Datuk bersama warga menyelesuri sungai dengan rakit bambu mengitari bukit mencari tebingnya yang tidak kena longsor. Tapi sayangnya Bukit Garinggiang yang terletak ditengah-tengah sungai itu hampir semua sisinya sudah retak. tanah-tanah di dinding mulai berjatuhan ke sungai.
Air sungai semakin tinggi dan arusnya semakin kuat. Sedang hari mulai senja. Datuk Bandaro mulai putus asa. Menjelang Magrib warga berhasil mendapatkan tali tambang. Tali tambang dengan susah payang dilemparkan ke atas bukit. Leman berhasil meraihnya dan mengikatkannya ke tunggul kelapa yang masih ada diatas bukit.
Leman menyuruh ibu dan anaknya turun terlebih dahulu. Sedang dia menjaga tali diatas. Ibu dan anaknya yang masih kecil pun turun bergelantungan dengan tali, Datuk Bandaro dan empat warga dibawahnya was-was bersiap menyambut dengan berdiri di rakit. Sesekali longsoran tanah terkena kaki ibu itu menghantam rakit dan orang-orang dibawahnya.
Diatas bukit tinggal Leman, Nyiak Kari dan dua anak kecil. Nyiak Kari menyuruh Leman duluan bersama kedua cucunya.
Ayo Leman, kamu temankan dua cucu saya menuruni tali itu. Saya tak kuat memegangi mereka" kata nyiak Kari.
Akhirnya Lemanpun turun. Leman turun lebih dulu diikuti oleh dua anak-anak laki-laki yang usianya tidak jauh dibawah Leman.
“Hati-hati, dik! Pegangan kuat-kuat.” Leman mengingatkan. Baru saja mereka bergelantungan di tali.
“Brum!!!"
Tebing dilokasi mereka turun tiba-tiba terban. Leman dan dua anak laki-laki itu terhempas ke dinding tebing yang tanahnya runtuh tersebut. Runtuhan tanah tersebut menghantam rakit dibawahnya. Datuk Bandaro dan empat laki-laki warga kampong yang menunggu dibawah jatuh ke sungai.
“Ayaahhh…!” Teriak Leman yang sedang menahan dua anak-anak laki diatasnya yang hilang keseimbangannya karena runtuhan tadi.
Datuk Bandaro dan empat laki-laki tersebut hanyut dibawa arus sungai. Warga yang melihat kejadian itu berteriak-teriak. “Toloooong….! Tuhaan...!