Kedaulatan adalah konsep yang sering digunakan dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya ilmu politik, hukum, sejarah, dan antropologi. Secara umum, kedaulatan dapat diartikan sebagai hak atau kewenangan tertinggi untuk mengatur diri sendiri tanpa campur tangan dari pihak lain. Namun, definisi kedaulatan tidaklah tunggal, tetap, atau universal.
Definisi kedaulatan dapat berbeda-beda tergantung pada konteks, perspektif, dan tujuan yang digunakan. Dalam ilmu politik dan hukum, kedaulatan biasanya dikaitkan dengan negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional.
Negara dianggap berdaulat jika memiliki pengakuan formal dari negara-negara lain, memiliki wilayah yang jelas dan tetap, memiliki pemerintahan yang efektif dan mandiri, dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari ancaman eksternal. Dalam konteks ini, kedaulatan berarti otonomi atau kemandirian negara dalam mengatur urusan dalam negeri dan luar negerinya (Chalfin 2006: 244).
Namun, dalam antropologi, kedaulatan tidak hanya dipahami sebagai atribut negara, tetapi juga sebagai proses sosial yang melibatkan berbagai aktor, lembaga, ideologi, dan diskurs.
Antropologi menunjukkan bahwa kedaulatan tidaklah monolitik atau esensialis, tetapi bersifat fleksibel, majemuk, dan kontekstual. Kedaulatan diproduksi melalui interaksi-interaksi sosial yang dinamis dan kompleks antara negara dengan masyarakat sipil, antara pusat dengan daerah, antara mayoritas dengan minoritas, antara lokal dengan global, dan antara manusia dengan Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural. Kedaulatan juga menjadi bahan perdebatan dan perjuangan politik yang melibatkan klaim-klaim atas otoritas, legitimasi, kekuasaan, dan hukum (Hansen dan Stepputat 2006: 296).
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty) adalah bidang kajian yang meneliti bagaimana kedaulatan didefinisikan, diklaim, dan dipertahankan oleh berbagai aktor dalam konteks global yang kompleks. Antropologi kedaulatan adalah cabang ilmu antropologi yang mempelajari bagaimana konsep, praktik, dan perjuangan kedaulatan muncul, berkembang, dan berubah dalam konteks sosial, politik, dan sejarah yang beragam. Antropologi kedaulatan menantang pandangan monolitik dan esensialis tentang kedaulatan sebagai atribut eksklusif negara modern, dan mengeksplorasi bagaimana kedaulatan dibentuk oleh hubungan antara berbagai aktor, lembaga, ideologi, dan diskurs. Antropologi kedaulatan juga mengkritisi asumsi bahwa kedaulatan adalah sesuatu yang tetap, tunggal, dan universal, dan menunjukkan bagaimana kedaulatan bersifat fleksibel, majemuk, dan kontekstual (Hansen dan Stepputat 2006: 295).
Salah satu tema utama dalam antropologi kedaulatan adalah hubungan antara kedaulatan dan kolonialisme. Banyak studi antropologis mengungkapkan bagaimana kolonialisme mengubah bentuk dan makna kedaulatan bagi masyarakat-masyarakat yang dikolonisasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kolonialisme tidak hanya menimbulkan dominasi politik dan ekonomi dari negara-negara imperialis terhadap negara-negara koloni, tetapi juga menciptakan bentuk-bentuk baru dari pengetahuan, identitas, budaya, dan hukum yang mempengaruhi cara-cara orang memahami dan menuntut kedaulatan (Wachspress 2009: 316). Di sisi lain, kolonialisme juga memicu berbagai bentuk perlawanan dan gerakan sosial yang menantang atau menolak klaim kedaulatan dari negara-negara imperialis atau kolonial. Beberapa contoh adalah gerakan kemerdekaan nasional, gerakan pembebasan nasionalis atau etnis, gerakan hak asasi manusia, gerakan lingkungan hidup, dan gerakan pribumi atau adat (Sturm 2017: 341).
Konsep Kedaulatan (Sovereignty)
Konsep kedaulatan juga berkaitan erat dengan konsep teologi politik atau theopolitik. Teologi politik adalah studi tentang cara-cara agama mempengaruhi atau dipengaruhi oleh politik, khususnya dalam hal otoritas, legitimasi, kekuasaan, dan hukum. Theopolitik adalah studi tentang cara-cara Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural dihadirkan atau diwakili dalam ranah politik, khususnya dalam hal klaim-klaim eksklusif atau inklusif atas wilayah, populasi, atau sumber daya. Antropologi teologi politik atau theopolitik meneliti bagaimana konstruksi sosial tentang Tuhan atau kekuatan-kekuatan supranatural membentuk atau dibentuk oleh konstruksi sosial tentang kedaulatan (McAllister dan Napolitano 2021: 110).
Definisi kedaulatan yang digunakan dalam antropologi tidak selalu sama dengan definisi yang digunakan dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu hukum, ilmu politik, atau sejarah. Antropologi cenderung menggunakan pendekatan yang lebih deskriptif daripada normatif dalam mendefinisikan kedaulatan. Artinya, antropologi lebih fokus pada apa yang terjadi di lapangan daripada apa yang seharusnya terjadi menurut aturan-aturan formal atau ideal. Antropologi juga cenderung menggunakan pendekatan yang lebih relasional daripada substansial dalam mendefinisikan kedaulatan. Artinya, antropologi lebih fokus pada bagaimana kedaulatan diproduksi melalui interaksi-interaksi sosial daripada pada apa yang menjadi esensi atau karakteristik dari kedaulatan itu sendiri (Humphrey 2007: 419).
Dengan demikian, antropologi kedaulatan memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang fenomena-fenomena politik yang kompleks dan dinamis di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan juga memberikan wawasan kritis bagi kita untuk merefleksikan kembali asumsi-asumsi kita tentang apa itu kedaulatan dan siapa yang berhak atasnya. Antropologi kedaulatan juga menawarkan perspektif-perspektif alternatif bagi kita untuk mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan baru dari bentuk-bentuk politik yang lebih inklusif, demokratis, dan berkeadilan (Kauanui 2017: 329).
Oleh karena itu, antropologi kedaulatan mempelajari bagaimana konsep, praktik, dan perjuangan kedaulatan muncul, berkembang, dan berubah dalam konteks sosial, politik, dan sejarah yang beragam. Antropologi kedaulatan memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang fenomena-fenomena politik yang kompleks dan dinamis di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan juga memberikan wawasan kritis bagi kita untuk merefleksikan kembali asumsi-asumsi kita tentang apa itu kedaulatan dan siapa yang berhak atasnya. Antropologi kedaulatan juga menawarkan perspektif-perspektif alternatif bagi kita untuk mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan baru dari bentuk-bentuk politik yang lebih inklusif, demokratis, dan berkeadilan.
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty)
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty) adalah bidang kajian yang meneliti bagaimana konsep kedaulatan dipahami, dipraktikkan, dan dipertanyakan oleh berbagai aktor sosial di berbagai konteks. Salah satu fokus utama antropologi kedaulatan adalah bagaimana kedaulatan berkaitan dengan isu-isu perbatasan, rasialisasi, identitas, dan politik internasional. Dalam hal ini, antropologi kedaulatan menawarkan perspektif kritis dan komparatif untuk memahami bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural dan bagaimana ia mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang-orang yang hidup di bawah atau melawan otoritas negara.
Salah satu contoh studi antropologi kedaulatan adalah karya Bonilla (2017) yang mengkaji bagaimana warga Puerto Rico menantang kedaulatan AS melalui gerakan sosial online dan offline. Bonilla menunjukkan bagaimana warga Puerto Rico menggunakan media sosial untuk membentuk ruang publik alternatif yang mempertanyakan status politik pulau tersebut dan menuntut hak-hak sipil yang lebih besar. Bonilla juga menggambarkan bagaimana warga Puerto Rico melakukan aksi protes di jalan-jalan untuk menolak dominasi AS dan mengekspresikan identitas nasional mereka sendiri.
Studi lain yang relevan dengan antropologi kedaulatan adalah karya Kerr (2017) yang menelusuri sejarah antropologi Argentina dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kerr menguraikan bagaimana antropolog Argentina menggunakan pameran internasional untuk mempromosikan citra negara mereka sebagai negara beradab dan berdaulat di tengah-tengah konteks kolonialisme dan imperialisme Eropa. Kerr juga menganalisis bagaimana antropolog Argentina menghadapi tantangan dari gerakan nasionalis dan rasialis yang mencoba merebut otoritas ilmiah dan politik mereka.
