Mohon tunggu...
Al Chaidar Abdurrahman Puteh
Al Chaidar Abdurrahman Puteh Mohon Tunggu... Dosen - Dosen pada Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, Indonesia

Dr. Al Chaidar Abdurrahman Puteh adalah antropolog lulusan Universitas Indonesia (2023) yang kini bertugas sebagai dosen pada Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh. Lahir di Lhokseumawe, 22 November 1969. Menulis buku _Pemikiran Politik SM Kartosoewirjo_ (2000) dan _Aceh Bersimbah Darah_ (1998). Kini sedang berada di Leiden, Belanda, meneliti tentang nomokrasi dalam konstitusi Darul Islam Indonesia dan Imarah Islam Afghanistan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antropologi Kedaulatan: Menalar Sengketa Laut Natuna Utara Secara Kultural

6 Maret 2024   14:25 Diperbarui: 6 Maret 2024   14:31 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Studi lain yang mengkaji aspek material dan sejarah dari kedaulatan adalah karya Evans et al. (2012) yang menyunting sebuah buku yang memuat berbagai esai tentang kemungkinan-kemungkinan kedaulatan di masa depan. Buku ini membahas bagaimana kedaulatan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti globalisasi, multikulturalisme, lingkungan, teknologi, dan hak asasi manusia. Buku ini juga membahas bagaimana kedaulatan dapat direkonstruksi atau didekonstruksi melalui perspektif-perspektif seperti feminisme, poskolonialisme, kosmopolitanisme, dan anarkisme.

Salah satu esai yang menarik dalam buku ini adalah karya Malabou (2015) yang mempertanyakan apakah kedaulatan dapat didekonstruksi atau tidak. Malabou mengkritik pendekatan dekonstruktif yang menganggap kedaulatan sebagai konsep metafisik yang harus dihancurkan atau dilemahkan. Malabou menawarkan alternatif dengan menggunakan konsep plastisitas untuk memahami bagaimana kedaulatan dapat berubah atau beradaptasi dengan situasi-situasi baru tanpa kehilangan makna atau kekuatannya.

Akhirnya, antropologi kedaulatan juga memberikan perhatian pada bagaimana kedaulatan dirasakan dan dialami oleh orang-orang yang hidup di bawah atau melawan otoritas negara atau non-negara. Misalnya, Napolitano et al. (2015) mengkaji bagaimana ruang-ruang sakral menjadi tempat di mana kedaulatan diperdebatkan, dinikmati, atau ditolak oleh berbagai kelompok agama di Israel/Palestina. Mereka menunjukkan bagaimana ruang-ruang sakral menjadi tempat di mana identitas, afeksi, dan kekuasaan diproduksi dan direproduksi melalui praktik-praktik ritual, estetis, dan politis.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi kedaulatan adalah bidang kajian yang luas dan penting untuk memahami fenomena-fenomena sosial dan budaya di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan memberikan wawasan kritis dan komparatif tentang bagaimana konsep kedaulatan dipahami, dipraktikkan, dan dipertanyakan oleh berbagai aktor sosial di berbagai konteks. Antropologi kedaulatan juga memberikan kontribusi untuk mengembangkan teori-teori baru tentang kedaulatan yang sesuai dengan realitas empiris dan normatif yang kompleks dan dinamis.

Melihat Sengketa Laut Natuna Utara dalam Perspektif Antropologi Kedaulatan

Salah satu kasus yang menarik untuk dianalisis dari perspektif antropologi kedaulatan adalah sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Laut Natuna Utara adalah bagian dari Laut Cina Selatan yang menjadi sumber konflik antara beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia dan Tiongkok. Kedua negara memiliki klaim yang berbeda atas wilayah laut ini, yang didasarkan pada sejarah, hukum, dan geopolitik. Namun, klaim tersebut juga dikonstruksikan secara kultural, yaitu melalui praktik-praktik sosial, simbolik, dan performatif yang menunjukkan identitas dan otoritas nasional.

Beberapa studi telah menunjukkan bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural di Laut Natuna Utara. Misalnya, Evers (2014: 80-81) mengemukakan bahwa Laut Cina Selatan memiliki makna kultural yang berbeda bagi Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara. Bagi Tiongkok, laut ini adalah bagian dari "lingkaran maritim" yang mencerminkan kekuasaan dan peradaban Tiongkok sejak zaman kuno. Bagi negara-negara Asia Tenggara, laut ini adalah ruang hidup dan sumber daya yang harus dibagi secara adil dan damai. Maya dan Sianipar (2019: 31-32) menelusuri bagaimana Indonesia membangun narasi kedaulatan atas Laut Natuna Utara melalui media massa, diplomasi, dan operasi militer. Mereka menunjukkan bahwa Indonesia menggambarkan dirinya sebagai negara maritim yang berdaulat, demokratis, dan berkepentingan nasional, sementara Tiongkok digambarkan sebagai negara agresif, ekspansionis, dan mengancam stabilitas regional.

Selain itu, beberapa studi juga mengungkapkan bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural oleh aktor-aktor non-negara di Laut Natuna Utara. Misalnya, Roszko (2021: 642-645) mengamati bagaimana nelayan Vietnam beradaptasi dengan situasi konflik di Laut Cina Selatan dengan melakukan "slippage okupasional", yaitu beralih dari aktivitas perikanan ke aktivitas lain seperti perdagangan, pariwisata, atau penyelundupan. Dengan demikian, nelayan Vietnam menunjukkan fleksibilitas dan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian dan ancaman kedaulatan. Beatty (2022: 3-4) mengeksplorasi bagaimana masyarakat pesisir Filipina mempraktikkan "geopolitik sehari-hari" di wilayah perbatasan maritim di Laut Cina Selatan. Ia menemukan bahwa masyarakat pesisir Filipina memiliki pandangan ruang yang kompleks dan dinamis, yang mencakup unsur-unsur lokal, nasional, regional, dan global. Mereka juga menggunakan strategi-strategi seperti kolaborasi, negosiasi, atau konfrontasi dengan aktor-aktor lain seperti nelayan asing, militer, atau pemerintah.

Dari studi-studi di atas, dapat disimpulkan bahwa antropologi kedaulatan dapat memberikan wawasan baru dalam memahami sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok. Dengan melihat bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural oleh berbagai aktor dalam konteks global yang kompleks, kita dapat mengenali keragaman perspektif, kepentingan, dan strategi yang terlibat dalam konflik tersebut. Hal ini dapat membantu kita untuk mencari solusi yang lebih inklusif, adil, dan damai.

Salah satu bidang ilmu yang dapat memberikan tawaran solusi untuk kasus sengketa Laut Natuna Utara antara Indonesia dan Tiongkok adalah antropologi. Antropologi dapat membantu memahami konstruksi kedaulatan yang berbeda antara kedua negara, serta dampaknya terhadap masyarakat lokal dan regional. Antropologi juga dapat memberikan perspektif alternatif untuk memahami Laut Natuna Utara sebagai ruang sosial dan budaya yang kompleks, bukan hanya sebagai objek sengketa politik atau ekonomi. Antropologi juga dapat membantu menjejakkan sejarah, identitas, dan praktik sosial masyarakat maritim di kawasan tersebut, yang seringkali terabaikan atau terdegradasi.

Salah satu contoh penerapan antropologi dalam kasus sengketa Laut Natuna Utara adalah penelitian yang dilakukan oleh Sambuaga et al. (2023). Penelitian ini mengkaji strategi Indonesia untuk menegakkan hak-hak berdaulatnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Natuna Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan antropologi hukum untuk memahami bagaimana Indonesia menginterpretasikan dan mengimplementasikan hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS) 1982. Penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki pemahaman yang berbeda dengan Tiongkok mengenai konsep ZEE, garis pangkal, dan hak-hak tradisional nelayan. Penelitian ini juga menyoroti pentingnya kerjasama regional dan multilateral untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun