Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lembar Terakhir

7 Januari 2025   15:08 Diperbarui: 7 Januari 2025   15:08 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hayan duduk di teras rumah Laila, memainkan ponselnya sambil menunggu pesan dari Laila. Sudah tiga hari terakhir ia mengirimkan pesan-pesan singkat, tetapi tidak satu pun yang dibalas. Akhirnya ke rumah Laila tapi kata Ibunya Laila sedang keluar, Hayan memilih menunggu diteras sendirian.  Ia menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa cemas yang semakin menumpuk atas cueknya Laila.

"Apa yang salah? Kenapa dia berubah begini?" gumamnya pada diri sendiri.

Saat itu, suara sepeda motor terdengar mendekat. Hayan segera berdiri, Laila akhirnya datang. Benar saja, Laila turun dari motor dengan wajah datar tanpa senyuman yang biasa ia tunjukkan.

"Laila,  Aku sudah menunggu dari tadi," ujar Hayan dengan nada penuh harap.

"Ada apa?" jawab Laila singkat sambil melepas helm.

Hayan tertegun. Sikap dingin itu kembali menusuk hatinya. Ia mencoba tersenyum. "Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku merasa kita jarang bicara akhir-akhir ini."

Laila menghela napas panjang. "Hayan, aku sibuk. Banyak yang harus aku urus. Aku nggak punya waktu untuk hal-hal yang nggak penting."

"Hal-hal yang nggak penting?" Hayan merasa jantungnya seolah berhenti berdetak. "Laila, aku... aku nggak ngerti. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Laila menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya. "Nggak ada yang salah, Hayan. Aku cuma butuh ruang."

"Ruang? Kita sudah bersama selama dua tahun, Laila. Aku selalu ada untukmu, mendukungmu, mencintaimu. Apa itu nggak cukup?" suara Hayan bergetar, mencoba menahan emosi.

"Cukup atau nggak, itu bukan masalahnya," jawab Laila dingin. "Aku hanya merasa... mungkin ini saatnya aku fokus pada diriku sendiri. Kita nggak perlu membicarakan ini lagi."

Hayan menatapnya dengan mata penuh luka. Ia ingin bertanya lebih banyak, tetapi Laila sudah berjalan masuk ke dalam rumah menutup pintu tanpa memberinya kesempatan. Hayan sangat terpukul, dirinya seakan sudah tidak ada lagi harganya di mata Laila. 

***

Hari-hari berlalu dengan semakin dinginnya sikap Laila. Hayan mencoba untuk terus memperbaiki hubungan, mengalah meminta maaf walau dirinya merasa tidak pernah berbuat salah. Namun, pesan-pesan dari Hayan hanya dibalas singkat, kadang malah diabaikan. Saat mereka bertemu, suasana selalu tegang. Laila sering marah tanpa alasan yang jelas, membuat Hayan merasa seolah-olah ia menjadi beban yang tak diinginkan.

Namun, Hayan tidak menyerah. Ia tetap menunjukkan perhatian dan kasih sayang. Setiap pagi, ia mengirim pesan selamat pagi. Ia membawakan makanan favorit Laila ke rumahnya meskipun kadang hanya dibiarkan begitu saja di meja. 

Suatu sore,  Ia menunggu di depan rumah Laila sampai wanita itu pulang. Ketika Laila turun dari motor, wajahnya langsung menunjukkan ketidaknyamanan.

"Hayan, apa lagi?" tanya Laila dengan nada datar.

"Aku nggak akan pergi sampai kamu mau bicara jujur padaku," kata Hayan tegas. "Aku nggak bisa terus seperti ini, Laila. Aku butuh tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Laila menghela napas panjang, tampak enggan. "Kita udah bicara soal ini. Aku cuma butuh waktu sendiri. Apa itu terlalu sulit dimengerti?"

"Ini lebih dari sekadar butuh waktu sendiri, Laila. Kau menghindariku, menjauh dariku. Kau bahkan bertingkah seperti aku nggak ada artinya buatmu," suara Hayan mulai bergetar. "Jika ada yang salah, katakan padaku. Aku siap memperbaikinya, apa pun itu."

Laila menatapnya dengan mata yang tampak lelah. "Kenapa kamu nggak bisa menerima kenyataan, Hayan? Kadang, cinta saja nggak cukup. Kadang, kita harus berhenti dan memilih jalan kita sendiri."

"Jadi ? Apa aku membuatmu merasa seperti itu?" tanya Hayan dengan nada putus asa.

"Nggak, ini tentang aku. Aku butuh ruang untuk menjadi diriku sendiri tanpa merasa terikat oleh hubungan ini," jawab Laila dengan nada yang lebih tegas. "Aku nggak bisa terus begini."

Hayan terdiam. Kata-kata Laila seperti duri yang menancap dalam di hatinya. Ia mencoba memahami, tetapi rasa sakit itu terlalu besar untuk diabaikan.

"Aku mencintaimu, Laila. Aku ingin kau tahu itu. Tapi kalau kau benar-benar ingin aku pergi, aku akan melakukannya," ujar Hayan akhirnya. "Aku hanya ingin kau bahagia, meskipun itu berarti tanpa aku di sisimu."

Laila tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menghindari tatapan Hayan. Hayan menghela napas panjang, lalu berbalik pergi. Langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa sebagian dari hatinya yang hancur.

***

Malam itu, Laila duduk sendirian di kamarnya. Ia menatap ponselnya, membaca pesan-pesan yang dikirimkan Hayan selama ini. Air matanya perlahan mengalir. Ia tahu bahwa Hayan adalah pria yang luar biasa baik selalu menjaganya dan tak pernah aneh-aneh, seseorang yang selalu mencintainya tanpa syarat. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. 

Semua berawal dari pesan dari mantannya waktu SMA. Mantan yang menjadi First experience nya. Mantan yang dia sendiri tak bisa move on walau sudah dua tahun bersama Hayan. Namanya Leon. 

Setelah berpisah lebih dari dua tahun dengan Leon menghubunginya. Kebetulan Leon pulang karena dia kuliah di luar kota. kata Kangen dari Leon membius Laila. Laila tak bisa menolak karena dia pun kangen. Laila melupakan permasalahan yang pernah terjadi yang membuat mereka putus. Mereka bertemu, makan bersama di cafe yang dulu sering mereka kunjungi, menonton film di XXI, dan berkeliling kota mengenang masa lalu mereka. Kehangatan Leon membuat dejavu. Laila senyum-senyum sendiri. Menatap wajah Leon yang semakin tampan. Di atas motor tanpa sadar Laila memeluk Leon  erat ntuk melepas kerinduannya selama ini. Leon tersenyum kecil menggegam jemari Laila dan meremasnya lembut. 

Kehadiran Leon membuat Laila lupa akan Hayan. 

***

Di sisi lain, Hayan berjalan di bawah langit malam, mencoba menerima kenyataan yang baru. Ia tahu bahwa cinta sejati tidak selalu berakhir bahagia. Terkadang, cinta adalah tentang melepaskan, meskipun itu adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan. Dia menulis pesan terakhir untuk Laila. 

"Waktu berlalu dan segalanya telah berubah", begitu katamu menjawab tanyaku. Di cerita kita yang sebenarnya sudah lama engkau sudahi. 

Aku saja yang tak siap dan terus bertanya. Terus mengetuk-ngetuk hatimu. 

Lewat diammu, kutangkap signal dihatimu. Bahwa engkau sudah sangat siap untuk kehilangan aku. 

Terimakasih atas segalan kenangannya, Laila. Selamat tinggal. Semoga engkau menemukan bahagia yang kau cari, yang tak kau dapatkan dariku. 

Hayan.

 

SELESAI

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun