Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

[LOMBAPK] Leman

1 Juni 2016   15:50 Diperbarui: 2 Juni 2016   04:42 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Leman sedang membersihkan pelana kuda milik ayahnya di sungai Batang Sariak. Dia terkejut ketika dentuman keras terdengar dari arah gunung Merapi. Gunung yang tadi bersih kini terlihat berkepundan, hitam semakin tinggi.

" Gunung Merapi meletus!" Teriak Sutan Mantari dari sawahnya. Kepundan hitam itu seperti bergerak ke arah mereka. Tak lama tercium bau belerang dan debu mulai terasa menutupi langit nagari Batu Palano.

Orang-orang disawah segera pergi meninggalkan sawahnya pulang ke rumah bergegas untuk menyelamatkan anak istri mereka. Leman memacu kudanya dijalanan kampung sambil berteriak-teriak "Gunung Marapi Meletus! Gunung Merapi Meletus! ".

Warga yang mendengar teriakan Leman segera menutup pintu rumah dan menyuruh anak-anak yang bermain agar masuk rumah karena debu sudah semakin tebal.

"Galodoooo.....!!! Galodoooo!!! Teriak warga dari hulu sungai. Air sungai dan bebatuan bercampur lahar panas sudah naik dari sungai ke sawah-sawah warga.

Leman mendengar teriakan warga segera memacu kudanya ke arah sungai sariak. Diperjalanan Leman mendapati satu keluarga terjebak di sebuah bukit sedang rumah mereka sudah dibawa oleh air sungai yang semakin deras. Tebing bukit terlihat sudah mulai retak-retak dan mau longsor.

Warga terlihat berteriak-teriak menunjuk ke arah bukit. Leman berlari melompat dari batu ke batu menghindari lahar panas. Tubuhnya yang kecil memudahkannya untuk melompat ke dahan-dahan pohon yang sudah tumbang. Leman berhasil mencapai tebing bukit. Leman mengambil kapak di pinggangnya dan mengayunkannya ke pohon besar dibawah bukit. Tujuannya agar pohon itu tumbang ke arah bukit dan keluarga yang terjebak tersebut bisa turun dari pohon itu.

***

"Datuak, si buyuang Leman nekad menolong warga yang terjebak galodo di Bukit Garinggiang!" Lapor seorang warga yang berlari ke rumah gadang melapor Datuk Bandaro ayah Leman.

Datuk terkejut, anak bungsunnya yang masih belasan tahun itu memang dari tadi dinantinya karena kudanya dibawa oleh putra laki-laki satu-satunya itu. Datuk bersama warga lari ke arah Bukit Garinggiang. Banjir bercampur batu sudah merusak rumah dan sawah. Buyuang Leman nampak memanjat pohon yang ditumbangkannya itu naik ke atas bukit, tapi sayangnya dia terjebak bersama satu keluarga di tebing yang seperti mau longsor itu. Pohon yang berhasil ditebangnya rebah ke sungai karena tanah tempat pohon itu longsor diterjang arus sungai.

"Lemaaannn...!! Awas, menghindar dari tepi tebing! "Teriak Datuak Bandaro ketika melihat tanah ditepi tebing sudah mulai retak dan akan longsor. Datuk memerintahkan warga untuk membuat rakit dari bambu.

Datuk bersama warga menyelesuri sungai dengan rakit bambu mengitari bukit mencari tebingnya yang tidak kena longsor. Tapi sayangnya Bukit Garinggiang yang terletak ditengah-tengah sungai itu hampir semua sisinya sudah retak. tanah-tanah di dinding mulai berjatuhan ke sungai. 

Air sungai semakin tinggi dan arusnya semakin kuat. Sedang hari mulai senja. Datuk Bandaro mulai putus asa. Menjelang Magrib warga berhasil mendapatkan tali tambang. Tali tambang dengan susah payang dilemparkan ke atas bukit. Leman berhasil meraihnya dan mengikatkannya ke tunggul kelapa yang masih ada diatas bukit.

Leman menyuruh ibu dan anaknya turun terlebih dahulu. Sedang dia menjaga tali diatas. Ibu dan anaknya yang masih kecil pun turun bergelantungan dengan tali, Datuk Bandaro dan empat warga dibawahnya was-was bersiap menyambut dengan berdiri di rakit. Sesekali longsoran tanah terkena kaki ibu itu menghantam rakit dan orang-orang dibawahnya.

Diatas bukit tinggal Leman, Nyiak Kari dan dua anak kecil. Nyiak Kari menyuruh Leman duluan bersama kedua cucunya.

