Sang Covid-19 berubah seakan nyata mendatang Sang Cucu lagi. Sang Cucu sebenarnya kesal dalam pertemuan pertama. Dia merasakan kesombongan Sang Covid-19 yang membeberkan dan seakan menelanjangi semua sifat manusia yang sedang dihinggapinya. Namun Sang Cucu tetap tenang dan ingin mendengar apalagi yang akan dibeberkan oleh Sang Covid-19. Dia sebenarnya sedang asyik menonton TV yang menyiarkan tentang membludaknya manusia di pasar Tanah Abang dan berbagai pasar lainnya serta padatnya bandara dengan penumpang yang berdesak-desakan.
  "Selamat pagi Sang Cucu, apa kabarmu?" sapa Sang Covid-19.
  "Baik-baik saja, apalagi yang mau kau sampaikan?" tanya Sang Cucu.
  "Sebenarnya banyak hal yang ingin aku sampaikan, namun aku fokus beberapa hal saja," kata Sang Covid-19 sok serius.
  "Silahkan bicara. Waktu dan tempat aku sediakan," jawab Sang Cucu seakan lebih fokus lagi.
  "Aku sebenarnya sangat hormat sama kamu dan seisi rumahmu. Aku tidak bisa memasuki rumah kalian yang bagaikan dikelilingi tembok pertahanan  yang tak bisa kutembus. Aku menaruh hormat ya," kata Sang Covid-19.
  "Terima kasih pujiannya. Maaf tidak ada uang kecil. Uang besarpun sudah habis. Itu juga gara-gara kau," kata Sang Cucu agak datar.
  "Ada pesan yang mau aku sampaikan melalui kamu Sang Cucu. Aku mungkin masih lama tinggal di negerimu ini," kata Sang Covid-19.
  "Apalagi alasanmu untuk tinggal lama di sini?" tanya Sang Cucu.
  "Aku sudah mengatakan bahwa aku pergi atau tidak, lama atau sebentar tinggal disini,  sangat tergantung sikap kalian semua. Nah sekarang pasar ramai sekali, bandara membludak, pasar Tanah Abang, mal dan berbagai tempat sudah ramai. Kalian mulai anggap enteng, aku tersinggung," kata Sang Covid-19.
  "Emangnya hanya kau yang tersinggung? Kami juga semua tersinggung kamu buat. Kamu sumber masalah dan sumber penderitaan kami," jawab Sang Cucu ketus.