Selain itu, antropologi kedaulatan juga membahas isu-isu perbatasan dan rasialisasi yang sering kali saling terkait. Misalnya, Alonso (2008) mengkaji bagaimana negara-negara Amerika Latin membentuk perbatasan mereka sebagai simbol kedaulatan dan identitas nasional, sekaligus sebagai alat untuk mengontrol dan mengklasifikasikan populasi mereka berdasarkan ras, etnis, kelas, dan gender. Alonso menyoroti bagaimana perbatasan menjadi tempat di mana kekerasan, diskriminasi, dan eksklusi terjadi, tetapi juga menjadi tempat di mana resistensi, solidaritas, dan agensi muncul.
Dalam konteks global yang semakin kompleks dan dinamis, antropologi kedaulatan juga mengeksplorasi variasi dan transformasi konsep kedaulatan itu sendiri. Misalnya, Černy dan Grzybowski (2023) menyunting sebuah buku yang memuat berbagai studi kasus tentang bagaimana kedaulatan diperebutkan, dinegosiasikan, dan diredefinisi oleh berbagai aktor sosial di seluruh dunia. Buku ini mencakup topik-topik seperti kedaulatan siber, kedaulatan lingkungan, kedaulatan agama, kedaulatan budaya, dan lain-lain.
Salah satu topik yang menarik dalam antropologi kedaulatan adalah hubungan antara kedaulatan dan agama. Beberapa peneliti telah meneliti bagaimana agama mempengaruhi atau dipengaruhi oleh praktik-praktik kedaulatan negara atau non-negara. Misalnya, Clarke (2017) mengkaji bagaimana gerakan Black Lives Matter di AS menggunakan media sosial untuk membentuk ruang publik baru yang menggabungkan elemen-elemen agama, politik, dan estetika. Clarke berpendapat bahwa gerakan ini menunjukkan bentuk baru dari politik tubuh yang menantang kedaulatan negara rasialis.
Peneliti lain yang membahas isu agama dan kedaulatan adalah Voss (2011) yang mengkaji perjuangan suku Indian Lakota di AS untuk mendapatkan pengakuan sebagai bangsa berdaulat. Voss menunjukkan bagaimana suku Lakota menggunakan ritual, simbol, dan narasi untuk mengklaim hak-hak mereka atas tanah, sumber daya, dan budaya mereka. Voss juga menggambarkan bagaimana suku Lakota menghadapi hambatan dan konflik dari pihak-pihak lain yang menentang atau mengancam kedaulatan mereka.
Studi lain yang terkait dengan agama dan kedaulatan adalah karya Blanes (2015) yang meneliti bagaimana gereja-gereja Pentakosta dan Evangelis di Angola berperan dalam proses pembentukan negara dan masyarakat pasca-perang. Blanes menguraikan bagaimana gereja-gereja ini menawarkan visi alternatif tentang kedaulatan, kewarganegaraan, dan moralitas yang berbeda dengan model negara sekuler. Blanes juga menyoroti bagaimana gereja-gereja ini terlibat dalam politik lokal dan global yang mempengaruhi hubungan antara Angola dan dunia luar.
Selain itu, antropologi kedaulatan juga memperhatikan bagaimana kedaulatan dipengaruhi oleh faktor-faktor material dan sejarah. Misalnya, Chalfin (2010) melakukan etnografi tentang kedaulatan di Ghana Barat, dengan fokus pada peran bea cukai sebagai lembaga negara yang mengatur perbatasan dan perdagangan. Chalfin menunjukkan bagaimana bea cukai menjadi tempat di mana praktik-praktik kedaulatan negara dipertunjukkan, dipertanyakan, dan dimodifikasi oleh berbagai aktor sosial, termasuk pejabat, pedagang, penyelundup, dan masyarakat sipil.
Studi lain yang mengkaji aspek material dan sejarah dari kedaulatan adalah karya Evans et al. (2012) yang menyunting sebuah buku yang memuat berbagai esai tentang kemungkinan-kemungkinan kedaulatan di masa depan. Buku ini membahas bagaimana kedaulatan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti globalisasi, multikulturalisme, lingkungan, teknologi, dan hak asasi manusia. Buku ini juga membahas bagaimana kedaulatan dapat direkonstruksi atau didekonstruksi melalui perspektif-perspektif seperti feminisme, poskolonialisme, kosmopolitanisme, dan anarkisme.
Salah satu esai yang menarik dalam buku ini adalah karya Malabou (2015) yang mempertanyakan apakah kedaulatan dapat didekonstruksi atau tidak. Malabou mengkritik pendekatan dekonstruktif yang menganggap kedaulatan sebagai konsep metafisik yang harus dihancurkan atau dilemahkan. Malabou menawarkan alternatif dengan menggunakan konsep plastisitas untuk memahami bagaimana kedaulatan dapat berubah atau beradaptasi dengan situasi-situasi baru tanpa kehilangan makna atau kekuatannya.
Akhirnya, antropologi kedaulatan juga memberikan perhatian pada bagaimana kedaulatan dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang hidup di bawah atau melawan otoritas negara atau non-negara. Misalnya, Napolitano et al. (2015) mengkaji bagaimana ruang-ruang sakral menjadi tempat di mana kedaulatan diperdebatkan, dinikmati, atau ditolak oleh berbagai kelompok agama di Israel/Palestina. Mereka menunjukkan bagaimana ruang-ruang sakral menjadi tempat di mana identitas, afeksi, dan kekuasaan diproduksi dan direproduksi melalui praktik-praktik ritual, estetis, dan politis.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi kedaulatan adalah bidang kajian yang luas dan penting untuk memahami fenomena-fenomena sosial dan budaya di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan memberikan wawasan kritis dan komparatif tentang bagaimana konsep kedaulatan dipahami, dipraktikkan, dan dipertanyakan oleh berbagai aktor sosial di berbagai konteks. Antropologi kedaulatan juga memberikan kontribusi untuk mengembangkan teori-teori baru tentang kedaulatan yang sesuai dengan realitas empiris dan normatif yang kompleks dan dinamis.
Melihat Sengketa Laut Natuna Utara dalam Perspektif Antropologi Kedaulatan
Salah satu kasus yang menarik untuk dianalisis dari perspektif antropologi kedaulatan adalah sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Laut Natuna Utara adalah bagian dari Laut Cina Selatan yang menjadi sumber konflik antara beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Tiongkok. Kedua negara memiliki klaim yang berbeda atas wilayah laut ini, yang didasarkan pada sejarah, hukum, dan geopolitik. Namun, klaim tersebut juga dikonstruksikan secara kultural, yaitu melalui praktik-praktik sosial, simbolik, dan performatif yang menunjukkan identitas dan otoritas nasional.
Beberapa studi telah menunjukkan bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural di Laut Natuna Utara. Misalnya, Evers (2014: 80-81) mengemukakan bahwa Laut Cina Selatan memiliki makna kultural yang berbeda bagi Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara. Bagi Tiongkok, laut ini adalah bagian dari "lingkaran maritim" yang mencerminkan kekuasaan dan peradaban Tiongkok sejak zaman kuno. Bagi negara-negara Asia Tenggara, laut ini adalah ruang hidup dan sumber daya yang harus dibagi secara adil dan damai. Maya dan Sianipar (2019: 31-32) menelusuri bagaimana Indonesia membangun narasi kedaulatan atas Laut Natuna Utara melalui media massa, diplomasi, dan operasi militer. Mereka menunjukkan bahwa Indonesia menggambarkan dirinya sebagai negara maritim yang berdaulat, demokratis, dan berkepentingan nasional, sementara Tiongkok digambarkan sebagai negara agresif, ekspansionis, dan mengancam stabilitas regional.
Selain itu, beberapa studi juga mengungkapkan bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural oleh aktor-aktor non-negara di Laut Natuna Utara. Misalnya, Roszko (2021: 642-645) mengamati bagaimana nelayan Vietnam beradaptasi dengan situasi konflik di Laut Cina Selatan dengan melakukan "slippage okupasional", yaitu beralih dari aktivitas perikanan ke aktivitas lain seperti perdagangan, pariwisata, atau penyelundupan. Dengan demikian, nelayan Vietnam menunjukkan fleksibilitas dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian dan ancaman kedaulatan. Beatty (2022: 3-4) mengeksplorasi bagaimana masyarakat pesisir Filipina mempraktikkan "geopolitik sehari-hari" di wilayah perbatasan maritim di Laut Cina Selatan. Ia menemukan bahwa masyarakat pesisir Filipina memiliki pandangan ruang yang kompleks dan dinamis, yang mencakup unsur-unsur lokal, nasional, regional, dan global. Mereka juga menggunakan strategi-strategi seperti kolaborasi, negosiasi, atau konfrontasi dengan aktor-aktor lain seperti nelayan asing, militer, atau pemerintah.
Dari studi-studi di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi kedaulatan dapat memberikan wawasan baru dalam memahami sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Dengan melihat bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural oleh berbagai aktor dalam konteks global yang kompleks, kita dapat mengenali keragaman perspektif, kepentingan, dan strategi yang terlibat dalam konflik tersebut. Hal ini dapat membantu kita untuk mencari solusi yang lebih inklusif, adil, dan damai.
Salah satu bidang ilmu yang dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok adalah antropologi. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjejakkan sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat maritim di kawasan tersebut, yang seringkali terabaikan atau terdegradasi.
Salah satu contoh penerapan antropologi dalam kasus sengketa Laut Natuna Utara adalah penelitian yang dilakukan oleh Sambuaga et al. (2023). Penelitian ini mengkaji strategi Indonesia untuk menegakkan hak-hak berdaulatnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi hukum untuk memahami bagaimana Indonesia menginterpretasikan dan mengimplementasikan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982. Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda dengan Tiongkok mengenai konsep ZEE, garis pangkal, dan hak-hak tradisional nelayan. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kerjasama regional dan multilateral untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Contoh lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavian (2017). Penelitian ini mencoba merumuskan peran TNI Angkatan Laut dalam mencari masa depan damai dunia maritim Asia-Pasifik. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi maritim untuk memahami budaya maritim Indonesia, yang merupakan warisan sejarah dan identitas bangsa. Penelitian ini mengkritisi degradasi budaya maritim Indonesia akibat kolonialisme, globalisasi, dan modernisasi. Penelitian ini juga mengusulkan beberapa strategi untuk merevitalisasi budaya maritim Indonesia, seperti pendidikan maritim, diplomasi budaya, dan pemberdayaan masyarakat pesisir.
Contoh ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwicahyono et al. (2021). Penelitian ini membahas fenomena perang asimetris maritim di negara-negara kepulauan, khususnya Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi militer untuk memahami bagaimana Indonesia menghadapi ancaman non-tradisional di laut, seperti pembajakan, terorisme, penyelundupan, dan pencurian ikan. Penelitian ini mengevaluasi kebijakan dan kapabilitas Indonesia dalam melaksanakan operasi militer di laut. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi militer di laut.
Contoh keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavian et al. (2017). Penelitian ini meneliti degradasi budaya maritim di Banten, salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan dengan Laut Natuna Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sosial untuk memahami sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat nelayan di Banten. Penelitian ini mengungkapkan bahwa masyarakat nelayan di Banten mengalami berbagai masalah, seperti kemiskinan, marginalisasi, konflik, dan kerusakan lingkungan. Penelitian ini juga menawarkan beberapa solusi, seperti penguatan modal sosial, pengembangan ekowisata, dan pelestarian tradisi maritim.
Dari keempat contoh penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjejakkan sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat maritim di kawasan tersebut, yang seringkali terabaikan atau terdegradasi.
Solusi atas Sengketa Teritorial di Laut Natuna Utara
Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok adalah antropologi. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan budaya dalam konteks ruang dan waktu (Ma, 2020: 2). Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional.
Menurut Tubilewicz (2019: 3), kedaulatan Tiongkok atas Laut Natuna Utara didasarkan pada klaim historis yang berasal dari peta sembilan garis putus-putus yang dibuat pada tahun 1947. Peta ini menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki hak atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, termasuk pulau-pulau, terumbu karang, dan perairan di sekitarnya. Klaim ini bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengatur batas-batas maritim berdasarkan prinsip landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Indonesia, sebagai negara kepulauan, mengklaim kedaulatan atas Laut Natuna Utara berdasarkan UNCLOS, yang memberikan hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam di dalam ZEE-nya.
Chen (2015: 4) mengemukakan bahwa konsep kedaulatan Tiongkok juga dipengaruhi oleh pandangan tradisional tentang hukum dan keadilan yang berbeda dengan Barat. Dalam pandangan Tiongkok, hukum adalah alat untuk menjaga harmoni sosial dan stabilitas politik, bukan untuk menegakkan hak-hak individu atau kolektif. Oleh karena itu, Tiongkok cenderung menghindari penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau pengadilan internasional, melainkan melalui negosiasi bilateral atau multilateral yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan.
Antropologi dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Evers (2014: 7) mengusulkan konsep Nusantara sebagai wilayah maritim yang terbentuk dari interaksi antara berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya di Asia Tenggara. Nusantara bukan hanya mencakup wilayah Indonesia, tetapi juga Malaysia, Filipina, Brunei, Singapura, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan sebagian Tiongkok. Evers (2016: 12) menambahkan bahwa Nusantara memiliki tradisi lama dalam mengelola sumber daya laut secara kolektif dan berkelanjutan, dengan menghormati hak-hak masyarakat pesisir dan nelayan.
Merry (2006: 102) menekankan pentingnya antropologi dalam menjembatani perbedaan antara hukum internasional dan hukum lokal dalam menyelesaikan konflik lintas budaya. Antropologi dapat membantu mengidentifikasi nilai-nilai, norma-norma, dan praktik-praktik hukum yang ada di masyarakat lokal, serta cara-cara untuk menyesuaikannya dengan standar internasional. Antropologi juga dapat membantu mengembangkan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang lebih inklusif, partisipatif, dan adil.
Salah satu contoh penerapan antropologi dalam kasus Laut Natuna Utara adalah studi Balachandran (2009: 15) tentang narasi-narasi tentang kedaulatan dan identitas nasional yang dibangun oleh berbagai pihak yang terlibat dalam sengketa. Balachandran menunjukkan bagaimana narasi-narasi ini dipengaruhi oleh sejarah, geografi, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing negara, serta bagaimana narasi-narasi ini dapat berubah seiring dengan perkembangan situasi. Balachandran juga menawarkan narasi alternatif yang lebih mengakomodasi keragaman dan kerjasama di kawasan tersebut.
Selain itu, antropologi juga dapat memberikan kontribusi dalam bidang pariwisata, yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang potensial di Laut Natuna Utara. Timothy (2019: 32) mengemukakan bahwa pariwisata dapat menjadi alat untuk mempromosikan perdamaian, dialog, dan pemahaman antara negara-negara yang bersengketa. Pariwisata dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal dan wisatawan untuk bertemu, berinteraksi, dan saling mengenal budaya dan keindahan alam di kawasan tersebut. Pariwisata juga dapat memberikan insentif bagi negara-negara yang bersengketa untuk menjaga lingkungan dan sumber daya alam yang menjadi daya tarik wisata.
Kesimpulan Reflektif
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi.
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan budaya mereka dalam konteks sosial, sejarah, dan lingkungan. Antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok, yang telah berlangsung sejak lama dan menimbulkan ketegangan di kawasan. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjembatani perbedaan dan mencari jalan damai melalui dialog, kerjasama, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Salah satu isu utama dalam sengketa Laut Natuna Utara adalah klaim kedaulatan yang bertentangan antara Indonesia dan Tiongkok. Indonesia mengklaim bahwa Laut Natuna Utara termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) tahun 1982. Sementara itu, Tiongkok mengklaim bahwa Laut Natuna Utara termasuk dalam "garis sembilan putus-putus" yang mencakup sebagian besar Laut Cina Selatan, berdasarkan sejarah dan tradisi Tiongkok. Klaim ini tidak diakui oleh UNCLOS dan ditolak oleh Indonesia dan negara-negara lain di kawasan (Tubilewicz, 2019: 3-4).
Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda ini dengan mengkaji aspek-aspek sosial, budaya, sejarah, dan politik yang melatarbelakanginya. Antropologi dapat menunjukkan bahwa kedaulatan bukanlah sesuatu yang tetap dan objektif, melainkan sesuatu yang dinamis dan subjektif, yang terbentuk melalui narasi, praktik, dan interaksi antara berbagai aktor (Chen, 2015: 2). Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa konsep kedaulatan tidak hanya berkaitan dengan wilayah atau batas negara, melainkan juga dengan identitas, hak, dan kewajiban dari berbagai kelompok masyarakat yang hidup di dalamnya (Merry, 2006: 100).
Dengan demikian, antropologi dapat memberikan wawasan tentang bagaimana masyarakat lokal dan regional di Laut Natuna Utara memandang dan mengalami sengketa tersebut. Antropologi dapat meneliti bagaimana masyarakat nelayan, pedagang, wisatawan, aktivis lingkungan, pejabat pemerintah, militer, dan lain-lain berinteraksi dengan Laut Natuna Utara sebagai ruang hidup mereka. Antropologi juga dapat meneliti bagaimana masyarakat tersebut mengembangkan hubungan sosial dan budaya dengan masyarakat di seberang laut, baik dari Indonesia maupun dari Tiongkok. Antropologi juga dapat meneliti bagaimana masyarakat tersebut menghadapi dampak-dampak dari sengketa tersebut, seperti ancaman keamanan, kerusakan lingkungan, konflik sosial, atau peluang ekonomi (Ma, 2020: 2-3).
Dari hasil penelitian tersebut, antropologi dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki makna dan nilai yang beragam bagi berbagai kelompok masyarakat yang terlibat di dalamnya. Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki sejarah dan tradisi yang panjang dan kaya, yang mencerminkan interaksi antarbudaya yang dinamis di kawasan tersebut (Evers, 2014: 1-2). Antropologi juga dapat menunjukkan bahwa Laut Natuna Utara memiliki potensi dan tantangan yang berbeda-beda, tergantung pada sudut pandang dan kepentingan yang dijadikan acuan (Timothy, 2019: 26-27).
Dengan demikian, antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok, dengan cara yang lebih holistik, inklusif, dan humanis. Antropologi dapat membantu menjembatani perbedaan dan mencari jalan damai melalui dialog, kerjasama, dan penghargaan terhadap keberagaman. Antropologi dapat membantu mengedepankan perspektif masyarakat lokal dan regional, yang seringkali terabaikan atau dimarginalkan dalam pembahasan sengketa tersebut. Antropologi juga dapat membantu mengembangkan visi bersama tentang Laut Natuna Utara sebagai ruang nusantara, yang menghubungkan berbagai bangsa dan budaya di kawasan tersebut (Evers, 2016: 1-2).
Antropologi juga dapat membantu menjembatani perbedaan antara hukum internasional dan hukum lokal dalam menyelesaikan konflik lintas budaya, serta mengembangkan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang lebih inklusif, partisipatif, dan adil. Antropologi juga dapat memberikan kontribusi dalam bidang pariwisata, yang merupakan salah satu sektor ekonomi yang potensial di Laut Natuna Utara.
Referensi:
Alonso, Ana M. "Borders, Sovereignty, and Racialization." A companion to Latin American anthropology (2008): 230-253.
Balachandran, Gopalan. "Sovereignty, Subjectivities, Narrations: Nations and Other Stories from the Sea." International Journal of Maritime History 21.2 (2009): 1-20.
Beatty, Dylan Michael. ‘Somewhere to the West’: Constructed Sovereignty and Everyday Geopolitics in Maritime Border Areas in the South China Sea. Disertasi. University of Hawai'i at Manoa, 2022.
Blanes, Ruy Llera. "Politics of Sovereignty." The Anthropology of Global Pentecostalism and Evangelicalism (2015): 197.
Bonilla, Yarimar. "Unsettling sovereignty." Cultural anthropology 32.3 (2017): 330-339.
Černy, Hannes, and Janis Grzybowski, eds. Variations on Sovereignty: Contestations and Transformations from around the World. Taylor & Francis, 2023.
Chalfin, Brenda. "Global customs regimes and the traffic in sovereignty: Enlarging the anthropology of the state." Current Anthropology 47.2 (2006): 243-276.
Chalfin, Brenda. Neoliberal Frontiers: an ethnography of sovereignty in West Africa. University of Chicago Press, 2010.
Chen, Li. Chinese Law in Imperial Eyes: Sovereignty, Justice, and Transcultural Politics. Columbia University Press, 2015.
Clarke, Kamari Maxine. "Rethinking sovereignty through hashtag publics: The new body politics." Cultural Anthropology 32.3 (2017): 359-366.
Dwicahyono, Taufik, et al. "Maritime Asymmetric Warfare in Archipelagic States; The Indonesian Phenomena." Journal of Strategic and Global Studies 4.2 (2021): 5.
Evans, Julie, et al., eds. Sovereignty: frontiers of possibility. University of Hawaii Press, 2012.
Evers, Hans-Dieter. "Governing maritime space: The South China Sea as a Mediterranean cultural area." 東南亞研究中心 South East Asian Research Centre, City University of Hong Kong Working Paper Series 152 (2014).
Evers, Hans-Dieter. "Nusantara: Malaysia and the Governance of the South China Sea." Malaysian Social Science Review 1.1 (2016).
Evers, Hans-Dieter. "Understanding the South China Sea: an explorative cultural analysis." International Journal of Asia-Pacific Studies 10.1 (2014): 77-93.
Hansen, Thomas Blom, and Finn Stepputat. "Sovereignty revisited." Annu. Rev. Anthropol. 35 (2006): 295-315.
Hayton, Bill. The South China Sea: the struggle for power in Asia. Yale University Press, 2014.
Humphrey, Caroline. "Sovereignty." A Companion to the Anthropology of Politics (2007): 418-436.
Kauanui, J. Kēhaulani. "Sovereignty: An Introduction." Cultural Anthropology 32.3 (2017): 323-329.
Kerr, Ashley. "From Savagery to Sovereignty: Identity, Politics, and International Expositions of Argentine Anthropology (1878–1892)." Isis 108.1 (2017): 62-81.
Ma, Guoqing. "Islands and the world from an anthropological perspective." International Journal of Anthropology and Ethnology 4 (2020): 1-17.
Malabou, Catherine. "Will sovereignty ever be deconstructed?." Plastic materialities: Politics, legality, and metamorphosis in the work of Catherine Malabou (2015): 35-46.
Maya, Arthuur Jeverson, and Imelda Masni Juniaty Sianipar. "Sovereignty Discourse: South China Sea Conflic." (2019): 26-52.
McAllister, Carlota, and Valentina Napolitano. "Political theology/theopolitics: The thresholds and vulnerabilities of sovereignty." Annual Review of Anthropology 50 (2021): 109-124.
Merry, Sally Engle. "Anthropology and international law." Annu. Rev. Anthropol. 35 (2006): 99-116.
Napolitano, Valentina, Nimrod Luz, and Nurit Stadler. "Introduction: materialities, histories, and the spatialization of state sovereignty." Religion and Society 6.1 (2015): 90-97.
Octavian, Amarulla, et al. "Maritime Culture Degradation: History, Identity, and Social Practice of Seafaring in Banten." International Journal of Database Theory and Application 10.8 (2017): 99-114.
Octavian, Amarulla. "In Search of Peaceful Future of the Asia-Pacific Maritime World: Formulating the Role of Indonesian Navy." Journal of Maritime Studies and National Integration 1.2 (2017): 118-127.
Rosyidin, Mohamad. "The Dao of foreign policy: Understanding China’s dual strategy in the South China Sea." Contemporary Security Policy 40.2 (2019): 214-238.
Roszko, Edyta. "Maritime territorialisation as performance of sovereignty and nationhood in the S outh C hina S ea." Nations and Nationalism 21.2 (2015): 230-249.
Roszko, Edyta. "Navigating seas, markets, and sovereignties: fishers and occupational slippage in the South China Sea." Anthropological Quarterly 94.4 (2021): 639-668.
Sambuaga, Theo L., et al. "Indonesia’s Strategy to Uphold its Sovereign Rights in Its Exclusive Economic Zone (EEZ) in the North Natuna Sea." Baltic Journal of Law & Politics 16.3 (2023): 2470-2476.
Sturm, Circe. "Reflections on the anthropology of sovereignty and settler colonialism: lessons from native North America." Cultural Anthropology 32.3 (2017): 340-348.
Timothy, Dallen J. "Tourism, border disputes and claims to territorial sovereignty." Tourism and hospitality in conflict-ridden destinations (2019): 25-38.
Tønnesson, Stein. "Locating the South China Sea." Locating Southeast Asia. Brill, 2005. 203-233.
Tubilewicz, Czeslaw. Chinese constructions of sovereignty and the East China Sea conflict. Routledge, 2019.
Voss, Ehler. "The Struggle for Sovereignty." Encounters of Body and Soul in Contemporary Religious Practices: Anthropological Reflections 16 (2011): 168.
Wachspress, Megan. "Rethinking sovereignty with reference to history and anthropology." International Journal of Law in Context 5.3 (2009): 315-330.
Zhong, Hui. "Underwater cultural heritage and the disputed South China Sea." China Information 34.3 (2020): 361-382.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H