Ayo Leman, kamu temankan dua cucu saya menuruni tali itu. Saya tak kuat memegangi mereka" kata nyiak Kari.

Akhirnya Lemanpun turun. Leman turun lebih dulu diikuti oleh dua anak-anak laki-laki yang usianya tidak jauh dibawah Leman.

“Hati-hati, dik! Pegangan kuat-kuat.” Leman mengingatkan. Baru saja mereka bergelantungan di tali.

“Brum!!!"

Tebing dilokasi mereka turun tiba-tiba terban. Leman dan dua anak laki-laki itu terhempas ke dinding tebing yang tanahnya runtuh tersebut. Runtuhan tanah tersebut menghantam rakit dibawahnya.  Datuk Bandaro dan empat laki-laki warga kampong yang menunggu dibawah jatuh ke sungai.

“Ayaahhh…!” Teriak Leman yang sedang menahan dua anak-anak laki diatasnya yang hilang keseimbangannya karena runtuhan tadi.

Datuk Bandaro dan empat laki-laki tersebut hanyut dibawa arus sungai. Warga yang melihat kejadian itu berteriak-teriak. “Toloooong….! Tuhaan...!

Rakit warga satu lagi yang baru saja menghantarkan Ibu dan anak yang baru turun dari tebing itu berusaha mengejar Datuk Bandaro dan empat laki-laki yang hanyut tersebut.  Untunglah tubuh ke lima lelaki itu bisa terselamatkan karena tersangkut di batang-batang pohon yang tumbang terbawa arus sungai. Hanya saja ke lima mereka sudah lemas karena air sungai yang bercampur lahar panas. Kulit mereka memerah.

Leman berusaha sekuat tenaga menahan dua anak lelaki yang mulai letih bergelantungan di tali. Hari sudah gelap. Penerangan dari suluh dan obor yang dibawa warga tak cukup menerangi lokasi kejadian. Dia tak bisa lagi melihat apakah ayahnya berhasil diselamatkan atau tidak. Dua anak laki-laki yang dipeluknya menangis kencang.

“Leman….kalian masih disana?!” Teriak seorang laki-laki dibawah.

“Iya ..mak! Masih….” Leman segera menuruni tali tersebut bersama dua anak laki-laki tadi. Ketiganya berhasil diselamatkan. Begitu juga dengan nyiak Kari  orang terakhir diatas bukit garinggiang tersebut. Tak lama bukit itupun runtuh. 

***

Leman mendapati ayahnya Datuk Bandaro terkulai lemas di ruang rumah gadang. Tubuhnya penuh luka. Dukun kampong tampak menempelkan banyak daun-daun yang sudah ditumbuk halus di tubuh Datuk Bandaro.  

Leman bersimpuh di samping tubuh ayahnya yang terbaring lemah didampingi ibu dan kakak-kakaknya. 

“Maafkan Leman Ayah. Karena Leman ayah jadi begini” Kata Leman terisak-isak.

Datuk Bandaro berusaha tersenyum. “Tidak, Leman. Ayah bangga padamu. Menjadi anak laki-laki itu memang harus cepat kaki dan ringan tangan, siap kapan saja menolong orang yang kesusahan. “

“Ingatlah pesan ayah, jangan pernah berubah. Teruslah berbuat kebaikan, sebab kebaikan pasti akan mendatangkan kebaikan yang lain”

Leman ingat selalu pesan ayahnya itu.

Cerita Leman menolong orang saat musibah galodo di kampungnya itu terdengar ke telinga Lareh, penguasa nagari Palano itu. Leman dan ayahnya diminta menghadap ke kantor Lareh.

“Leman, saya sudah mendengar cerita tentang waang. Selesai sekolah rakyat waang saya kirimkan melanjutkan sekolah ke Batavia. Seluruh biaya sampai waang selesai sekolah saya yang tanggung” Kata Lareh.

Leman dan Datuk Bandaro sangat bersyukur. Mata Datuk Bandaro berkaca-kaca. Datuak bangga Leman dapat sekolah ke Batavia karena dengan demikian dialah satu-satunya dari kampungnya yang bisa melanjutkan sekolah ke Batavia. Sebab yang bisa sekolah ke Batavia itu kalau tidak anak Lareh maka tentulah dia anak orang kaya.

Leman tersenyum. Ternyata benar kata ayah, kebaikan akan mendatangkan kebaikan yang lain.

***

 Nagari= istilah untuk desa/kelurahan di Sumatera barat

Lareh = kepala beberapa nagari, setingkat camat

 Waang = kamu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun