Mohon tunggu...
Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Al Chaidar Abdurrahman Puteh Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh adalah antropolog lulusan Universitas Indonesia (2023) yang kini bertugas sebagai dosen pada Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Lahir di Lhokseumawe, 22 November 1969. Menulis buku _Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo_ (2000) dan _Aceh Bersimbah Darah_ (1998). Kini sedang berada di Leiden, Belanda, meneliti tentang nomokrasi dalam konstitusi Darul Islam Indonesia dan Imarah Islam Afghanistan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antropologi Kedaulatan: Menalar Sengketa Laut Natuna Utara Secara Kultural

6 Maret 2024   14:25 Diperbarui: 6 Maret 2024   14:31 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Contoh lain adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavian (2017). Penelitian ini mencoba merumuskan peran TNI Angkatan Laut dalam mencari masa depan damai dunia maritim Asia-Pasifik. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi maritim untuk memahami budaya maritim Indonesia, yang merupakan warisan sejarah dan identitas bangsa. Penelitian ini mengkritisi degradasi budaya maritim Indonesia akibat kolonialisme, globalisasi, dan modernisasi. Penelitian ini juga mengusulkan beberapa strategi untuk merevitalisasi budaya maritim Indonesia, seperti pendidikan maritim, diplomasi budaya, dan pemberdayaan masyarakat pesisir.

Contoh ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Dwicahyono et al. (2021). Penelitian ini membahas fenomena perang asimetris maritim di negara-negara kepulauan, khususnya Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi militer untuk memahami bagaimana Indonesia menghadapi ancaman non-tradisional di laut, seperti pembajakan, terorisme, penyelundupan, dan pencurian ikan. Penelitian ini mengevaluasi kebijakan dan kapabilitas Indonesia dalam melaksanakan operasi militer di laut. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi operasi militer di laut.

Contoh keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Octavian et al. (2017). Penelitian ini meneliti degradasi budaya maritim di Banten, salah satu provinsi di Indonesia yang berbatasan dengan Laut Natuna Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi sosial untuk memahami sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat nelayan di Banten. Penelitian ini mengungkapkan bahwa masyarakat nelayan di Banten mengalami berbagai masalah, seperti kemiskinan, marginalisasi, konflik, dan kerusakan lingkungan. Penelitian ini juga menawarkan beberapa solusi, seperti penguatan modal sosial, pengembangan ekowisata, dan pelestarian tradisi maritim.

Dari keempat contoh penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjejakkan sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat maritim di kawasan tersebut, yang seringkali terabaikan atau terdegradasi.

Solusi atas Sengketa Teritorial di Laut Natuna Utara

Salah satu cabang ilmu sosial yang dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok adalah antropologi. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan budaya dalam konteks ruang dan waktu (Ma, 2020: 2). Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional.

Menurut Tubilewicz (2019: 3), kedaulatan Tiongkok atas Laut Natuna Utara didasarkan pada klaim historis yang berasal dari peta sembilan garis putus-putus yang dibuat pada tahun 1947. Peta ini menunjukkan bahwa Tiongkok memiliki hak atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, termasuk pulau-pulau, terumbu karang, dan perairan di sekitarnya. Klaim ini bertentangan dengan hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang mengatur batas-batas maritim berdasarkan prinsip landas kontinen dan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Indonesia, sebagai negara kepulauan, mengklaim kedaulatan atas Laut Natuna Utara berdasarkan UNCLOS, yang memberikan hak eksklusif untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan sumber daya alam di dalam ZEE-nya.

Chen (2015: 4) mengemukakan bahwa konsep kedaulatan Tiongkok juga dipengaruhi oleh pandangan tradisional tentang hukum dan keadilan yang berbeda dengan Barat. Dalam pandangan Tiongkok, hukum adalah alat untuk menjaga harmoni sosial dan stabilitas politik, bukan untuk menegakkan hak-hak individu atau kolektif. Oleh karena itu, Tiongkok cenderung menghindari penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau pengadilan internasional, melainkan melalui negosiasi bilateral atau multilateral yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati dan saling menguntungkan.

Antropologi dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Evers (2014: 7) mengusulkan konsep Nusantara sebagai wilayah maritim yang terbentuk dari interaksi antara berbagai kelompok etnis, agama, dan budaya di Asia Tenggara. Nusantara bukan hanya mencakup wilayah Indonesia, tetapi juga Malaysia, Filipina, Brunei, Singapura, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan sebagian Tiongkok. Evers (2016: 12) menambahkan bahwa Nusantara memiliki tradisi lama dalam mengelola sumber daya laut secara kolektif dan berkelanjutan, dengan menghormati hak-hak masyarakat pesisir dan nelayan.

Merry (2006: 102) menekankan pentingnya antropologi dalam menjembatani perbedaan antara hukum internasional dan hukum lokal dalam menyelesaikan konflik lintas budaya. Antropologi dapat membantu mengidentifikasi nilai-nilai, norma-norma, dan praktik-praktik hukum yang ada di masyarakat lokal, serta cara-cara untuk menyesuaikannya dengan standar internasional. Antropologi juga dapat membantu mengembangkan mekanisme alternatif untuk menyelesaikan sengketa yang lebih inklusif, partisipatif, dan adil.

Salah satu contoh penerapan antropologi dalam kasus Laut Natuna Utara adalah studi Balachandran (2009: 15) tentang narasi-narasi tentang kedaulatan dan identitas nasional yang dibangun oleh berbagai pihak yang terlibat dalam sengketa. Balachandran menunjukkan bagaimana narasi-narasi ini dipengaruhi oleh sejarah, geografi, politik, ekonomi, dan budaya masing-masing negara, serta bagaimana narasi-narasi ini dapat berubah seiring dengan perkembangan situasi. Balachandran juga menawarkan narasi alternatif yang lebih mengakomodasi keragaman dan kerjasama di kawasan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun