Sang kakek tampak termenung sambil membaca isi WA grup (WAG) yang datang bergelombang di sebuah grup dengan para seniman. Tak terlukisan kepiluan hatinya membacanya. Tiba-tiba cucunya datang membawa kopi tanpa gulanya.
  "Ada berita bencana apa kek? Gempa dan tsunami? Kok sendu wajahnya. Sedih amat?" tanya cucu.
  "Ini melebihi kesedihan akibat gempa tsunami," jawab kakek.
  "Apa gerangan yang terjadi kok melebihi kesedihan korban gempa tsunami?" tanya cucu lagi.
  "Kalau korban gempa tsunami, banyak yang langsung mati. Ada yang masih sakit pasti dirawat. Yang tidak punya rumah akan disediakan pengungsian. Dan bahkan ada rumahnya dibangun pemerintah dan biaya hidupnya diberikan. Kalau mereka ini hampir tak  ada yang menganggap dan membantunya," jelas kakek.
  "Siapa kek?" tanya cucu penasaran.
  "Para teman kakek, seniman yang sudah parah keadaannya. Terkapar," jawab kakek.
  "Seberapa parah keadaannya kek?" tanya cucu.
  "Mulai dari mulai terancam sampai yang sudah gawat darurat, dan bahkan ada yang nafas sudah di leher," jawab kakek.
  "Seperti apa itu keadaannya kek?" kejar cucu lagi.
  "Ini lihat WAG dengan para seniman ini," kata kakek sambil menyodorkan HP nya ke cucunya. Si cucu membaca dengan baik.
WA Seniman 1 " Bang, saya sudah diteror perusahaan Leasing nih, mobil bakal ditarik. Tak ada relaksasi seperti anjuran pemerintah. Mohon saran dan bantuan."
WA Seniman 2 : "Bang, mobilku sudah ditarik perusahaan Leasing. Aku tak berdaya menghadapinya, pasrah."
WA Seniman 3 : "Bung, kami sudah mau diusir dari kontrakan. Sudah tiga bulan nunggak. Bantu dong."
WA Seniman 4 : "Bang, kapan ini akan berakhir? Sudah hampir habis persediaan di rumah. Kasbon dong."
WA Seniman 5 : "Bang, hari ini kami tak makan lagi. Tukang warung tak mau memberi utangan lagi."
WA Seniman 6 : "Dik, kami sudah dua hari tak makan, jika tiba-tiba dengar berita, siap-siap ya."
Dan masih ada beberapa yang sejenis gawatnya. Sang cucupun terdiam juga. HP kakek dikembalikannya.
  "Sedih juga ya kek, dan tingkat kesedihan mereka juga bertingkat ya kek. Mulai dari masalah mobil sampai masalah kontrakan dan perut," kata cucu.
  "Itulah nasib para seniman kita, berjalan dalam lorong sunyi, seakan tak berujung. Tak  ada yang memperhatikan, tak ada bantuan hukum ketika bermasalah, tak ada koperasi untuk kehidupan ekonominya. Serba tak ada. Dan kini mereka terkapar akibat Covid-19, tak ada yang bertanggung jawab. Ketika mereka di panggung menghibur, tepuk tangan membahana dan mendapat sorak sorai para penonton. Dan penonton minta berfoto, wah terkenal, selebritis. Namun kini ketika mereka terkapar, tak ada tepuk tangan, tak ada yang turun tangan. Hampa dalam nestapa. Sedih dan ini teriakan "SOS" dan "Mayday". Gawat darurat. Namun pertolongan belum kunjung datang," kata kakek dengan sedih.
  "Ini kan teman-teman kakek?" kata cucu.
  "Ya. Setiap kakek dan teman-teman membuat kegiatan seni untuk amal, para seniman ini mau membantu walau tak ada honornya, sekedar ongkos taksi saja mereka mau berpartisipasi. Mulia sikap mereka. Mau memberikan talentanya untuk kegiatan amal. Namun kini mereka butuh amal," kata kakek.
  "Kalau saya menjadi kakek, saya tidak mau larut dalam kesedihan mereka," kata cucu mantap.
  "Maksudmu apa?" tanya kakek.
  "Kesedihan, meratap, menangis dan melamun tidak pernah bisa menyelesaikan persoalan," kata cucu.
  "Lalu harus bagaimana dengan keadaan begini?" tanya kakek.
  "Harus bertindak kek. Berbuat sesuatu untuk memberikan jalan keluar. Saya ada usul. Bagaimana kalau kakek mengubungi teman-teman kakek untuk berdiskusi di Zoom, lalu kakek menjelaskan penderitaan teman-teman kakek seniman ini. Lalu minta mereka membantu seikhlasnya, seberapapun. Kalau banyak yang menyumbang, walau  masing-masing memberikan sedikit bisa jadi banyak. Seperti kata pepatah, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit," kata cucu.
  "Idemu memang selalu brilian. Bisa juga dipertimbangkan ya. Coba kita persiapkan dulu ya. Saya akan menghubungi teman-teman kakek dulu," kata kakek sambil mengambil HP dan menulis dan mengirimkan ke beberapa teman dan WAG yang lain.
Tidak berselang lama, jawaban dari WA berdatangan, banyak yang mendukung ide itu. Segera dilakukan persiapan untuk Zoom meeting. Ditunjuk host dan adminnya.
  "Banyak yang mendukung. Hari Sabtu, 16 Mei 2020  jam 10.00-12.00 akan kita adakan Webinar dengan tema "Peduli dan Berbagi", solidaritas untuk para seniman yang terkapar akibat Covid-19," kata kakek.
  "Nah begitu dong kakek ganteng. Jangan sedih lagi ya. Ayo semangat kek. Selagi kakek bisa biarpun sudah tua, lakukan saja kek. Ini baru kakek yang top," kata cucu sambil mengangkat jempolnya dua.
  "Siapa dulu cucunya? Idenyakan dari cucunya," puji kakek.
  "Ini namanya kerjasama yang baik antara kakek dan cucu. Ide dari cucu, eksekusi di tangan kakek," kata cucu.
Oh, betapa indahnya peduli dan berbagi, betapa bahagianya bisa menolong dan memberi, para sahabat seniman dan orang lain yang terkapar akibat pandemi. Ide cucuku untuk Webinar zoom sungguh menginspirasi, gumam kakek membatin. Â Selamat untuk webinar zoom. Sekian dulu.
Terima kasih. Salam dan doa.
Aldentua Siringoringo.
Note : Tulisan ini didekasikan kepada seluruh partisipan Webinar zoom, Diskusi Santai  Kakek dan Cucu, Sabtu, 16 Mei 2020 pkl 10.00-12.00 WIB dengan tema, "Peduli dan Berbagi", penjualan buku Pencerahan tanpa Kegerahan dan seluruh hasilnya akan disumbangkan untuk para Seniman yang terkapar akibat Pandemi Covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H