukun politik ini. Rasanya baru kemarin sembuh menyampaikan jangan turunkan Jokowi. Kini sudah ngoceh baru lagi," kata cucu.

   "Ngoceh apa lagi?" tanya kakek.

   "Topik baru kek, tentang new normal," jawab cucu.

   "Kenapa new normal?" tanya kakek.

   "Beliau bilang jangan pakai new normal. Itu pengalihan. Bagaimana new normal banyak pengangguran? Itu kebablasan. Jangan mau ikut-ikutan menggunakan ini. Beliau sangat marah nih," kata cucu.

   "Ya sudahlah biarin saja. Marah, ya marah. Kalau nggak marah dia nanti sakit, kan kasihan kalau dia sakit," kata kakek.

   "Memang bisa sakit kalau tidak marah?"  tanya cucu.

   "Ada orang, kalau tidak marah dia sakit darah rendah. Jadi dia harus marah supaya darahnya mendidih dan naik, sehingga terbebaslah dia dari darah rendah," kata kakek.

   "Bagaimana bisa seperti itu?" tanya cucu.

   "Orang yang kena darah rendah gejalanya kan pusing, gelisah dan resah. Begitu dia marah, maka kegelisahan dan keresahannya tersalurkan, darah naik, hati senang, ya jadi normal," kata kakek.

   "Lho, ini kan bicara new normal, kok bisa normal dia kalau marah?" tanya cucu lagi.

   "Mungkin juga itu masalahnya. Pemerintah mengkampanyekan new normal. Padahal dia menginginkan old normal. Normal lama sudah baik, kok diciptakan istilah normal baru. Apa-apaan nih pemerintah, sukanya yang baru, padahal normal lama masih bagus," kata kakek.

   "Saya senang mendengar penjelasan kakek ini. Saya jadi paham. Berarti para kakek kurang suka dengan new normal karena masih suka dengan old normal ya. Pantasan marah-marah dia," kata cucu.

   "Ya begitulah. Kalau masih ada yang lama, gunakanlah dengan baik, nggak usah yang baru," kata kakek lagi.

   "Ini memang hal baru kek. Virus corona ini belum bisa kita usir dari negeri ini. Padahal ekonomi harus digerakkan. Harus produktif secara ekonomi, tapi harus dijaga jangan sampai kena virus corona. Jadi produktif tapi tetap sehat. Bagaimana caranya? Dibuatlah ketentuan new normal oleh Kementerian Kesehatan. Boleh bekerja tapi harus menggunakan protokol kesehatan. Memakai masker dan sarung tangan, menjaga jarak, cuci tangan. Itu maksudnya new normal, bukan yang lain," kata cucu menjelaskan.

   "Itu kan cara berpikir pemerintah. Cara berpikir beliau, pengangguran bertambah, ekonomi anjlok, negara susah, kok disebut new normal. Ini pengelabuan secara politik, begitu pola berpikir politik para politisi gaek yang lagi gelisah dan darah rendah," kata kakek menjelaskan.

   "Ini masalahnya. New normal yang dibicarakan menyangkut protokol kesehatan untuk bekerja secara normal dengan alasan ekonomi. Bukan masalah politik. Ini masalah kesehatan dan ekonomi," kata cucu.

   "Apapun yang kalian bicarakan, apa itu masalah protokol kesehatan, masalah produktivitas secara ekonomi, bagi politisi mata kuda, itu tetap menjadi masalah politik," kata kakek.

   "Makanya, kalau masalah kesehatan, masalah ekonomi, jangan dipandang secara politik," kata cucu.

   "Itukan menurut kacamata pemerintah. Menurut kaca mata politik buram karena faktor umur, semua itu hanya pengalihan dan politik kebablasan. Pengangguran tinggi, ngomongnya new normal, edan itu, begitu pola pikir dia dan yang terlihat dalam kaca mata politiknya," kata kakek.

   "Makanya perlu ganti kaca mata politik dengan kaca mata ekonomi. Justeru ini dilakukan pemerintah supaya industri bisa berjalan dan pengangguran bisa dikurangi," kata cucu lagi.

   "Itu menurut pemerintah. Menurut kalkulasi politik  orang yang sedang mempersiapkan parpol baru, itu sesuatu yang kurang baik. Maunya pengangguran meningkat terus, ekonomi ambruk, jumlah hutang negara bertambah terus, lalu negara akan chaos, lalu rusuh, ada kesempatan memimpin demo lagi seperti tahun 1998 yang lalu," kata kakek.

   "Untuk apa berharap rusuh lagi? Apakah tidak rugi negara ini harus rusuh padahal negara sudah susah," kata cucu.

   "Kalau rusuh kan ada kesempatan demo dan membuat reformasi jilid dua dan mendirikan parpol jilid dua, lalu menjadi ketua MPR jilid dua lagi," kata kakek.

   "Ah bosan soal jilid melulu. Dulu demo berjilid-jilid, sekarang jilid dua. Nggak ada lagi yang bisa dipikirkan selain jilid?" tanya cucu.

   "Kamu itu tidak ada simpati dan empati ya. Orang yang dipecat dari parpol yang didirikannya itu sangat mengerikan. Ibarat kita membangun sebuah kampung, lalu kita mengajak orang lain dan besan kita tinggal di kampung itu. Eh, ternyata kemudian kita diusir dari kampung yang kita dirikan itu. Yang mengusir besan yang kita ajak tinggal di kampung itu lagi. Sakit sekali. Bukan hanya sakit, malu sekali. Masa kalian tak mau mengerti perasaan orang sih?" kata kakek.

   "Oh, begitu ya kek. Berarti penolakan dan ogah new normal ini menyangkut suasana hati dari orang yang seperti tergusur dari kampung yang didirikannya ya kek?" cucu balik bertanya.

   "Makanya kalian itu maulah paham sedikit perasaan orang. Masa penolakan istilah new normal kalian persoalkan. Kalau dia tidak ribut dengan hal seperti ini, namanya tenggelam, apa nggak kalian pikirkan itu?" kata kakek.

  "Namanya memang kapal yang bisa tenggelam kek?" tanya cucu nakal.

   "Kalian memang orang yang kurang hormat sama orang tua ya. Mendirikan partai baru itu perlu ongkos besar. Kalau tidak ada toke, berarti biaya harus urunan. Siapa tokoh kunci yang layak dipercaya supaya orang mau urunan? Harus orang terkenal dan layak dipercaya. Kalau nama sudah tenggelam, bagaimana meminta orang untuk urunan membangun parpol baru?" kata kakek.

   "Susah deh, kalau sudah begini. Kita bicara new normal untuk menghidupkan ekonomi, eh malah ditarik ke masalah politik. Rusak negara kita kalau begini terus. Bukan kepentingan negara yang didahulukan, selalu kepentingan politik masing-masing. Membangun parpol baru, urunan biaya, padahal urunan untuk melawan pandemi tidak mau. Membangun solidaritas dengan korban pandemi tidak mau. Kapan berhenti keributan ini, kalau semua mementingkan diri sendiri atau golongannya?" kata cucu seakan menggugat.

   "Makanya, kalau mau aman, jangan dipikirkan apa yang diributin, pemerintah jalan saja terus dengan new normal itu. Biarkan orang ini cuap-cuap dan ribut, sehingga terus muncul di media dan namanya tidak tenggelam. Pemerintah berlayar saja terus dengan kapal layar new normal," kata kakek.

   "Begitu ya kek. Jadi biarlah beliau ini kita sebut Mister Ogah New Normal ya," kata cucu.

   "Terserah. Mau kau sebut apa, terserah. Mau new normal terserah, mau old normal terserah," kata kakek.

   "Kok semua terserah? Seperti Indonesia terserah aja?" kata cucu.

   "Begitulah, terserah, suka-suka kalian saja. Mau kebablasan, mau rusuh, mau ngutang, mau menganggur, mau PHK, terserah," kata kakek.

   "Hati-hati kek, jangan sampai nanti kakek kena darah rendah seperti beliau itu. Harus marah-marah baru bisa normal darahnya. Kalau nggak marah nggak normal darahnya," kata cucu.

   "Terserah padamu, kemana kita pergi, bilang dulu, sama ibu.

     Bagaimana kalau kita ke Bina Ria, banyak pengunjungnya melantai disana.........," tiba-tiba kakek bernyanyi.

   "Nyanyian apa itu kek?" Tanya cucu.

   "Nyanyian para kakek dulu ketika masa terkenalnya Bina Ria dan Taman Ria, mungkin itu bisa kita nyanyikan untuk menghibur Mister Ogah New Normal. Mungkin masih ingat dia lagu itu," kata kakek.

   "Kakek, kakek, ujungnya nyanyi saja. Selalu ada nyanyiannya untuk segala situasi," kata cucu.

New normal, kebablasan, rusuh, ah, sudahlah, gitu aja kok repot, gumam kakek. 

Sekian dulu. Terima kasih. Salam dan doa.

Aldentua Siringoringo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun