Oleh karena itu, antropologi kedaulatan mempelajari bagaimana konsep, praktik, dan perjuangan kedaulatan muncul, berkembang, dan berubah dalam konteks sosial, politik, dan sejarah yang beragam. Antropologi kedaulatan memberikan kontribusi penting bagi pemahaman kita tentang fenomena-fenomena politik yang kompleks dan dinamis di dunia kontemporer. Antropologi kedaulatan juga memberikan wawasan kritis bagi kita untuk merefleksikan kembali asumsi-asumsi kita tentang apa itu kedaulatan dan siapa yang berhak atasnya. Antropologi kedaulatan juga menawarkan perspektif-perspektif alternatif bagi kita untuk mengimajinasikan kemungkinan-kemungkinan baru dari bentuk-bentuk politik yang lebih inklusif, demokratis, dan berkeadilan.
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty)
Antropologi Kedaulatan (Anthropology of Sovereignty) adalah bidang kajian yang meneliti bagaimana konsep kedaulatan dipahami, dipraktikkan, dan dipertanyakan oleh berbagai aktor sosial di berbagai konteks. Salah satu fokus utama antropologi kedaulatan adalah bagaimana kedaulatan berkaitan dengan isu-isu perbatasan, rasialisasi, identitas, dan politik internasional. Dalam hal ini, antropologi kedaulatan menawarkan perspektif kritis dan komparatif untuk memahami bagaimana kedaulatan dikonstruksikan secara kultural dan bagaimana ia mempengaruhi kehidupan sehari-hari orang-orang yang hidup di bawah atau melawan otoritas negara.
Salah satu contoh studi antropologi kedaulatan adalah karya Bonilla (2017) yang mengkaji bagaimana warga Puerto Rico menantang kedaulatan AS melalui gerakan sosial online dan offline. Bonilla menunjukkan bagaimana warga Puerto Rico menggunakan media sosial untuk membentuk ruang publik alternatif yang mempertanyakan status politik pulau tersebut dan menuntut hak-hak sipil yang lebih besar. Bonilla juga menggambarkan bagaimana warga Puerto Rico melakukan aksi protes di jalan-jalan untuk menolak dominasi AS dan mengekspresikan identitas nasional mereka sendiri.
Studi lain yang relevan dengan antropologi kedaulatan adalah karya Kerr (2017) yang menelusuri sejarah antropologi Argentina dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Kerr menguraikan bagaimana antropolog Argentina menggunakan pameran internasional untuk mempromosikan citra negara mereka sebagai negara beradab dan berdaulat di tengah-tengah konteks kolonialisme dan imperialisme Eropa. Kerr juga menganalisis bagaimana antropolog Argentina menghadapi tantangan dari gerakan nasionalis dan rasialis yang mencoba merebut otoritas ilmiah dan politik mereka.
Selain itu, antropologi kedaulatan juga membahas isu-isu perbatasan dan rasialisasi yang sering kali saling terkait. Misalnya, Alonso (2008) mengkaji bagaimana negara-negara Amerika Latin membentuk perbatasan mereka sebagai simbol kedaulatan dan identitas nasional, sekaligus sebagai alat untuk mengontrol dan mengklasifikasikan populasi mereka berdasarkan ras, etnis, kelas, dan gender. Alonso menyoroti bagaimana perbatasan menjadi tempat di mana kekerasan, diskriminasi, dan eksklusi terjadi, tetapi juga menjadi tempat di mana resistensi, solidaritas, dan agensi muncul.
Dalam konteks global yang semakin kompleks dan dinamis, antropologi kedaulatan juga mengeksplorasi variasi dan transformasi konsep kedaulatan itu sendiri. Misalnya, ÄŒerny dan Grzybowski (2023) menyunting sebuah buku yang memuat berbagai studi kasus tentang bagaimana kedaulatan diperebutkan, dinegosiasikan, dan diredefinisi oleh berbagai aktor sosial di seluruh dunia. Buku ini mencakup topik-topik seperti kedaulatan siber, kedaulatan lingkungan, kedaulatan agama, kedaulatan budaya, dan lain-lain.
Salah satu topik yang menarik dalam antropologi kedaulatan adalah hubungan antara kedaulatan dan agama. Beberapa peneliti telah meneliti bagaimana agama mempengaruhi atau dipengaruhi oleh praktik-praktik kedaulatan negara atau non-negara. Misalnya, Clarke (2017) mengkaji bagaimana gerakan Black Lives Matter di AS menggunakan media sosial untuk membentuk ruang publik baru yang menggabungkan elemen-elemen agama, politik, dan estetika. Clarke berpendapat bahwa gerakan ini menunjukkan bentuk baru dari politik tubuh yang menantang kedaulatan negara rasialis.
Peneliti lain yang membahas isu agama dan kedaulatan adalah Voss (2011) yang mengkaji perjuangan suku Indian Lakota di AS untuk mendapatkan pengakuan sebagai bangsa berdaulat. Voss menunjukkan bagaimana suku Lakota menggunakan ritual, simbol, dan narasi untuk mengklaim hak-hak mereka atas tanah, sumber daya, dan budaya mereka. Voss juga menggambarkan bagaimana suku Lakota menghadapi hambatan dan konflik dari pihak-pihak lain yang menentang atau mengancam kedaulatan mereka.
Studi lain yang terkait dengan agama dan kedaulatan adalah karya Blanes (2015) yang meneliti bagaimana gereja-gereja Pentakosta dan Evangelis di Angola berperan dalam proses pembentukan negara dan masyarakat pasca-perang. Blanes menguraikan bagaimana gereja-gereja ini menawarkan visi alternatif tentang kedaulatan, kewarganegaraan, dan moralitas yang berbeda dengan model negara sekuler. Blanes juga menyoroti bagaimana gereja-gereja ini terlibat dalam politik lokal dan global yang mempengaruhi hubungan antara Angola dan dunia luar.
Selain itu, antropologi kedaulatan juga memperhatikan bagaimana kedaulatan dipengaruhi oleh faktor-faktor material dan sejarah. Misalnya, Chalfin (2010) melakukan etnografi tentang kedaulatan di Ghana Barat, dengan fokus pada peran bea cukai sebagai lembaga negara yang mengatur perbatasan dan perdagangan. Chalfin menunjukkan bagaimana bea cukai menjadi tempat di mana praktik-praktik kedaulatan negara dipertunjukkan, dipertanyakan, dan dimodifikasi oleh berbagai aktor sosial, termasuk pejabat, pedagang, penyelundup, dan masyarakat sipil.